Mohon tunggu...
Arief Hakim
Arief Hakim Mohon Tunggu... Freelancer - Peneliti independen

hidup harus menghidupi

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Pilihan

Jelajah Kalimantan Selatan (Etape III: Tanah Grogot - Banjarbaru)

19 Februari 2014   06:16 Diperbarui: 24 Juni 2015   01:41 817
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1392436231281033443

[caption id="attachment_312116" align="aligncenter" width="300" caption="Rute yang ditempuh"][/caption] Tibalah saatnya untuk etape terpanjang, 376 km siap dilibas di hari ke-4 petualangan saya mengelilingi tanah kelahiran, Kalimantan Selatan. Bekal istirahat semalam tentu belum cukup untuk memulihkan tenaga setelah menempuh dua etape sebelumnya. Tapi semangat untuk menuntaskan misi ini dapat menutupi kekurangan tersebut. Semangat untuk mengenali seluk beluk tanah air Kalimantan dengan segala keindahan dan kehancuran lingkungan fisik dan sosialnya.

Menu sarapan sederhana sudah tersaji di meja makan selepas saya mandi. Sementara di luar, sinar matahari belum mampu menguapkan embun yang menutupi dedaunan. Nampaknya rencana saya untuk melanjutkan perjalanan sepagi mungkin telah sukses merepotkan keluarga Mas Lastanto. Sepagi mungkin adalah pilihan paling realistis mengingat terbatasnya pengetahuan terhadap medan yang akan saya lewati. Mungkin terlalu berlebihan bila saya mengalokasikan waktu sehari penuh untuk menyusuri jalan provinsi sepanjang 376 km sehingga harus berangkat pagi sekali. Tapi ini Kalimantan bukan Jawa yang kualitas jalannya selalu mendapat perhatian pemerintah pusat.

Sarapan di piring telah tandas berpindah mengisi lambung, tugas mulut pun usai dan digantikan lambung. Tas ransel lusuh telah menghimpun rapi barang bawaan saya pada setiap kompartemennya. Skuter matik menanti di halaman sambil memanaskan dan melumasi sendi-sendi mesinnya . Hangat matahari mulai dapat dirasakan seiring geliat masyarakat satuan pemukiman transmigrasi mengisi pagi minggu. Perpisahan di suasana pagi yang indah bukanlah kombinasi yang mengenakkan bagi saya, mungkin juga bagi keluarga Mas Lastanto. Kalimat perpisahan itu akhirnya keluar dengan susah payah dari lisan saya, dengan sedikit berbasa-basi sebagai pengantarnya. Beberapa gambar keluarga beliau saya ambil menggunakan kamera smartphone sebagai kenang-kenangan.

Perjalanan pulang dimulai dengan menyusuri jalan mulus beraspal di antara perkebunan karet dan kelapa sawit rakyat. Jalan ini berbeda dengan jalan sehari sebelumnya yang saya gunakan untuk menuju permukiman transmigrasi Suliliran Baru. Jalan akses ini mulus karena truk-truk pengangkut tandan buah segar kelapa sawit dilarang melewatinya. Beberapa menit kemudian saya telah sampai di jalan negara menuju kota Tanah Grogot.

Lepas dari Tanah Grogot, perjalanan mengarah ke kota kecamatan Kuaro yang masih termasuk wilayak Kabupaten Paser. Pemandangan menuju Kuaro masih dihiasi oleh jajaran perkebunan kelapa sawit dan sesekali diselingi tanaman karet rakyat yang tumbuh semaunya. Kota kecil ini ramai oleh arus manusia dan barang karena merupakan pertemuan jalan yang saya lewati dengan jalan Trans Kalimantan, yang menghubungkan Kalimantan Selatan dengan Kalimantan Timur. Sempat salah arah dengan mengambil jalan menuju Balikpapan, skuter matik berbalik menuju jalan yang siap menuntun saya pulang.

[caption id="attachment_312726" align="aligncenter" width="300" caption="Etape 3: Tanah Grogot - Banjarbaru"][/caption]

Menyusuri ruas jalan Kuaro hingga perbatasan Kalimantan Selatan seperti dilemparkan mesin waktu ke zaman “entah kapan”. Jalanan sempit dengan lubang yang tidak pernah absen tiap kilometernya bukanlah sesuatu yang pantas ditemukan di zaman sekarang. Untungnya saya masih sadar bahwa ini Indonesia, tepatnya Pulau Kalimantan. Di sudut lain, sedang dibangun jalan tol pertama di Kalimantan yang menghubungkan Balikpapan dengan Samarinda, ironis dan sulit dicerna akal sehat.

Telunjuk tidak serta merta dapat diarahkan ke pemerintah pusat terhadap ketertinggalan Kalimantan dari Jawa. Kebodohan pemerintah daerah juga berkontribusi tidak sedikit terhadap lambannya  perkembangan Kalimantan. Raja-raja kecil produk otonomi daerah tidak pernah puas menguras kekayaan bumi Kalimantan untuk mengisi perut ajaib mereka, yang tidak pernah merasa kenyang. Berharap, hanya itu yang sementara ini dapat saya lakukan, berharap kutukan sumberdaya alam ini segera dicabut dari tanah air kami.

