[caption id="attachment_225827" align="aligncenter" width="348" caption="Dikti"][/caption] Dahulu sebelum menjadi 'antek' pemerintah saya bekerja di sektor private, di salah satu industri rokok yang dulunya nasional dan sayangnya beralih kepemilikan ke asing. Pengalaman saya bekerja di dua sektor berbeda memberikan saya experience yang nyata tentang birokrasi. Menilik dari sumber translasi bebas, birokrasi bisa diartikan sebagai rantai komando dalam suatu organisasi yang dideskripsikan dengan jelas (http://id.wikipedia.org/wiki/Birokrasi). Kesimpulannya baik di sektor private (swasta) ataupun public (pemerintah) masing-masing memiliki rantai komando yang unik, yang dibedakan hanya tingkat  keefisienan dan keefektifan dalam bekerja. Nah saya ingin bercerita sedikit tentang 'penyetaraan ijazah'. Tahun lalu saya baru saja menyelesaikan studi master saya di salah satu negara di Eropa melalui jalur beasiswa yang saya dapatkan melalui jalur mandiri. Karena saya mendapatkan gelar itu dari universitas luar, maka ada istilah yang namanya 'Penyetaraan Ijazah'. Itu diakukan khusus untuk melegalisasi gelar yang kita miliki sehingga kelak gelar kesarjanaan kita dapat diakui oleh Pemerintah Indonesia, ini berlaku baik untuk mereka yang bekerja di pemerintah ataupun swasta, meski saya percaya sektor private tidak akan meminta sejauh ini untuk membuktikan legalisasi gelar yang kita miliki, hanya kemampuan dan keahlian professional. Saya bekerja di salah satu institusi pemerintah di Jakarta. Posisi saya di fungsional mengharuskan saya untuk membuktikan legalitas gelar saya untuk mendapatkan angka kredit, yang nantinya berfungsi untuk kenaikan pangkat dan tentunya berpengaruh pada golongan (remunerasi). Untuk penyetaraan ijazah, hanya bisa didapatkan dari DIKTI (bagian dari Kementrian Pendidikan) dan harus diurus melalui pendaftaran online di website khusus yang sudah disediakan untuk mendapatkan nomor registrasi. Zaman modern seperti ini memang membantu, yang penting punya koneksi internet, maka semua urusan lancar. Saya membuat janji untuk melakukan wawancara dengan pihak Dikti pada hari berikutnya, dan wawancara tersebut hanya bisa dilakukan di Kantor Dikti di Jakarta. Ada beberapa persiapan yang harus saya lengkapi selain transkrip nilai dan ijazah asli, kita juga harus menunjukkan ijazah asli S-1, passport, nota dinas tugas belajar dari Setneg (Sekretariat Negara), dan beberapa dokumen pendukung lainnya. Harap dicatat bahwa semua dokumen pendukung harus asli. Alhamdulillah prosesi wawancara tidak ada hambatan, kecuali kawan yang ternyata khusus untuk jurusan yang dipilih belum pernah disetarakan sebelumnya maka harus menunjukkan brosur yang memberikan informasi tentang jurusan yang dipilih, dan tentu ini memakan waktu lebih lama. Setelah pihak Dikti yakin dengan keaslian gelar kesarjanaan kita, selanjutnya mereka akan mengeluarkan sertifikat yang bisa diambil rentang 3 hari setelah pengurusan. Kembali soal urusan kantor saya, untuk diakui, mereka membutuhkan legalisir sertifikat sebanyak dua lembar. Di Dikti, proses legalisir sayangnya tidak bisa diurus pada hari yang sama karena yang membubuhkan tandatangan harus pejabat yang berwenang, dan pengurusan tersebut membutuhkan waktu rentang 2 hari sejak legalisasi gelar kesarjanaan kita dapatkan. Kalau melihat proses diatas, bisa disimpulkan bahwa total waktu minimal untuk mendapatkan dokumen minimal 6 hari (dan ini tentu hari kerja). Saya hanya tersenyum kecil, dengan rentang pengurusan selama itu, saya kehilangan potensi untuk berkarya karena harus bolak-balik ke Dikti hanya untuk pengurusan dokumen. Saya diuntungkan karena saat ini bertugas di Jakarta. Pertanyaan yang muncul, bagaimana kalau saya berdomisili diluar Jakarta? Bagaimana kalau saya berasal dari Sulawesi atau bahkan di Sumatra ujung seperti Aceh? Berapa biaya yang harus saya tanggung seperti penginapan dan juga transport (akomodasi) selama proses pengurusan? Bagaimana jika ternyata saya berdomisili di Jakarta tetapi ijazah saya simpan di rumah (daerah asal)? Bagaimana jika saya membutuhkan dokumen itu untuk keperluan mencari kerja yang berbatas waktu, sedangkan legalisasi belum saya dapatkan? Pada akhirnya pemberian legalisasi ijazah tergantung pada person yang mewawancarai kita. Ada yang mempermudah, tetapi ada juga yang sangat teliti dan melelahkan. Hanya untuk sesuatu hal yang kesannya sepele, tetapi cukup memakan waktu dan tenaga untuk diakui. Saya hanya membayangkan lamanya perizinan untuk hal lainnya karena masalah birokrasi, maka tidak heran Indonesia sekarang jauh tertinggal jika dibandingkan dengan negara lain karena hal-hal kecil seperti diatas. Saya masih diuntungkan karena pihak Kementrian Pendidikan dalam hal ini Dikti sudah cukup profesional sehingga tidak ada biaya administratif atau pungli yang biasanya ada untuk keuntungan segelintir pihak. Terakhir ada satu cerita menggelitik dari teman saya. Dia mengikuti program Double Degree kerjasama salah satu universitas nasional terkemuka di Indonesia dengan di luar negeri. Kerjasama itu didukung dengan MoU (Memorandum of Understanding) antara kedua belah pihak. Teman saya mendapat masalah karena gelar kesarjanaannya ternyata tidak diakui oleh Dikti karena hal yang kurang jelas, padahal tentunya MoU itu merupakan bukti yang lebih dari cukup dan sudah berjalan cukup lama. Tidak tahu apakah 'kearifan' dari pihak Dikti sendiri yang tidak dilibatkan sehingga keputusan final tetap seperti ini atau bagaimana, tetapi itu terjadi. Well, itulah sedikit gambaran yang bisa saya share. Saya hanya bisa berharap kedepan segala macam proses administratif bisa lebih dipercepat. Baik untuk kita pribadi, dan tentunya untuk bangsa ini. Jakarta, 7 Februari 2013 06.22 WIB
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H