Sebuah teori mengatakan.. pada awalnya adalah tanah kosong tempat orang orang bertemu, kemudian mereka bertukar barang dan perdagangan pun terbentuk. Kemudian datang preman datang untuk memalak dengan alasan jasa keamanan. Kemudian setelah besar dan ramai datang pemda mengusir para preman dan mengambil alih semuanya. Tanah, kios, keamanan dan pedagangnya.
Pagi tadi saya ke pasar Matraman Kebon Kosong, sebuah pasar di Jakarta timur yang berdampingan dengan pasar burung pramuka. Pasar yang menyedihkan. Kosong gelap dan sepi. Namun dari luar ramai. suatu pemandangan yang menipu. Karena ketika masuk ke dalamnya terlihat penghuninya tinggal bebebrapa orang pedagang saja.
ngobrol dan beberapa orang tertidur di kursi kesayangannya. Mereka adalah para pedagang yang tidak punya pilihan selain harus berdagang disitu. Pedagang kecil yang berusaha bertahan ditengah gempuran pasar online dan supermarket, indomaret, alfamart.
Kios kios yang mampu bertahan adalah yang mempunyai pelanggan tetap, yang pelanggan ini juga dapat dengan mudah pergi ke pasar lain di dekatnya seperti pasar gendjing dan pasar palmeriam jika mereka mendapatkan harga produk yang dibelinya ternyata lebih mahal walau hanya seratus rupiah. dan itulah kejamnya dagang.
Dalam 5 tahun terakhir ini penderitaan mereka dimulai. Cicilan kios yang harus diangsur dan karcis bulanan yang harus mereka bayar. Dulu karcis pasar dibayarkan setiap hari melalui petugas yang berkeliling menarik uang harian. Pagi dan sore. Namun sekarang mereka harus selalu menyiapkan uang sekitar 270ribu untuk satu kios setiap bulannya. Mau dagang atau tidak. walaupun libur 1 bulan tidak berdagang tagihan karcis tetap jalan.
Dulu tidak begitu. dulu hanya jika berjualan maka akan membayar karcis pasar. sekarang jualan atau tidak mereka harus bayar. Sadisnya ahok itu disini. dan ini yang menyebabkan semua penghuni pasar membencinya. Kebayang sekarang biaya hidup mereka. Jika memakai 2 kios maka mereka harus membayar 2 kali lipatnya. Yaitu 540ribu perbulan. Jika mempunyai 4 kios maka pasti 4 kali lipat juga walaupun kios tidak dipakai. Dan akibatnya kios kios semakin kosong ditinggal penghuninya karena jika memaksakan diri ini seperti bunuh diri karena pendapatan jauh panggang dari api. yang datang berkunjung saja makin berkurang.
Kebijaksanaan ini dikeluarkan oleh gubernur Ahok. Efektif dan efisien dalam mengumpulkan uang karcis. Meminimal korupsi dan memberi keuntungan yang sangat besar bagi PD Pasar Jaya. Namun secara pelan membunuh pedagang kecil yang bermodal cekak. Perlahan namun pasti mengurangi pedagang yg berjualan di dalam pasardan membuat mereka harus berjualan diluar pasar. Entah di rumah atau di jalanan. Atau mengontrakan ke pedagang lain yang mungkin akan lebih beruntung.
Saat ini pasar makin sepi oleh ganasnya penjualan online. Pedagang tradisional menyerah untuk belajar online, karena pulsa dan buta internet. Sedangkan Pemda melalui PD Pasar jaya sudah berubah jadi robot. Pedagang jumpalitan mencari uang buat makan diri sendiri sekeluarga dan uang buat pemda.
Hutangpun makin numpuk. Hutang dagangan kepada agen besar, hutang cash kepada bank, hutang karcis kepada pemda. Rumah yang mereka tinggal pun sudah dijual dan saat ini beberapa pedagang tinggal dalam kontrakan. Tidak ada tempat mereka minta pertolongan.
Memang tidak semua pasar di Jakarta mengalami hal seperti ini. Pasar-pasar yang berada dilingkungan penduduk yang secara ekonomi baik mereka mampu bertahan. Pembeli masih ngantri berbelanja setiap hari dan ini membuat mereka survive, walau beberapa megap megap dan Sisanya mungkin menunggu likuidasi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H