Nasib Harnojoyo & Kemungkinan Sarimuda Menjadi Walikota Palembang Sisa Masa Jabatan 2013-2018
Oleh: Arief Budiman, S.H.*)
Pemeriksaan perkara sengketa Tata Usaha Negara Nomor 223/G/2015/PTUN-JKT di PTUN Jakarta, gugatan terhadap Keputusan Menteri Dalam Negeri RI Nomor 131.16-5050 Tahun 2015 tertanggal 7 September 2015 Tentang Pengangkatan Walikota Palembang (atas nama H. Harnojoyo, S.Sos) dan Pemberhentian Wakil Walikota Palembang (atas nama H. Harnojoyo, S.Sos), pada penghujung bulan Maret ini akan diputus oleh majelis hakim yang diketuai oleh Indaryadi, S.H., M.H. (Berita, Nasib Jabatan Walikota Harnojoyo Segera Diputus PTUN Jakarta; sindonews.com).
Gugatan yang diajukan oleh Warga Masyarakat Kota Palembang itu telah menggunakan tangan PTUN Jakarta sebagai alat uji apakah jabatan Walikota yang dipegang oleh H. Harnojoyo, S.Sos. adalah SAH (dalam artian tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan/atau tidak bertentangan dengan asas-asas umum pemerintahan yang baik).
Adapun yang mendasari Para Penggugat tersebut mengajukan gugatan ke PTUN Jakarta adalah bahwa H. Romi Herton, S.H., M.H., yang pada saat itu adalah seorang Walikota (non aktif) dan H. Harnojoyo, S.Sos yang menjabat Wakil Walikota Palembang (Plt. Walikota) telah dimakzulkan atau diimpeachment oleh DPRD Kota Palembang melalui Keputusan DPRD Kota Palembang Nomor 06 Tahun 2014 tertanggal 27 September 2014, yang mana terhadap keputusan DPRD Kota Palembang ini telah dinyatakan sah dan berdasar hukum oleh Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 04 P/KHS/2014 tertanggal 3 Desember 2014. Oleh Karena itu Para Penggugat menganggap bahwa keputusan pengangkatan H. Harnojoyo, S.Sos. sebagai Walikota Palembang adalah tidak sah, bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan/atau bertentangan dengan asas-asas umum pemerintahan yang baik (Berita, Sidang PTUN Pengangkatan Harnojoyo Digelar; dan Berita, HBA Hadirkan Saksi Ahli; sumeks.co.id).
Mengamati kebertentangan antara SK Mendagri Nomor 13.16-5050 Tahun 2015 dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yaitu telah mengabaikan Putusan Mahkamah Agung Nomor 04 P/KHS/2014, haruslah mengacu pada UU No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintah Daerah, yang menjadi dasar dan mekanisme pemakzulan (undang-undang yang pada waktu keputusan pemakzulan dilaksanakan), dan UU No. 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintah Daerah, yang mencabut keberlakuan UU No. 32 Tahun 2004 dan dalam kaitan ini menjadi dasar dari implikasi pemazulan tersebut.
Baik menurut UU No. 32 Tahun 2004 maupun UU No. 23 Tahun 2014, keputusan pemakzulan oleh DPRD dan Putusan Mahkamah Agung yang menguji keputusan pemakzulan tersebut adalah merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Pasal 29 ayat (4) huruf a UU No. 32 Tahun 2004 berbunyi:
“Pemberhentian kepala daerah dan wakil kepala daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf d dan hurf e dilaksanakan dengan ketentuan:
a) Pemberhentian kepala daerah diusulkan kepada Presiden berdasarkan putusan Mahkamah Agung atas pendapat DPRD bahwa kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah .......”
dan Pasal 80 ayat (1) huruf a UU No. 23 Tahun 2014 berbunyi:
a) pemberhentian kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah diusulkan kepada Presiden untuk gubernur dan/atau wakil gubernur serta kepada Menteri untuk bupati dan/atau wakil bupati atau walikota dan/atau wakil walikota berdasarkan putusan Mahkamah Agung atas pendapat DPRD bahwa......”
Frasa kalimat yang berbunyi, “berdasarkan putusan Mahkamah Agung atas pendapat DPRD,” menunjukan bahwa antara keputusan pemakzulan oleh DPRD dan putusan Mahkamah Agung yang mengujinya adalah merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipsahkan. Ini berarti bahwa pemakzulan oleh DPRD terhadap kepala daerah wajib diuji oleh MA, dan jika hasil pengujian oleh MA menyatakan bahwa pemakzulan oleh DPRD adalah benar atau sah berdasar hukum barulah kepala daerah tersebut dapat diberhentikan, Presiden memberhentikan gubernur, Mendagri memberhentikan bupati dan/atau wakil bupati atau walikota dan/atau wakil walikota.
