Mohon tunggu...
Arief Bakhtiar D.
Arief Bakhtiar D. Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Twitter: @AriefBakhtiarD │ Instagram: @AriefBakhtiarD │ Goodreads: AriefBakhtiarD

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Bulan

18 Desember 2010   03:15 Diperbarui: 26 Juni 2015   10:38 198
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
12926424451255528523

DI perpustakaan itu terpasang sebuah gambar, sepotong adegan: Karna memanah Arjuna. Di latarnya ada bulan, purnama. Tapi semua orang tak peduli, termasuk saya ―awalnya. Minimal, mereka melihatnya sebagai fisik, yang hanya indah, yang tidak untuk dipikirkan, seperti hiasan kembang palsu.

Kemudian seorang pria kulit putih berkaca mata usia 50-60-an menghampiri saya.

What’s your mind, boys?” katanya sambil menunjuk lukisan itu dan tersenyum.

Funny, Sir.”

Pria itu, Profesor M, tertawa. Tapi jawaban saya tak mengada-ada. Profesor nampaknya mengerti.

You’re genius.”

But I’m not a professor.”

Profesor kembali tertawa.

Di perpustakaan itu terpapar sebuah malapetaka: Karna memanah Arjuna. Di latarnya ada bulan, purnama dan sebuah padang. Padang itu mungkin Kurusetra.

Lukisan Karna memanah Arjuna itu memang asyik, selain tragik: kakak-beradik saling bunuh untuk memenuhi takdir yang mirip hawa nafsu, yaitu kehendak dewa-dewa. Mata Karna dalam lukisan itu tak memperlihatkan dendam. Mata Arjuna tak memerah marah. Tapi salah satu harus mati dengan satu cara: satu menyerang yang lain.

Kita tahu pesona kakak-beradik itu. Dalam suatu episode di Padang Kurusetra Arjuna menatap nanar kakaknya, Karna, sambil menggenggam Pasoepati. Arjuna tak siap melesatkan panah. Di sisi lain Kresna menunggu, mendesak, takdir tak boleh salah dan gagal.

Ia, pertama-tama, bukan kakakmu. Tapi seorang Kurawa, seorang musuh, dalih Kresna.

Saya tak sanggup, Paman.

Kematian dan kekalahan Kurawa pasti terjadi. Pertempuran toh telah mulai meski kalian satu guru pada Durga, dulu.

Tapi ada darah yang tak bisa hilang, Paman, lirih Arjuna, tapi ada yang tersambung meski dewa-dewa tak peduli.

Kau tak tahu bahwa Karna tak segan hati menyerangmu. Ia bertarung membalas kasih Suyudana, Kurawa. Ia membunuh Gatotkaca. Jayadrata membunuh Abimanyu, anakmu. Kini, ia pun tak hirau padamu, bisik Kresna.

Dan seketika Karna mengirim panah yang dengan kesaktiannya panah itu mengganda menjadi banyak. Arjuna kaget. Karna tahu dirinya tak punya pilihan lain. Kesaktiannya telah lenyap, ia dalam posisi menunggu lesatan Pasoepati Arjuna. Baju perang dan anting-anting yang membuatnya tak mempan digebuk apa pun telah diminta oleh seorang pengemis, yang ternyata Batara Indra yang menyamar. Senjata Konta telah dipakai menghujam Gatotkaca. Ia benar-benar tak punya kesaktian yang sepadan untuk melawan Arjuna.

Dengan pergulatan batin yang tak enak itu sepotong adegan di sebuah gambar jadi tragik. Kita tahu akhirnya Karna terbunuh, lebih oleh takdir kehendak dewa, dan Arjuna lega meski bukan karena perasaan berhasil membalas dendam kematian anaknya.

Seorang penyair pernah menyebut tentang bulan yang hilang dalam sajaknya: Karna ―meminjam istilah sebuah sajak itu, adalah satu dari “sepasang rembulan” dalam garis keturunan anak cucu Pandu.

Karna yang anak Kunti telah mati. Terbunuh dalam shahibul hikayat orang-orang tempo dulu. Lelaki rupawan yang tak lahir dari gua garba ―dan mungkin karena itu― diabaikan.

Ia diabaikan, pertama, oleh ibunya sendiri. Dalam alur sungai yang tenang ia membelah. Sendiri. Perih, tapi ia masih kecil dan merah waktu itu. Takdir membawanya ke markas Kurawa. Dan ia tahu pada saatnya nanti ia mesti perang-tanding dengan Arjuna putra surga yang dibanggakan dewa-dewa; saudara satu darah.

Kedua, agaknya, oleh suara malaikat. Malaikat tak menyusupkan kabar kepada Pandawa. Mungkin tak mampu. Atau hikayat tak boleh membuatnya begitu karena sejarah akan berbelok. Karna hidup (atau diberi hidup), dididik, berjuang, dan akhirnya mati demi Kurawa. Ia dibesarkan Suyudana, raja negeri Astina.

Dalam Mythology and The Tolerance of The Javanese, Anderson berkisah lain tentang Karna. Suatu hari ia bertemu dengan seorang pegawai tua Jawa. Mereka mengobrol tentang kawan pegawai tua yang berpihak pada Belanda pada masa Revolusi. Teman tersebut merasakan benci setelah segerombolan nasionalis membunuh beberapa orang keluarganya saat hari-hari anarkis sesudah Proklamasi. Ia berpaling ke Belanda, dan Belanda memerlakukannya dengan baik. “Orang tak dapat mengatakannya pengkhianat,” tulis Anderson, sebab ini beda dengan “mereka yang menyeberang lantaran berkecil hati, tak berpendirian, atau mengharapkan rezeki”. Tanpa sadar pegawai tua itu menjadikan temannya Adipati Karna, yang patriot.

Mungkin saja pegawai tua itu benar. Toynbee pernah mengatakan bahwa “orang harus punya belief agar ia tetap tidak ngawur.” Orang-orang yang berpaling dari Republik teman pak tua, juga Karna, tak ngawur, karena ia punya belief. Untuk itu Karna senantiasa seorang ksatria.

Di perpustakaan itu saya melihat profil Karna dalam waktu yang tak bergerak. Tapi bulan tetap hilang: bulan yang seperti suasa.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun