Mohon tunggu...
arief hafidiyanto
arief hafidiyanto Mohon Tunggu... -

bekerja sebagai instruktur ketenagakerjaan

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

Yang Plus dan Minus dari Film Pengabdi Setan (2017)

6 Oktober 2017   15:22 Diperbarui: 6 Oktober 2017   16:02 1205
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Awal tahu keberadaan film Pengabdi Setan,  saat jalan-jalan di sebuah mal di kawasan bunderan HI, Jakarta.  Di beranda gedung filmnya bertengger tiruan keranda berbalut kain hijau, seolah-olah memberi sinyal bahwa tingkat keseraman film ini dijamin tidak main-main (kalau di Ri***se kepedasannya level 5 mungkin). Namun waktu itu  tetap saja hasrat untuk menontonnya masih minim (duit juga lagi pas-pasan sih... he he). Baru sepekan kemudian tergerak beli tiket, gara-gara penasaran dengan animo masyarakat yang nampak kian membuncah.

Setelah larut menikmati, ada beberapa kesan yang didapat. Pertama yang indah-indah dulu lah ya. Salut kepada sutradara dan tim yang berani menampilkan suasana tahun 80an. Ada bus kota lawas, alat dapur dari kaleng, sumur timba, radio transistor beserta siaran drama serialnya yang sanggup mengukir khayalan di tiap kepala yang mendengar dan hal-hal yang jauh dari kekinian lainnya.  (bagi kita-kita yang tumbuh di tahun itu pokoknya nostalgia banget deh... Kita???..).  Plus lainnya  tentu saja tentang kemampuan film ini dalam mengelola ketegangan, meski jumlah pocong dan zombi yang berkeliaran terbilang banyak, tapi tidak diumbar durasi kemunculannya. Terakhir apresiasi buat para pemain yang telah tampil cukup apik. Selain ketegangan, bermunculan pula akting-akting  jenaka yang memancing tawa penonton.  

Nah, berikut ini bagian-bagian yang masih kurang greget (karenasudah beli tiket,gak mau rugi lah he he...).Pusat penceritaan kebanyakan berkutat di dalam rumah  yang gambarnya diambil dari vila tua di Pengalengan, Bandung. Seharusnya untuk menambah artistik, ditampilkan juga sudut-sudut pedesaan, perkebunan, bukit maupun gunungnya. Apa susahnya? Toh yang namanya bentang alam itu, di tahun 80an dan sekarang kan tidak jauh berbeda. Sudah biayanya irit, yang disasar juga tetap kena! (banyak lho yang belum tahu Pengalengan....tega nian...hiks.).

Dari sisi penceritaan, setidaknya terdapat dua hal yang minus. Saat siang hari -setelah semalam dibombardir hantu-hantu-  keceriaan yang ditampilkan pemain-pemainnya terlalu berlebihan. Seperti melaju dari satu titik ekstrim ke titik ekstrim lainnya. Memang sih, di film horor manapun, adegan siang merupakan kesempatan bagi pemain, sekaligus penonton tentunya untuk sejenak menormalkan denyut jantung. Namun sayangnya di film ini perubahan itu semudah membalik telapak tangan.

Yang berikutnya, tentang konsistensi sutradara untuk menggunakan alur cerita maju memang harus dihargai. Namun adegan puncak berupa penjemputan salah satu anak oleh hantu yang mirip ibunya, walau menyedihkan, tapi akan lebih maksimal, jika saja sutradara mau memakai alur flashback. Semisal sebelumnya ditampilkan kiprah ibunya semasa hidup, yaitu sebelum menderita sakit. Beliau itu sosok yang dekat secara emosional kepada anak-anaknya. Sehingga adegan penjemputan menjadi lebih dramatis (ah, terserah sutradaranya lah....he he ).

Sebagai penutup, bagi anda yang gemar film horor asing dengan alasan kualitas, maka film Pengabdi Setan ini sangat layak untuk jadi alasan buat ditonton juga (masak sih?... buktikan aja sendiri....).

Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun