Ketersediaan sumber energi listrik dan bahan bakar menjadi salah satu kebutuhan terpenting dalam kehidupan modern. Sepanjang sejarahnya, sebagian besar energi berasal dari bahan bakar fosil seperti batu bara dan minyak bumi. Akan tetapi, penggunaan bahan bakar fosil menimbulkan polusi yang besar, sehingga menimbulkan berbagai kerusakan lingkungan seperti pemanasan global. Konsekuensi dari pemanasan global dan perkembangan teknologi energi terbarukan telah mendorong peralihan menuju sumber energi terbarukan, yang menjadi salah satu tujuan dari Sustainable Development Goals (SDGs) dari PBB, tepatnya goal ketujuh. Tulisan ini akan membahas pentingnya SDG tersebut, implementasi dan kendala mencapai target SDG ketujuh di Indonesia, dan memaparkan solusi-solusi yang dapat diambil pemangku kebijakan terkait.
Sustainable Development Goals 7: Clean and Affordable Energy adalah salah satu dari 17 poin tujuan Sustainable Development Goals yang dicetuskan oleh PBB. Program ini merupakan kelanjutan dari Millennium Development Goals yang ditargetkan pada 2015 dan dimulai pada awal dekade 2000an. Tujuan umum SDG poin ketujuh yang terbagi ke dalam lima target adalah untuk “memastikan akses terhadap energi yang terjangkau, dapat diandalkan, terbarukan dan modern bagi semua kalangan”. SDGs memiliki tenggat pencapaian target pada tahun 2030 (UN-DESA, 2024).
Sustainable Development Goals disahkan dalam sidang Majelis Umum PBB pada 25 September 2015 oleh 193 negara, salah satunya Indonesia. Semenjak itu, Indonesia berusaha mengimplementasikan SDGs melalui produk hukum dan kebijakan-kebijakan dalam negeri. Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) periode 2015-2019 menjadikan SDGs sebagai salah satu dari berbagai agenda di dalamnya. Kemudian Peraturan Presiden Nomor 59 Tahun 2017 dikeluarkan sebagai dasar hukum bagi penerapan SDGs dan di tahun yang sama Indonesia juga mengeluarkan Voluntary National Review (VNR) mengenai SDGs secara keseluruhan. Pemerintah juga telah merilis Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) pada 2017 dan terdapat laporan tahunan mengenai pandangan energi nasional yang dikeluarkan oleh Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT). Tindakan-tindakan tersebut menunjukkan upaya nyata Indonesia untuk memperhatikan dan mencapai target-target SDGs, khususnya SDG poin ketujuh (Santika dkk, 2020).
Indonesia masih bergantung pada bahan bakar fosil sebagai sumber energi. Pada 2019, sumber energi Indonesia terdiri dari minyak bumi sebesar 38,81%, batu bara sebesar 32,97%, gas alam sebesar 19,67%, dan energi terbarukan hanya sebesar 8,55%. Cadangan bahan bakar fosil semakin menipis dikarenakan konsumsi yang meningkat dan ketiadaan penemuan cadangan baru. Oleh karena itu, Indonesia harus memulai transisi menuju energi terbarukan. Potensi sumber energi terbarukan Indonesia adalah sebesar 443,2 Gigawatt (GW), yang terdiri dari cahaya matahari, tenaga air, angin, bioenergi, panas bumi dan lautan. Namun, tercatat pada 2018 penggunaan sumber energi yang beragam tersebut hanya sekitar 2% (Santika dkk, 2020). Indonesia juga memiliki cadangan uranium sebesar 130 ribu ton dan thorium sebesar 74 ribu ton yang dapat menjadi sumber pembangkit listrik tenaga nuklir (Pambudi, 2023). Akan tetapi, pemanfaatannya saat ini terbatas untuk penelitian.
Proses elektrifikasi di Indonesia telah berjalan secara maksimal. Pada 2018, tingkat elektrifikasi nasional telah mencapai 98,3%, sehingga dapat diperkirakan pada dekade 2020an nyaris seluruh daerah di Indonesia telah dialiri listrik. Mengenai akses terhadap teknologi dan memasak modern, pemerintah mengupayakan transisi dari kerosin menuju gas tabung sejak awal dekade 2000an. Pada 2019, sebanyak 17,46% rumah tangga masih belum mendapatkan akses terhadap teknologi dan bahan bakar memasak modern. Mengacu pada tenggat SDGs yakni tahun 2030, Indonesia diperkirakan belum mampu menyediakan energi memasak kepada 5 juta rumah (Santika dkk, 2020). Ini menandakan bahwa akses memasak yang modern tidak terlalu diperhatikan seperti halnya akses energi listrik. Pada tahun 2030, Indonesia memasang target pengurangan emisi sebesar 29% dibandingkan 2010. Namun, pada 2020 pengurangan emisi gas rumah kaca hanya sebesar 11,5% dari target yang ditentukan (Sumarno dkk, 2022). Implementasi SDG 7 di Indonesia yang masih belum memenuhi capaian menimbulkan pertanyaan, apa yang menyebabkan transisi energi terbarukan di Indonesia menjadi terhambat?
