Gelombang pergerakan massa serikat buruh kembali sampai di pekarangan Gedung DPR, Senin (13/1). Yang menyambut bahkan tak tanggung-tanggung: ratusan personel TNI dan Polri berseragam lengkap. Sekelas menteri saja belum tentu mendapat sambutan serupa jika bertamu ke DPR.
Nyatanya tuntutan mereka masih sama sejak demo tahun lalu: menolak Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja (Cilaka). Sebuah paket regulasi yang diyakini pemerintah bakal mendongkrak investasi.
Bagaimana tidak? Aturan terkait kelas pekerja yang tadinya tersebar di lebih dari 70 undang-undang akan dikompres menjadi 1 undang-undang saja. Pintu regulasi semakin dipapat, anggaran birokrasi pun akan semakin hemat.
Sayangnya ada beberapa pasal dari RUU Cilaka ini yang berpotensi mengebiri hak-hak kelas pekerja. Dengan kata lain, omnibus law Cilaka ini amat rawan menciptakan celaka beneran.
Tidak percaya? Mari saya tunjukkan beberapa buktinya.
Pertama, pengubahan sistem upah menjadi berbasis jam kerja. Pekerja nantinya bukan lagi diberi upah berdasarkan jumlah hari kerja tetapi jumlah jam kerja yang ia lewati.
Awalnya saya kira kebijakan ini begitu positif. Pasalnya kebanyakan situs freelancer internasional sudah lama menggunakan sistem ini dan kita dapat membandingkan kualitas pekerja secara lebih proporsional.
Namun jika dipikir kembali, kebijakan ini justru rentan mendorong perusahaan untuk mempekerjakan karyawan dengan semaunya.
Jumlah jam kerja yang diberikan oleh perusahaan bisa sangat bergantung pada variabel kapasitas produksi. Jika produksi sedang gencar maka jam kerja bisa ditambah, sementara jika produksi sedang ditahan, jam kerja juga bisa dipangkas dengan mudah.
Perusahaan juga seperti akan dibebaskan dari kewajiban terhadap pekerja di luar jam kerja. Toh mereka hanya perlu membayar pekerja saat mereka bekerja. Bukan saat sedang beristirahat, sedang izin, apalagi sedang sakit.