Implikasi dari pemakzulan yang dilakukan oleh DPRD Kota Palembang yang telah dinyatakan sah berdasar hukum oleh putusan MA No. 04 P/KHS/2014 (Direktori Putusan Mahkamah Agung; putusan.mahkamahagung.go.id), berdasarkan Pasal 80 ayat (1) huruf d dan huruf f dan Pasal 80 ayat (2) serta Pasal 80 ayat (3) UU No. 23 Tahun 2014 adalah Mendagri wajib memberhentikan Romi Herton sebagai Walikota Palembang dan Harnojoyo sebagai Wakil Walikota Palembang. Terhadap Romi Herton sudah diberhentikan, walaupun pemberhentian tersebut tidak didasari oleh pemakzulan DPRD Kota Palembang melainkan karena putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap (inkrah atau inkracht van gewijsde), namun terhadap Harnojoyo, Mendagri tidak melaksanakan pemberhentian, malah justru mengangkatnya menjadi walikota Palembang. Tentu hal inilah yang menjadikan munculnya gugatan terhadap keputusan Mendagri tersebut.
Penilaian mengenai sah atau tidaknya keputusan Mendagri mengangkat Harnojoyo tentulah menjadi kewenangan lembaga peradilan, yang dalam hal ini adalah PTUN Jakarta. Hal yang menarik bagi penulis adalah pertanyaan-pertanyaan atau kemungkinan-kemungkinan yang akan muncul jika PTUN Jakarta menyatakan bahwa Keputusan Mendagri Nomor 131.16-5050 Tahun 2015 adalah tidak sah dan Mendagri wajib mencabut keputusan tersebut.
Kemungkinan-kemungkinan tersebut adalah:
1. Bagaimanakah nasib Harnojoyo?
2. Siapa yang akan menjabat walikota Palembang sisa masa jabatan 2013-2018? dan
3. Adakah kemungkinan Sarimuda menjadi walikota Palembang?
NASIB HARNOJOYO
Jika dipenghujung bulan Maret ini, berdasarkan info dari bagian informasi PTUN Jakarta putusan Perkara No. 223/G/2015/PTUN-JKT akan diputus pada tanggal 29 Maret 2016, PTUN Jakarta membuat putuskan yang amarnya berbunyi:
1. Mengabulkan gugatan PARA PENGGUGAT untuk seluruhnya;
2. Menyatakan batal atau tidak sah KEPUTUSAN MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA NOMOR 131.16-5050 TAHUN 2015 TENTANG PENGANGKATAN WALIKOTA DAN PEMBERHENTIAN WAKIL WALIKOTA PALEMBANG PROVINSI SUMATERA SELATAN, TERTANGGAL 7 SEPTEMBER 2015;
3. Mewajibkan TERGUGAT untuk mencabut KEPUTUSAN MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA NOMOR 131.16-5050 TAHUN 2015 TENTANG PENGANGKATAN WALIKOTA DAN PEMBERHENTIAN WAKIL WALIKOTA PALEMBANG PROVINSI SUMATERA SELATAN, TERTANGGAL 7 SEPTEMBER 2015;
4. ......
maka secara hukum Mendagri wajib memberhentikan Harnojoyo dari jabatannya sebagai Walikota Palembang, hal ini dikarenakan bahwa yang benar menurut majelis hakim PTUN Jakarta adalah Mendagri melaksanakan Keputusan DPRD Kota Palembang Nomor 06 Tahun 2014 juncto Putusan MA No. 04 P/KHS/2014. Dan jika Mendagri tidak memberhentikan Harnojoyo dari jabatannya sebagai Walikota Palembang maka sekali lagi Mendagri melakukan perbuatan melawan hukum (Perbuatan Melawan Hukum oleh Penguasa atau Onrechtmatige Overheidsdaad).
Menjadi hal yang menarik, bahwa terlepas dari pihak mana yang dimenangkan dalam persidangan di PTUN Jakarta tersebut, jika nantinya ada upaya hukum Banding dan Kasasi, toh pada tingkat kasasi, Tergugat dalam hal ini adalah Mendagri akan berhadapan dengan Mahkamah Agung yang mengeluarkan Putusan 04 P/KHS/2014, putusan mana yang telah diabaikan keberlakuannya oleh Mendagri. Tentulah dalam hal ini Mahkamah Agung akan menyatakan bahwa SK Mendagri tersebut bertentangan dengan peraturan perundang-undangan karena telah mengabaikan pemakzulan oleh DPRD Kota Palembang jo Putusan MA No. 04 P/KHS/2014. Karena sangat tidak bisa diterima oleh akal sehat jika Mahkamah Agung mengabaikan Putusan yang telah dibuatnya sendiri, karena ini menyangkut marwah atau kewibawaan sebuah lembaga peradilan tertinggi di negeri ini.