Mohon tunggu...
Arief Bakhtiar D.
Arief Bakhtiar D. Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Twitter: @AriefBakhtiarD │ Instagram: @AriefBakhtiarD │ Goodreads: AriefBakhtiarD

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Muhammad

2 Januari 2016   11:26 Diperbarui: 2 Januari 2016   11:26 10
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

SAYA selalu menyebut namanya, mendoakan tiap pagi dan petang, sebisa saya. Saya mencoba mencintainya─Nabi saya Muhammad saw.—meskipun iman saya rapuh dan penuh noda. Ada satu sabda yang saya ingat, yang menjadi alasan mengapa saya terus, dan akan terus, melakukan hal itu: “Kau akan bersama yang kaucinta.”

Maka tiap kali saya menyebutnya dalam doa (Islam menamakannya “shalawat Nabi”), saya terbayang Anas bin Malik, dan jadi sedikit gembira: amal ibadah saya tak ada seujung kukunya, tapi saya mencintainya, maka saya akan bersamanya. Kalau Nabi di surga—dan dia memang akan di surga—saya boleh berharap seperti Anas bin Malik, “Semoga kelak saya bersama di sisi-Nya.”

Tentu saja saya jauh dari pantas untuk mendapat surga, bahkan meski itu surga paling bawah. Harapan itu sendiri sebenarnya konyol: saya cuma mau cari aman di akhirat dengan menempel Nabi, tapi hidup enak di dunia dengan sering melanggar ajaran-ajarannya.

Memang Nabi Muhammad saw. yang saya kenal ialah lelaki luar biasa, bahkan bagi Barat. Salah satu kehebatan yang sering disebut-sebut adalah kemampuannya membangun peradaban hanya dalam waktu 23 tahun masa hidupnya. Dan ia mulai menjadi jenderal perang dari umur cukup senja, 50 tahun ─di usia yang sama dengan James Bond 007 dalam Skyfall yang sudah agak meragukan untuk tetap jadi agen lapangan.

Michael Hart, ilmuwan Barat, memasukkannya sebagai manusia paling berpengaruh nomor satu di dunia sepanjang masa, di atas Isaac Newton, di atas Jesus, atau Einstein—sampai sekarang tak ada tanda-tanda akan turun jadi nomor dua atau tiga.

Tapi orang baik dan hebat tak pernah luput dari cela: sebaik apa pun manusia (tak perlu harus jauh-jauh, lihat saja di sekitar kita), pasti akan ada yang meragukannya. Hal seperti itu tak terelakkan. Seakan-akan orang hidup hanya untuk cari borok.

Dan sejarah menghadirkan celaan yang cukup panjang terhadap seorang nabi akhir zaman bernama Muhammad.

Pada tahun 1997, di kota Hebron, Tatiana Soskin mencoba menempelkan gambar Muhammad dalam bentuk babi sedang membaca Qur’an. Di awal abad 21, tepatnya tahun 2002, pemenang Pulitzer Doug Marlette menyebar gambar Muhammad mengendarai truk yang membawa roket nuklir. Itu adalah tahun di mana dunia terkejut dengan Tragedi 9/11. Tak cukup, pada tahun 2004, Theo van Gogh melalui film Submission memperlihatkan tubuh empat wanita bugil yang ditulisi ayat-ayat Qur’an. Kita tahu akhir Theo van Gogh: ia mati dibunuh Mohammad Bouyeri di Amsterdam. Ayaan, rekan perempuan van Gogh dalam pembuatan film itu, seirama. Ia adalah seorang yang tekun menuding Islam sebagai pembawa kabar buruk penindasan bagi perempuan. Ia seolah tahu “yang dibutuhkan kebudayaan Islam adalah buku, lakon, puisi, dan lagu yang... mengejek aturan agama”. Di Denmark, tahun 2005, surat kabar Jyllands-Posten menerbitkan kartun Nabi.

Tapi rupanya tak sependek itu. Celaan itu agaknya hanya perpanjangan masa lalu. Di zaman Pencerahan, Voltaire menganggap Muhammad sebagai ekstrimis dan pendusta yang canggih. Snouck Hurgronje, orientalis Belanda yang berperan dalam penaklukan Aceh, “expect to hear that Muhammad never existed”—mengharapkan untuk mendengar bahwa Muhammad tidak pernah ada. Sekitar dua setengah dekade kemudian Liutsian Klimovich, orientalis Soviet, pada tahun 1930 mewujudkan harapan Hurgronje: ia tanpa gentar menulis artikel Did Muhammad Exist?. Di dalamnya ia menganggap Muhammad makhluk fiksi. Adanya Muhammad, menurut Klimovich, hanya hasil asumsi bahwa setiap risalah agama harus memiliki seorang pembawa dan pendiri.

Kita belum bisa berhenti. Pada abad-abad yang lebih jauh, seorang pendeta di Maimuna tahun 743 menyebut Nabi Muhammad saw. sebagai nabi palsu. Peter Bede (673-735) dari Inggris lebih radikal lagi. Ia menyebut Muhammad “a wild man of desert”—seorang manusia padang pasir yang liar. Pada masa-masa yang hampir berdekatan itu kita juga bisa mendengar simpulan cerita Yahya al-Dimasyqi: Muhammad adalah seorang yang licik, punya epilepsi, dan hobi perang.

Apakah kita umat Islam, saya, perlu marah dan kaget?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun