Mohon tunggu...
Arief Budimanw
Arief Budimanw Mohon Tunggu... Konsultan - surveyor

rumah di jakarta..

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Geliat Ekonomi di Pasar Puri Indah Jakarta Barat

25 Maret 2018   09:27 Diperbarui: 25 Maret 2018   09:59 811
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pasar yang ramai dengan penjual dan pembelinya. Bersih dan rapih. Jauh dari kata becek dan kumuh. Toilet gratis dengan air bersih mengalir deras. Senyum petugas parker selalu mengembang disaat ketemu sopir dan pengunjung yang datang. Parkiran mobil pun penuh. Datang silih berganti. Lancar mengalir.  Di dalam pasar pembeli dan penjuala saling tawar dengan riang. Beberapa penjual ngedumel karena yang nawar tidak jadi membeli.

Pagi itu Sabtu, 24 maret 2018. Harga stabil dan tidak ada gejolak kenaikan harga barang pokok. Jengkol masih Rp 60.000 per kilo, Kentang rendang Rp 18.000/kilo , cabe merah Rp 70.000/kilo, Cabe rawit Rp 90.000/kilo, daun singkong  Rp 20.000/kilo, jahe emprit Rp 40.000/kilo, mangga Rp 25.000/kilo, asparagus tetap mahal yaitu Rp180.000 perkilo.  Harg telor berapa? Rp26.000.  Naik harganya.

Namun demikian harga-harga disini relatif stabil sampai saat ini. Tetap mahal bagi yang biasa berbelanja di pasar tradisional di wilayah lain di Jakarta. Namun tetap murah bagi warga masyarakat yang tinggal di sekitar pasar ini. Mengapa bisa harga barang pokok stabil dan tidak tinggi. Padahal jika ditanya kepada masyarakat banyak yang menjerit karena menurut mereka  harga --harga saat ini tinggi tak terjangkau. Kontradiksi terdengarnya antara real di lapangan dengan di hati perasaan masyarakat.

Mungkin jawabannya adalah pola hidup kita yang berubah. Jika dulu kita makan beras apa saja tidak masalah, saat ini lidah kita sudah bisa membedakan mana nasi dari beras Rp 8.000 seliter dengan nasi beras Rp 12.000 seliter. Dan rasa yang enak itu menjadi standar baru saat ini. Standar kemiskinan kita sudah berubah. Tidak mau turun lagi. Ogah kalo nasinya pakai beras raskin lagi. Apalagi di Jakarta daging sudah dibantu dengan kartu Jakarta sehat.

Saat ini  barang kebutuhan berlimpah. Bersyukur kita hidup di Indonesia yang mempunyai banyak cahaya matahari, dengan hanya memiliki 2 musim hujan dan panas sehingga kaya dengan buah dan sayuran dan juga beras.  Saat ini beras sedang memasuki  panen raya. Pengiriman beras Sulawesi non stop karena panen raya di sidrap sana bisa  sampai 3 bulan ,karena saking luasnya lahan sawah. Padi cianjur yang menghasilkan beras pandan wangi dan rajalele juga sedang panen. Minyak goreng berlimpah. Gas LPG nonstop dijualnya, bahkan sabtu minggu pangkalan gas tetap buka.

Apalagi dengan adanya Penetapan harga eceran barang kebutuha pokok seperti  gula pasir sebesar Rp 12.500 per kilogram, beras premium Rp 12000 per kilogram, gas LPG 3kg Rp 14.000 per tabung  membuat  stabilitas harga saat ini terjaga.  Kita yakin penetapan harga eceran itu tidak membuat petani tambah miskin. Mereka mempunyai banyak orang pintar yang menghitung hal itu. Tentunya dengan menghilangkan kartel-kartel harga.

Saat ini pembiaran kartel yang mengekang persaingan dan menciptakan pasar tidak sehat sudah mulai berkurang dengan bekerjanya satgas pangan dan BULOG. Apalagi bulog mendapat tugas menjaga kestabilan harga 8 pangan pokok yaitu gula pasir, minyak goreng, tepung terigu, bawang merah, cabe, daging sapi, ayam ras dan telur.  Sesuai dengan Perpres no. 48 tahun 2016. Mereka harus menjamin ketersediaan dan stabilitas harga di Indonesia. Mudah-mudahan tenaga mereka tidak pernah kendor, staminanya tetap terjaga dan kerja keras mereka bisa tetap kita rasakan sampai lebaran besok.

Jika  harga tetap relatif stabil jadi masalahnya apa? Jadi masalah utamanya saat ini  ternyata adalah uang di tangan masyarakat saat ini sedikit dan terbatas. Karena biaya hidup lainnya lebih besar. Entah itu ongkos transport, ataupun listrik. Dan jika masa lalu pulsa telepon dan kuota tidak masuk dalam kebutuhan pokok saat ini saya rasa kebutuhan pulsa dan kuota sudah menyamai kebutuhan beras, kebutuhan makan. saatnya kita memilah-milah mana yang benar-benar pokok , mana yang bukan. Jika anda tinggal di daerah mungkin hal ini bukan massalah. namun jika tinggal di kota besar sebesar Jakarta, kuota dan pulsa mungkin nomor satu. sisanya bisa puasa senen kemis.

suasana di dalam pasar yang bersih dan menggairahkan untuk berbelanja (dokpri)
suasana di dalam pasar yang bersih dan menggairahkan untuk berbelanja (dokpri)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun