Mohon tunggu...
Arief Bakhtiar D.
Arief Bakhtiar D. Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Twitter: @AriefBakhtiarD │ Instagram: @AriefBakhtiarD │ Goodreads: AriefBakhtiarD

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Rancière bersama Abang Becak

16 April 2011   07:55 Diperbarui: 26 Juni 2015   06:45 101
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1302940441820280626

ABANG becak sedang nongkrong di warung kopi, dan menonton televisi: seseorang, yang mengaku mewakili dirinya sejak bertahun-tahun silam, yang pekan depan mau ke luar negeri, berbicara betapa penting membangun gedung bernilai 1 triliun lebih. Yang mengejutkan si abang becak, rakyat kecil diminta tak usah ikut campur. Abang kita ini kemudian teringat rumahnya di pinggir kali, yang bila ia melihat ke luar dari jendela yang tampak hanya hitam, hitam sepanjang sungai. Ia teringat anaknya yang belum pernah dibelikan mainan. Lama-lama abang becak emosi memikirkannya, tak tahan. Ia merasa dilecehkan dengan kalimat terakhir.Adayang ingin dia diskusikan dengan orang di dalam tivi itu: mengenai “politik” dan “yang-politis”. Tapi ia tak tahu bagaimana cara bisa ketemu. Maka, ia mengeluarkan sebuah buku kecil, dan mulai menulis catatan harian:

“Nak, hari ini Bapak belum dapat uang. Tapi itu masih biasa. Kita orang jelata memang sering tak ada uang. Jadi tak perlu, dan tak bisa, kau anggap ganjil, bukan? Yang perlu kau risaukan, Nak, betapa keterlaluan orang-orang itu, yang kemarin lusa mengancam kita untuk pergi dari rumah, melecehkan diri kita untuk tak terlibat urusan sepenting pemakaian uang 1 triliun. “Bapak memang sudah lama dengar, orang-orang itu agaknya alergi dengan rakyat. Rakyat, katanya, pikirannya tidak maju. Tidak bisa diajak berpikir rasional bahwa pembangunan ada hubungannya dengan kualitas kerja. Itu jadi hambatan. Maka, rakyat miskin, kalau perlu disingkirkan perlahan-lahan dari dunia ini, dengan cara yang halus dan cantik. Memang hanya dengar-dengar di warung kopi, tapi kalau dibicarakan tiap hari, dan tak pernah berubah dari masa ke masa, apa tidak bisa dianggap fakta? “Jangan kau sedih. Di tiap zaman selalu ada kegetiran yang sama, beserta orang-orang yang disingkirkan. Dalam filsafat Plato tatanan masyarakat hanya empat: seniman, pekerja, ksatria, dan penguasa. Di mana tempat budak dan pekerja pinggiran? Mereka, orang seperti kita ini, tidak dianggap. Kita berada di luar filsafat. Dalam Plato konsep keadilan berbasis divisi-divisi itu: adil adalah jabatan-jabatan yang sesuai di mana pemimpin memiliki kebijakan filsafati atau ksatria memiliki keberanian. Dan semua itu harus steril. Tak boleh tiap-tiap partisi di-intrusi atau meng-intrusi. Plato mendambakan suatu kallipolis dalam kualifikasi material hirarkis: unsur emas untuk pemimpin dan filsuf, perak untuk ksatria, perunggu untuk kaum pekerja ─yang berarti penasbihan halal suatu hirarki sosial. “Tapi bukankah dengan begitu demos jadi eksklusif? Menjadikan hidup ini bermula dari ketaksetaraan? Dalam tatanan politik rutin yang terbelah dan terbagi itu manusia dijejer demi hidup yang adil, tapi mengorbankan satu dua pihak yang tak seharusnya jadi korban. “Bapak terkenang Jaqcues Rancière, murid Althusser yang akhirnya berbeda pandangan. Guru TK Bapak pernah mengutip orang itu di papan kelas, memakai kapur warna merah: There is politics when there is a part of those who have no part, a part or party of the poor. Politics does not happen just because the poor oppose the rich. It is the other way around: politics (that is, the interruption of the simple effects of domination by the rich) causes the poor to exist as an entity. Politics exist when the natural order of domination is interrupted by the institution of a part of those have no part.” “Di situlah, Nak, dalam diri Rancière, kita sekiranya berdiri. Kita mesti mengukuhkan diri dalam suatu komunitas politis: `yang politis` menginterupsi dengan menghadirkan yang-bukan-bagian, memasukkan part-of-no-part dalam demos. `Yang politis`, dengan kata lain, menghancurkan rezim-rezim partisi dan hirarki ala Plato. Sebab itu, Anakku, Bapak harus membuktikan bahwa seseorang seperti kita ada, seseorang menjadi, karena pada mulanya partisi tak harus ada ─dan terkadang hidup bukan berat masalah materi, tapi pada hirarki yang bangsat itu. “Nak, sejarah membuktikan praktik kekuasaan bisa korup. Untuk itu migrasi, atau konsepsi `gerak` Rancière, selalu harus dilakukan, selalu harus dihadirkan. Disana kesempatan merubah ada. `Tindakan subyektivitas` menantang, menunda, mematahkan, kata Todd May. Tapi kita memang tak harus menggeser. Kita menerobos, karena kita berangkat dari titik setara, yang bukan lagi jadi tujuan, untuk menghancurkan struktur partisi dan hirarki. Itulah alasan keterlibatan kita, rakyat kecil nan jelata, dalam suatu komunitas besar bersama. “Kita memang tak pernah tahu sempurna perihal kebatilan yang telah terjadi. Banyak hal memang gelap, tapi mungkin yang paling gelap adalah absurditas kebatilan. Kita hidup di depan absurditas kebatilan, tahu harus melawannya, tapi tak tahu kapan semua ini berakhir. Pergulatan, pembelaan, pemberontakan, seperti tidak ada artinya ─dan Sejarah pun tak mati-mati. Kalau memang kita harus menyingkir dari segala soal, Anakku, maka hanya pada saat kematian kita berhenti. “Bapak ingin berdiskusi (bukan berdebat, Bapak tidak suka debat) dengan orang itu, orang yang meminggirkan rakyat. Tapi suara Bapak sedang serak, jadi agaknya lebih baik dimanfaatkan untuk menyanyi lagu-lagu Louis Amstrong, sambil mengayuh becak. Kapan-kapan Bapak akan mencari orang itu. Pasti. Anakku, Bapak selalu cinta kamu.”

Buku catatan harian ditutup. Matahari hampir terbenam. Sambil beranjak pergi abang becak menggumam lirih sebuah kalimat dari Albert Camus, dalam bahasa Prancis: “si ignoble que soit cette guerre, il n’est pas permis d’être en dehors” ─meski perang menjijikkan, kita tidak boleh menempatkan diri di luar. Orang-orang mengira ia membaca mantra. . . gambar: salah satu buku Ranciere daftar pustaka: http://withthenameofallah.wordpress.com/kertas/ notes facebook: http://www.facebook.com/note.php?saved&¬e_id=10150562277965228

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun