Mohon tunggu...
Arief Bakhtiar D.
Arief Bakhtiar D. Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Twitter: @AriefBakhtiarD │ Instagram: @AriefBakhtiarD │ Goodreads: AriefBakhtiarD

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Orang-orang Gagah

27 Desember 2015   15:08 Diperbarui: 27 Desember 2015   15:08 162
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

PADA seorang anak kecil kita sering melihat cita-cita ala militer.

Saya, misalnya, kerap membayangkan tiba-tiba berubah menjadi Superman (dengan cawat di dalam, tentu saja) yang menyelamatkan angsa-angsa kali dari kejaran gorila raksasa—”menyelamatkan”, tugas standar seorang superhero. Atau saya memegang pistol mainan sambil membayangkan diri Robocop yang di mata saya manusia paling heroik sedunia sebab berasal dari polisi yang remuk dalam tugas—meski mengerikan sebenarnya, bagi seorang anak kecil, untuk melihat remuk-remuk itu.

Teman saya agak lebih parah: ia membayangkan dirinya seorang samurai dan dengan pedang dari plastik di tangan kanan dan kiri ia menebas-nebas pohon pisang di kebun orang. Tak ada pohon pisang yang pernah roboh, tapi ia tampak bahagia.

Di pantai, pekerjaan anak-anak paling menyenangkan adalah membangun benteng pasir dengan tekun, dan hanya tertawa kala ombak menerjangnya. Benteng itu barangkali ia bayangkan dari film-film perang di televisi. Di saat marah, seorang anak yang agak kreatif sedikit melampiaskan dengan membuat origami bentuk hewan, banyak, dengan kertas warna-warni, menjajarkan di suatu tempat yang agak tinggi, lalu menembaknya satu-satu dengan senapan mainan.[1] Di situ ia merasa gagah, meskipun berisik.

Beberapa hal yang terkait militer itu saya bayangkan sampai beberapa waktu lamanya. Saya sempat punya keinginan menjadi tentara, atau sesuatu yang mendekati kegagahannya. Cita-cita itu mungkin dipengaruhi keberadaan kakek saya yang mantan tentara, yang diantaranya pernah dikirim ke Timor Timur. Beliau tak pernah mendorong, tapi tatto keris di tangan kiri itu terlihat gagah.

Barangkali karena saya anak yang susah diatur (selain karena kerap sakit) Tuhan menjauhkan cita-cita itu dari saya. Sebab militer, seperti dikatakan Kolonel Sarwo Edhie Wibowo pada tahun 1973, “kalau perlu, mimpi yang dialami tatkala tidur juga harus dipolakan/ diatur.”

Tapi bayangan gagah pada militer tidak hilang: seragam loreng itu, dengan baret merah dan sepatu PDL yang menelan celana panjang. Mereka telah melewati ujian fisik yang melebihi orang biasa: mungkin melewati hutan tanpa bekal. Mereka, dalam kondisi tubuh yang prima dan berotot, sulit untuk sakit. Hujan gerimis tak membuat mereka pilek.

Dua hal kemudian terjadi dalam pengalaman hidup saya. Hal pertama: kali waktu, saat liburan di suatu dataran tinggi yang ramai dan macet di daerah Bandungan, Kabupaten Semarang, saya mencoba naik kuda—kuda yang terlampau kecil untuk ukuran saya yang medium. Untuk pertama kalinya saya dihantui perasaan was-was akan jatuh: di jalanan sepanjang bukit, di samping kiri, adalah tebing dan jurang. Ada perasaan khawatir bahwa rombongan berkuda ini akan kejatuhan longsoran atau malah terpeleset. Joki kuda yang belum tua itu rupanya tahu, dan menenangkan: kalau Tuan tidak ingin jatuh, kuda juga tak mungkin ingin jatuh. Ia, kuda yang kecil itu, pasti bisa bertahan di tanjakan securam apa pun di sini.

Hal kedua: di daerah utara Pulau Jawa dekat Jepara, saya menyeberang naik perahu kayu bermotor menuju Pulau Panjang. Ini pengalaman yang jarang-jarang karena saya selalu menghindari liburan di atas air. Soalnya memang saya tidak bisa berenang. Saya kira pengalaman paling menyenangkan dengan aliran air adalah sebuah permainan masa kecil: kita mencari daun yang kisut dan coklat, melengkungkan daun itu, melubanginya dengan batang daun agar kencang, seolah-olah ia adalah perahu layar yang gagah melayarkannya ke selokan dan berharap tak akan terbalik.

Dalam perjalanan pulang kapal tiba-tiba berhenti. Mesin mati. Perahu terombang-ambing di tengah laut, sementara daratan masih jauh dan nampak kecil di sana. Dua orang awak yang mengemudikan kapal mencoba mencari jalan keluar. Salah seorang mencebur ke laut, mengecek kondisi mesin. Saya mencoba tenang, tapi gelombang laut yang menghantam-hantam lambung perahu mengguyahkannya.

Saya belum siap mati waktu itu.

Dua pengalaman itu membuat saya berpikir ulang tentang kegagahan di luar militer: pada orang-orang yang terlatih berkuda di berbagai medan dan para pelaut yang ingin tahu ke mana angin bertiup. Sebabnya simpel: cukup sulit untuk mahir mengendalikan kuda dan mengerti ke mana angin bertiup.

Tapi toh pekerjaan yang menawarkan keberanian dan kegagahan itu tidak membuat mereka serta merta jadi kaya. Joki kuda itu, misalnya, seorang musafir yang hidupnya masih sederhana. Ia bercerita bagaimana hidupnya dulu di Yogyakarta tak menyenangkan, sering berhutang, dan minim makan enak—dan sekarang lebih mending. Para pelaut itu setali tiga uang.

Di dua tempat cerita saya itu tak ada bilbor. Tak ada papan iklan besar. Tak ada bising kota. Hidup-hidup orang gagah itu hanya berkisar pertanyaan: besok kami bisa makan apa, lusa kami bisa berhutang siapa. Dalam pikiran mereka hidup adalah tiga kata sederhana: jual, beli, cemas. Jarak-jarak antar kata itu tipis: mungkin satu senti atau satu mili.

 

[1] Terinspirasi oleh puisi Origami karangan Surachman. Dalam Surachman, Seribu Kekupu (Bandung: PT Kiblat Buku Utama, 2012), hal. 59.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun