Temanku di Majalengka sedang menggandrungi sebuah warteg. Bukan masalah rasa yang di bicarakan, tapi paras pelayan. Obrolan di dunia maya menjadi pemicu. Maklum, ada portal berita yang mengangkatnya menjadi berita. Berita selingan di tengah wacana penganggakan Kapolri bermasalah malah menjadi yang asik diobrolkan. Komentar genit terketik. Pastikan lokasi warung, dia segera meluncur.
Berita tentang orang cantik sering muncul. Awalnya hanya polwan cantik, kini dari pramugari sampai tukang tambal ban cantik tak luput menjadi produk jurnalistik. Isi beritanya sekedar ramai dibicarakan netizen, sampai berita liputan ditambah foto khusus.
Dalam foto, pelayan hanya tersenyum simpul. Berpose natural, seolah tak ada apapun yang aneh. Padahal, mata pelanggan laki-laki lebih asik melihat dirinya daripada menu makanan. Semua datang ke warteg karena berita.
Berita pelayan warteg cantik mengingatkanku pada acara FTV.  Sudah berapa puluh judul bercerita tentang perempuan cantik melakoni pekerjaan kasar. Hingga akhirnya ia menjadi pacar laki-laki ganteng nan kaya. Cerita fiksi itu kini diceritakan dalam fakta.
Cantik menjadi nilai berita. Ditengah situs porno yang dilarang, berita ini menjadi alternative pilihan. Ada pasar pembaca laki-laki dengan libidonya. Jurnalisme Buaya Darat, begitu Remotivi memberi istilah.
Semua informasi sudah campur aduk. Hal penting dan tidak penting. Pengaburan berita utama dan sisipan. Akhirnya, cantik dianggap lebih penting dibicarakan daripada hajat hidup orang banyak.
Penyebar informasi bukan lagi media gossip yang banyak dikritik. Media berpakem juranalistik tak mau ketinggalan pasar. Perempuan cantik seantero nusantara sedang diuber-uber wartawan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H