Terdapat beberapa faktor yang menghambat peningkatan penggunaan energi terbarukan di Indonesia. Faktor pertama adalah kebijakan yang berubah-ubah sehingga menimbulkan ketidakpastian regulasi bagi calon investor atau pengembang. Kedua, industri batu bara memiliki hubungan dekat dengan pemerintah yang kemudian memberi berbagai insentif. Faktor ketiga adalah kecenderungan rentenir dalam sektor bahan bakar fosil seperti penggunaann generator diesel, dengan konflik kepentingan yang muncul dari anak usaha PLN dan Pertamina sebagai pemasok minyak diesel. Faktor terakhir adalah kewajiban untuk menyerahkan kepemilikan pembangkit listrik energi terbarukan kepada PLN setelah beroperasi 20 tahun, yang sangat membatasi masuknya investasi (Santika dkk, 2020).
Salah satu kendala terbesar untuk meningkatkan penggunaan sumber energi terbarukan di Indonesia adalah subsidi bahan bakar fosil yang cukup besar. Pendanaannya mengambil porsi anggaran pemerintah yang cukup besar, yakni sebesar 10%-20% dan sekitar 3% dari PDB. Persentase tersebut mengambil jatah anggaran yang dapat digunakan sektor lain seperti infrastruktur, pendidikan, kesehatan dan lain-lain. Bahan bakar bersubsidi juga tidak berpengaruh terhadap kesetaraan sosial ekonomi, karena 40% dari manfaatnya mengalir ke kalangan atas dan kurang dari 1% dirasakan oleh kalangan bawah. Harga bahan bakar subsidi yang murah juga meningkatkan permintaan sehingga menciptakan konsumsi yang tidak efisien. Jika hendak mempercepat transisi menuju energi terbarukan, pemerintah harus memotong atau menghapus subsidi bahan bakar fosil untuk membuat harga jual energi terbarukan semakin menarik (Sumarno dkk, 2022).
Untuk mengatasi polemik ketergantungan sumber energi fosil, Indonesia dapat menerapkan konsep JUST (Justice, Universal, Space, and Time) sebagai tolak ukur hukum atau kebijakan transisi menuju energi terbarukan. Implementasi yang semestinya dilakukan adalah mendukung penuh penggunaan energi terbarukan dengan pemerintah sebagai pengawas (day-watchman) yang memberikan sanksi tegas terhadap pelanggar aturan-aturan dan kebijakan baru yang berorientasi pada lingkungan. Kemudian, kebijakan tersebut harus diikuti dengan menghapus subsidi bahan bakar fosil dan mengalokasikannya untuk mendukung energi terbarukan. Pembangkit listrik yang bersumber dari bahan bakar fosil diganti dengan pembangkit listrik energi terbarukan, dengan membuat insentif bagi para pekerja batu bara. Meski sulit diwujudkan, namun pajak karbon dapat diberlakukan untuk menghasilkan keuntungan yang dapat dimanfaatkan sebagai modal pengembangan energi terbarukan (Sumarno dkk, 2022).
Indonesia saat ini masih merupakan salah satu pengguna bahan bakar fosil terbesar sebagai sumber energi. Pemerintah telah berusaha meningkatkan porsi sumber energi terbarukan melalui berbagai kebijakan dan produk hukum. Proses elektrifikasi di Indonesia sudah hampir rampung, namun akses terhadap energi memasak modern masih belum memenuhi target. Peningkatan sumber energi terbarukan juga masih berjalan lambat, dengan berbagai faktor yang mempertahankan ketergantungan Indonesia terhadap bahan bakar fosil. Pemerintah seharusnya meninjau ulang kebijakan yang menguntungkan industri bahan bakar fosil dan mulai mendukung penuh penerapan energi terbarukan, dengan merancang kebijakan-kebijakan baru yang ramah lingkungan serta menjadi pengawasnya. Dengan demikian, maka impian Indonesia untuk mencapai SDG 7 dan menciptakan lingkungan yang lebih bersih dapat diwujudkan.
Daftar Pustaka
Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya