Lahan gambut tropis meliputi areal seluas 40 juta ha dan 50% diantaranya terdapat di Indonesia (terutama di Sumatera, Kalimantan dan Papua) dan merupakan cadangan karbon yang sangat besar yang harus dijaga kelestariannya. Lahan gambut yang masih alami dapat berfungsi sebagai penyerap karbon yang potensial, sebaliknya apabila gambut mengalami gangguan, misalnya terbakar, karbon yang akan terlepas ke alam juga sangat besar.
Sebagai cadangankarbon teresterial yang besar, lahan gambut juga dapat menjadi sumber CO2 yang besar jika tidak dikelola dengan benar. Secara global lahan gambut menyimpan sekitar 329 Gt C atau 15%-35% dari total C teresterial. Sekitar 14% (70 Gt) deposit C di dunia terdapat di daerah tropis. Jika diasumsikan bahwa ketebalan rata-rata lahan gambut di Indonesia 5 m, bobot isi 114 Kg/m3 dan luas 16 juta ha, maka cadangan C di lahan gambut di Indonesia sebesar 46 Gt. (1 Gt = 109 ton)
Cadangan C yang besar ini pulalah yang menyebabkan tingginya jumlah C yang dilepaskan ke atmosfer saat lahan gambut di Indonesia terbakar hebat pada tahun 1997, yaitu berkisar 0.81-2.57 Gt (Page, 2002).Data lain dari ADB menyatakan bahwa emisi karbon yang terlepas ke atmosfer pada saat terjadi kebakaran 1997 sebesar 156.3 juta ton (75% dari total emisi karbon) dan 5 juta ton partikel debu.
Lebih dari 99% kebakaran hutan dan lahan gambut adalah akibat ulah manusia, baik yang disengaja maupun akibat kelalaian. Hal ini didukung oleh kondisi-kondisi tertentu yang membuat rawan terjadinya kebakaran, salah satunya adalah berubahnya kondisi fisik lahan gambut.
Lahan gambut berfungsi layaknya spons yang menyerap dan menyimpan air dalam jumlah yang besar, jika tidak mengalami gangguan lahan gambut mampu menyimpan air sebanyak 0.8-0.9 m3/m3 gambut. Di dalamnya terdapat bahan organik yang terdekomposisi secara lambat. Dalam kondisi normal, gambut sangat sulit untuk terbakar. Tapi mengapa sebagian besar lahan yang terbakar pada tahun 1997 adalah lahan gambut? Tangan manusialah yang mengeringkan dan mengubahnya menjadi lahan pertanian dengan menggalikanal-kanal.
Kanalisasi, inilah penyebab utama mudah terbakarnya lahan gambut. Bisa anda bayangkan suatu luasan lahan gambut yang mirip spons yang mudah terbakar tetapi karena jenuh dengan air sehingga sangat sulit terbakar. Kemudian manusia dengan teknologi yang dimilikinya membuat kanal-kanal sehingga air yang tergenang mengalir ke sistem-sistem aliran utama. Hasilnya? Pada musim kemarau dimana suplai air minim, deposit air yang ada di gambut akan mengalir ke kanal-kanal karena posisinya yang lebih rendah. Sekarang lahan gambut telah kering, yang kita butuhkan hanyalah sumber api untuk menjadikan lahan gambut sebagai sumber emisi.
Bagai api dalam sekam, itulah yang akan terjadi jika gambut terbakar, Api akan bertahan hingga berhari-hari bahkan berbulan-bulan. Pembakaran yang terjadipun tidak sempurna, sehingga menghasilkan emisi karbon yang tinggi.Hal ini diperparah dengan sulitnya memadamkan api yang membakar lahan gambut. Akses yang sulit menuju titik api mungkin bisa diatasi dengan melakukan pemadam melalui udara, tetapi masalah utamanya bukanlah akses,letak sumber api-lah yang menjadi masalah utama. Perlu kita ketahui bahwa pada saat terbakar, bukan hanya vegetasi yang tumbuh di atas lahan gambut yang terbakar, tetapi lahan gambutnya juga ikut terbakar. Api yang membakar bukan hanya dipermukaan tetapi juga berada di bawah permukaan. Hal inilah yang menyulitkan proses pemadaman, sehingga kebakaran lahan gambut bisa berlangsung hingga hitungan bulan.
