Sudah jenuh rasanya tiap hari dicekoki berita tawuran yang melibatkan pelajar, mahasiswa, maupun masyarakat umum lainnya. Padahal berbagai cara telah diikhtiarkan untuk mengatasinya seperti lewat dialog, penyadaran, bahkan keterlibatan langsung pejabat seperti menteri. Namun ibarat cendawan di musim hujan, penyakit tersebut gampang muncul di mana-mana.
Seperti pada paruh akhir 2012 ini, belum hilang duka atas kematian siswa SMU di ibukota akibat tawuran pelajar, telah datang kabar dari kota lain tentang tewasnya dua mahasiswa dalam bentrok antar fakultas gara-gara persoalan sepele. Selanjutnya entahlah giliran siapa lagi yang harus meregang nyawa sia-sia.
Bagi warga sekitar Jabodetabek mungkin sudah hafal terutama di hari jumat dan sabtu siang, akan tampak segerombolan remaja berseragam SMP atau SMU berkeliaran dengan raut wajah tegang seolah mewaspadai 'musuh' yang hendak menyerang. Bila ditanya mengapa mereka mau berantem, kebanyakan akan menjawab karena diserang pihak lain. Mirip hukum rimba, siapa kuat dialah yang menang. Kalau tidak menyerang ya diserang. Tak heran ada yang sengaja menyelipkan senjata untuk pertahanan diri dalam tasnya, di saat melaksanakan tujuan mulia yaitu bersekolah.
Kita yakin pihak orangtua maupun guru sekolah tak jemu-jemunya memberi bahwa berkelahi itu apapun alasannya tetap tidak baik. Demikian pula pemerintah maupun lembaga sipil telah memberikan ruang yang memadai untuk menanggulangi masalah ini. Namun mengingat adegan adu jotos kawula muda ini masih terus menghiasi pemberitaan media, mungkin ada sesuatu yang mendasar yang perlu ditata ulang.
Masa remaja merupakan titian untuk menapaki jenjang kehidupan selanjutnya. Posisinya yang berada di antara usia kecil dan besar inilah menjadikan tidak mudah untuk memperlakukan mereka sebagai anak ingusan atau sudah dewasa. Ada kiat lama, orangtua yang memiliki anak remaja agak bandel, sering memanggilnya dengan sebutan kak, mas atau mbak. Hal ini guna mendorong kesadarannya untuk bertindak lebih dewasa dan bertanggung jawab layaknya sebutan yang telah disematkan. Sehingga cara termudah menghadapi anak di usia kritis ini dengan memberi pengakuan dan penghargaan yang tulus. Mereka perlu diberi ruang dan kesempatan untuk mengekspresikan minat, bakat dan kemampuannya.
Energi berlebih di usia muda bisa disalurkan lewat kegiatan seperti ekstrakurikuler. Namun kenyataannya kehidupan mereka tidak melulu di rumah dan sekolah, ada lingkungan sosial yang mengantarainya. Di ranah itu terdapat nilai-nilai lain yang berpotensi menggiring ke arah lebih baik atau buruk. Bisa dipastikan keluarga dan sekolah akan kewalahan bila harus mengontrolnya setiap hari. Paling banter hanya bisa memberi pesan agar hati-hati dalam bergaul. Sementara para remaja ini sesungguhnya memiliki potensi, semangat, gairah dan tenaga untuk berbuat sesuatu agar bisa eksis. Pada tahap inilah sejatinya masyarakat dan pemerintah bisa mengambil peran. Mengingat permasalahan lingkungan dan sosial itu sangat beragam, anak muda diharapkan bukan menjadi bagian dari masalah tapi justru sebagai pemecah masalah.
Beberapa negara ada yang memanfaatkan potensi anak muda untuk kegiatan Wajib Militer (wamil). Tujuan utamanya untuk membantu pertahanan negara di masa darurat. Mengingat memakai kata 'wajib' maka seluruh anak muda (biasanya lelaki) bila sudah menginjak usia tertentu, harus siap memanggul senjata. Belakangan program ini tidak begitu populer mengingat ada indikasi pelanggaran hak-hak pribadi. Meski begitu, bila ditelaah ternyata pengerahan orang dalam jumlah banyak, di wilayah luas bernama negara, bukanlah perkara mustahil.
Mungkinkah model seperti wamil diterapkan di Indonesia? Jawabannya mungkin saja. Namun musuh negeri ini sesungguhnya bukan hanya datang dari luar, tapi justru dari sekitar kita, berupa kemiskinan, keterbelakangan dan sebagainya. Sehingga hal-hal seperti itulah yang harus segera dilawan.
Pemerintah bisa merintis program buat anak muda yang didalamnya terkandung unsur-unsur kerja sama, gotong royong dan kerja bakti. Hal yang disasar ialah berbagai permasalahan sosial dan persoalan lingkungan sekitar. Bentuk kegiatannya bisa berupa membersihkan lingkungan, membuat dan merawat fasilitas umum atau kerja sosial.
Program ini memiliki sifat wajib bagi semua remaja yang telah menginjak usia tertentu, kecuali dengan alasan yang sah. Pembuktiannya melalui pencatatan yang terintegrasi dengan administrasi kependudukan. Kegiatan ini berjangka waktu tertentu, memiliki banyak pilihan (bukan kerja paksa), tidak mengganggu waktu belajar di sekolah dan bukan sebagai lahan pekerjaan. Selain itu yang terpenting memberi kesempatan mereka untuk belajar tanggung jawab serta mengasah potensi dan jiwa kepemimpinannya.
Selama ini sebenarnya sudah ada beragam kegiatan yang bersifat pengerahan orang untuk peduli. Contohnya KKN (Kuliah Kerja Nyata), Dokter PTT (Pegawai Tidak Tetap), SMD (Sarjana Membangun Desa), PSP3 (Pemuda Sarjana Penggerak Pembangunan Perdesaan), AMD (Abri Masuk Desa), Baksos (Bakti Sosial) TKS-BUTSI (Tenaga Kerja Sukarela-Badan Urusan Tenaga Kerja Sukarela Indonesia) atau kegiatan di Karang Taruna. Bahkan banyak pula gerakan keswadayaan masyarakat seperti pengiriman relawan untuk mengajar dan membangun daerah tertinggal, bencana atau konflik. Namun hal tersebut masih bersifat parsial dilihat dari sisi pelaku dan cakupannya.