Saat dunia memasuki abad ke-21 dengan harapan akan perdamaian global, Semenanjung Korea tetap menjadi sumber ketegangan yang signifikan bagi stabilitas regional dan internasional. Ketegangan antara Korea Utara dan Korea Selatan, yang telah berlangsung sejak akhir Perang Dunia II, semakin kompleks dengan kemajuan pesat program nuklir Korea Utara.
Perkembangan program nuklir Korea Utara didorong oleh kombinasi faktor keamanan nasional rezim, persaingan geopolitik, dan tekanan internasional. Rezim Kim Jong-un melihat senjata nuklir sebagai jaminan keamanan dan kekuatan politik untuk mempertahankan stabilitas internal serta melawan ancaman eksternal.Â
Persaingan antara kekuatan besar seperti Amerika Serikat dan China turut memperburuk situasi, dengan AS memandang program nuklir ini sebagai ancaman langsung, sementara China, meski menentang, tetap mendukung Korea Utara karena khawatir akan ketidakstabilan regional. Tekanan internasional berupa sanksi sering kali justru memperkuat tekad Pyongyang untuk melanjutkan program nuklirnya sebagai respons terhadap upaya yang dianggap merongrong kedaulatannya.
Di tengah dinamika ini, Indonesia memiliki peran penting sebagai mediator dalam meredakan ketegangan di Semenanjung Korea. Dengan komitmen pada diplomasi damai dan keterlibatan aktif dalam forum internasional, Indonesia dapat mendorong dialog dan solusi damai. Kontribusi Indonesia dalam mengurangi ketegangan nuklir ini akan memperkuat upaya global menuju perdamaian yang lebih stabil dan berkelanjutan.
Ancaman Nuklir Membawa Masalah Global
Ancaman nuklir dari program senjata Korea Utara bukan hanya masalah regional, tetapi juga membawa dampak global yang mendalam. Sejak Korea Utara memulai pengembangan senjata nuklirnya, negara ini telah melakukan enam uji coba nuklir sejak 2006. Uji coba terbesar terjadi pada 3 September 2017, ketika Korea Utara menguji bom nuklir dengan proses fusi kedua, menghasilkan ledakan yang jauh lebih dahsyat. Uji coba ini mempertegas kapasitas Korea Utara dalam meningkatkan potensi ancaman globalnya dengan ledakan nuklir yang lebih kuat dan merusak.
Negara-negara sekitar Semenanjung Korea, seperti Korea Selatan dan Jepang, terpaksa meningkatkan kesiapsiagaan mereka terhadap ancaman nuklir ini. Pada tahun 2024, Korea Selatan mengalokasikan sekitar 45,2 miliar dolar untuk anggaran pertahanan dan diperkirakan akan meningkat menjadi 54,7 miliar dolar pada tahun 2029. Peningkatan ini didorong oleh ancaman yang terus-menerus dari Korea Utara dan tujuan untuk memperkuat keamanan nasional secara keseluruhan. Jepang juga menyesuaikan kebijakan keamanannya dengan menetapkan hampir 5,3 miliar dolar untuk anggaran pertahanan pada tahun 2024, dan berencana untuk meningkatkannya hingga mencapai 2 persen dari PDB pada tahun 2027. Ini mencerminkan kekhawatiran Jepang terhadap ancaman dari Korea Utara serta upaya untuk memperkuat aliansi strategis di kawasan.
Dampak ancaman nuklir ini melampaui batas kawasan dan memengaruhi pasar global secara signifikan. Misalnya, pada tahun 2017, peluncuran rudal Korea Utara yang melewati wilayah udara Jepang menyebabkan penurunan tajam pada indeks pasar saham global. Indeks Nikkei Jepang turun lebih dari 1,4%, sementara harga minyak mentah Brent naik hingga 3% karena kekhawatiran tentang gangguan pasokan energi.Â
Ketegangan ini juga memperburuk hubungan diplomatik antarnegara, memicu perlombaan senjata, dan mendorong negara-negara lain untuk memperkuat kapasitas pertahanan mereka. Dalam jangka panjang, ancaman nuklir dapat merusak kestabilan ekonomi global dan mengganggu perdagangan internasional. Oleh karena itu, penanganan ancaman nuklir di Semenanjung Korea memerlukan upaya kolektif dari komunitas internasional untuk memastikan stabilitas dan perdamaian global.
Upaya Damai Semenanjung Korea