Kita semua tentu masih ingat sebuah mega proyek yang dicanangkan pemerintahan Orde Baru yang diberi judul Proyek Lahan Gambut (PLG) Sejuta Hektar di Kalimantan. Mega proyek yang bertujuan untuk perluasan area pertanian tanaman pangan ini sebenarnya telah ditentang oleh kalangan ilmuwan dan praktisi lingkungan hidup. Mereka beralasan lahan gambut sangat sulit untukdikonversi menjadi lahan pertanian. Dibutuhkan teknologi yang mahal serta waktu yang tidak singkatuntuk mengubah lahan gambut menjadi lahan pertanian yang produktif. Dengan alasan tersebut, sangat wajar apabila muncul prasangka bahwa proyek yang 'mulia' ini hanya dijadikan kedok untuk mengeksploitasi jutaan meter kubik cadangan kayu yang sangat bernilai ekonomis.
Kanal-kanalpun digali dengan maksud memberikan akses pada air tawar yang terdapat pada sungai-sungai besar untuk mencuci gambut agar kandungan racun-racunnya berkurang. Namun yang terjadi sebaliknya, air yang terkandung dalam gambut justru mengalir ke sungai-sungai utama melalui kanal-kanal tersebut sehingga pada musim kemarau gambut menjadi kering. Kini sejuta hektar lahan gambut siap menjadi salah satu penyumbang emisi karbon terbesar.
Fakta di atas ternyata belum cukup untuk menyadarkan kita, terutama para pengambil kebijakan untuk bertindak lebih arif dalam memperlakukan lahan gambut. Kebakaran lahan gambut sepertinya sudah menjadi even rutin setiap tahunnya. Setiap tahun pula kita menorehkan prestasi sebagai negara pengekspor asap terbesar, setidaknya untuk kawasan asia tenggara. Lebih menyedihkan lagi nasib lahan gambut, dari tahun ke tahun semakin memburuk walaupun tampuk pemerintahan telah berganti beberapa kali. Perangkat hukum yang dibuat untuk mencegah pengkonversian lahan gambut juga telah diterbitkan oleh pemerintah.
Masih belum terlambat bagi kita (yang peduli) untuk mencegah nasib 20 juta hektar lahan gambut Indonesia semakin memburuk. Tidak ada jalan lain untuk mencegah lahan gambut kita terbakar, kecuali dengan mengembalikan fungsinya seperti semula. Kanal-kanal yang ada harus ditutup untuk meninggikan muka air tanah pada lahan gambut sehingga kandungan airnya tetap ada walau kemarau sekalipun. Kalaupun pemecahan masalah yang terkesan radikal tersebut sulit untuk dilaksanakan, kita bisa mengembalikan tinggi muka air tanah pada lahan gambut dengan membangun bendungan-bendungan sederhana yang bisa mencegah air di kanal-kanal mengalir ke sistem-sistem aliran utama.
Kita juga harus merubah pola berpikir kita, bahwasanya lahan gambut hanya akan bernilai ekonomis apabila dikonversi menjadi areal pertanian. Masih banyak cara lain yang bisa menjadikan lahan gambut beserta kesatuan ekosistem yang ada di dalamnya sebagai tambang rupiah, tanpa merusak kelestariannya. Perlu diingat, alam akan tetap lestari walaupun tanpa kehadiran makhluk bernama manusia, tetapi apa yang akan terjadi jika manusia hidup tanpa alam? ///Hkm
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H