Jalan trans Kalimantan mendadak berubah menjadi mulus ketika saya melintas batas masuk ke wilayah administratif Kalimantan Selatan. Sebuah gerbang menjadi penanda batas provinsi di antara lebatnya hutan Pegunungan Meratus yang membujur utara-selatan. Skuter matik terus dipacu dengan kecepatan tinggi berharap secepat mungkin tiba di Banjarbaru. Ada pemandangan unik ketika memasuki kota Tanjung, ibukota Kab. Tabalong yang merupakan kabupaten paling utara di Provinsi Kalimantan Selatan. Sebuah tugu obor yang bahan bakar gasnya dipasok dari Pertamina siap menyambut siapa saja yang memasuki kota Tanjung, belakangan saya ketahui tugu tersebut adalah Monumen Tanjung Puri. Wilayah ini memang telah lama tersohor dengan produksi gas dan minyak buminya.

Baca: http://www.antarakalsel.com/berita/10066/api-tugu-tak-lagi-menyala

Kabupaten Balangan merupakan kabupaten berikutnya yang saya lewati, merupakan kabupaten hasil pemekaran dari Kabupaten Hulu Sungai Utara. Alasan pemekaran masih klise, yakni merasa tidak diperhatikan dan memiliki sumberdaya alam melimpah. Deposit batubara di wilayah ini memang luar biasa, entah berapa jumlah pastinya, namun keberadaan PT Adaro Energy dengan produksi kisaran 40 juta ton (setara 20% produksi nasional) sudah cukup memberikan gambaran. Tidak heran apabila kawasan tambang tersebut dengan segala infrastruktur pendukungnya ditetapkan sebagai Obyek Vital Nasional. Kolinialisme model baru…

[caption id="attachment_312730" align="aligncenter" width="300" caption="Armada penguras kekayaan bumi Kalimantan Selatan milik Adaro Energy"][/caption]

Lupakan masalah batubara, skuter matik saya hampirkan ke warung ketupat di kawasan Parincahan, Kabupaten Hulu Sungai Selatan dengan ibukotanya Kandangan. Katupat Kandangan (Ketupat dalam Bahasa Banjar dibaca “katupat”, karena kebanyakan masyarakat Banjar hulu sungai tidak mengenal vokal “e”) memang sudah menjadi kebanggaan kabupaten ini. Ketupat dengan beras lokal yang pera, diimbuhi potongan ikan haruan asap, lalu disiram kuah santan nan kental, kenikmatan apalagi yang harus kita dustakan? :)

[caption id="attachment_312733" align="aligncenter" width="300" caption="Katupat Kandangan. Kelezatan yang tersembunyi pada kesederhanaan sajiannya :)"][/caption]

Kabupaten Hulu Sungai Selatan tidak dapat dipisahkan dari perjalanan hidup saya, selain merupakan asal kelahiran abah saya, tempat ini merupakan tempat saya menghabiskan liburan. Entah itu saat masih bersekolah hingga menempuh pendidikan perguruan tinggi di Malang dan saat ini Yogyakarta. Apabil anda pernah mendengar tujuan wisata bernama Loksado, di kabupaten inilah anda bisa menemukannya. Loksado telah masyhur sebagai daerah tujuan wisata yang menyajikan atraksi budaya masyarakat adat Dayak Meratus dengan segala kearifannya mengelola keindahan dan kelestarian Pegunungan Meratus. Dari Kandangan, perjalanan saya menyisakan 100 km untuk mencapai Banjarbaru.

20 km selepas Kab. Hulu Sungai Selatan, perjalanan saya mulai memasuki Kab. Tapin yang beribukota Rantau, tempat dimana mama saya dilahirkan. Kabupaten yang (lagi-lagi) dihidupi oleh tambang batubara. Keinginan untuk secepatnya tiba di Banjarbaru memaksa saya untuk tidak singgah sekedar menyapa keluarga di Kandangan dan Rantau. Tulang belakang ini sudah sangat tersiksa dan mendambakan istirahat yang berkualitas di rumah.

Setelah kurang lebih 8 jam, akhirnya perjalanan panjang hari itu dan hari-hari sebelumnya berakhir seiring mulusnya skuter matik masuk ke halaman rumah saya. Lelah sudah pasti, tapi pengetahuan baru yang didapatkan, apalagi tentang tanah kelahiran sendiri, adalah pantas ditebus dengan kelelahan yang sangat. Perjalan ini memang belum mampu memberikan apapun terhadap Kalimantan, tapi bukankah benih-benih revolusi di diri Che tumbuh dari perjalanan panjangnya bersama sang sahabat mengelilingi Amerika Selatan? Bagi saya yang kecil ini, cukuplah Kalimantan Selatan sahaja. Sekian... /Hkm

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun