Taxi, tempat sebuah pertemuan dan perpisahan antara penumpang dan sang supir, namun takkan dapat menciptakan sebuah tangis haru atau bahagia antara keduanya, karena hanya menyangkut uang dan jasa. Yang pasti suatu saat akan ada penumpang yang kecewa terhadap pengemudi taxi, jika tidak dibekali norma-norma dalam diri si pengemudi
Selepas turun dari pesawat, saya melangkah menuju pintu kedatangan Bandar Udara Soekarno-Hatta, dengan santai saya mendorong troli yang sudah dipenuhi barang bawaan, entah mengapa pandangan ini tertuju keluar, dari balik pintu kaca bandara, saya melihat ada sekitar puluhan bahkan ratusan orang yang sedang berdiri disisi jalan depan.
Saat melintasi pintu kedatangan, semakin jelaslah pemandangan manusia yang saya lihat tadi. Ternyata itu antrean calon penumpang di pangkalan Taxi bandara. "OMG". Berbagai brand taxi, semuanya penuh disesaki calon penumpang. Bahkan ada yang mendapat nomor antrean ke 76, kebayangkan padatnya malam itu.
Bandara memang selalu ramai, tapi kali ini bandara jauh lebih ramai, dan saya harus menunggu lama untuk mendapatkan Taxi.
Its ok, saya tetap berjalan memperhatikan antrean dari semua pangkalan, berharap menemukan antrean pendek yang bisa membawa saya cepat pergi dari sini.
Benar saja, akhirnya saya mendapati antrean yang jauh lebih pendek, bila dibandingkan dengan antrean taxi lainnya. Pangkalan Taxi Ekspress.
Ini kali pertama, saya menjadi penumpang taxi berwarna putih ini, karena taxi yang biasanya saya tumpangi memiliki antrean jauh lebih panjang, raga yang lelah tidak sanggup untuk menunggu panjangnya antrean itu.
Nomor antrian sudah ditangan, sambil menunggu saya mencoba menyembunyikan raga lelah ini agar tetap terlihat segar, sembari membakar kretek diantara calon penumpang yang tak saling kenal. Setengah jam lebih menunggu, giliran saya pun datang. Dengan tenaga tidak begitu full, saya bergegas memasukan barang bawaan kedalam bagasi taxi.
Naik, dan langsung menyandarkan kepala dibangku belakang, setelah memberi tahu alamat yang akan dituju, taxi pun mulai berjalan perlahan, meluncur ketujuan.
Dalam perjalanan pulang, tak banyak percakapan antara saya dan sang supir, mungkin supirnya pendiam. Sesekali saya mencoba membuka obrolan, namun gagal mencairkan obrolan tersebut. Karena sang supir tidak hobi bicara, memang tidak ramah, saya bisa tahu itu dari raut wajahnya, saya bisa lihat jelas raut wajahnya yang sedikit berlipat, lewat cermin yang menempel dibagian depan. Mungkin dia lelah sama seperti saya. Yowesslah, nikmatin Sejuknya Ac aja, senderan dan mandang lampu jalan.
Satu jam perjalanan, tak ada obrolan antara kami, dini hari ini saya merasa di borgol sepi. Akhirnya saya pun sampai di tujuan. Argo berhenti di harga Rp165.000, saya segera menyiapkan dua lembar uang pecahan seratus ribu untuk membayar sang supir.