Pengangguran merupakan isu yang selalu hangat diperbincangkan dalam sebuah aktifitas bisnis dan perekonomian sebuah negara. Semakin rendah tingkat pengangguran maka semakin kuat modal penggerak roda pembangunan. Jumlah dan komposisi angkatan kerja akan terus mengalami perubahan seiring dengan berlangsungnya proses demografi, politik, ekonomi, sosial-budaya dan kesehatan. Indonesia sangat sensitif terhadap isu pengangguran hal tersebut ditandai dengan diterbitkannya data pengangguran oleh Badan Pusat Statistik (BPS).
Pada Februari 2020, BPS dalam berbagai media daring menyatakan lulusan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) mendominasi jumlah pengangguran di Indonesia sebesar 6,88 juta orang. Lulusan SMK menyumbang Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) tertinggi sebesar 8,49% jika dibandingkan dengan TPT SD ke bawah sebesar 2,64%, kemudian SMP 5,02%, Universitas 5,73%, SMA 6,77% dan Diploma I/II/III sebesar 6,76%. Akan tetapi, perkembangan tren pengangguran lulusan SMK mengalami penurunan dari tahun 2018 hingga 2020.
Evaluasi pengangguran di Indonesia sering kali relatif tidak berimbang. Hasil evaluasi yang disampaikan lebih banyak pada sisi pasokan (supply) tenaga kerja. Padahal jika ditelisik lebih jauh isu pengangguran dipengaruhi oleh dua sisi, yaitu sisi pasokan (supply) tenaga kerja dan sisi permintaan (demand) tenaga kerja. Pertumbuhan angkatan kerja yang kurang diimbangi dengan pertumbuhan lapangan kerja akan menyebabkan tingkat kesempatan kerja yang cenderung menurun.
Pandemi COVID-19 mengungkap adanya anomali data pengangguran dan sekaligus memberikan pelajaran yang sangat penting dalam pembahasan isu pengangguran dari sisi permintaan (demand) tenaga kerja. Adanya pandemi COVID-19 mengakibatkan banyaknya lapangan pekerjaan yang tutup sehingga mengakibatkan melonjaknya pengangguran di Indonesia. Apindo melansir bahwa hampir semua perusahaan yang tersebar dalam berbagai sektor terdampak Covid-19. Pada sektor pariwisata saja terdapat 698 hotel yang tutup, transportasi antar daerah yang beroperasi tinggal 10% bahkan industri manufaktur yang diunggulkan untuk menyerap tenaga kerja juga mengalami kesulitan cash flow. Lebih jauh lagi Apindo juga menyebutkan daya tahan industri di proyeksi hanya sampai bulan Juni 2020. Selain itu juga, Bappenas memprediksi jumlah penganggur pada 2020 akan bertambah 4,22 juta orang. Hal tersebut tentu saja berdampak pada berkurangnya kesempatan kerja di Indonesia, yang berimbas pada tidak tertampungnya seluruh lulusan SMK yang masuk ke dunia kerja pada tahun 2020. Kondisi demand tersebut akan menjadi salah satu indikator penyebabnya tingginya angka pengangguran lulusan SMK kedepannya.
Permasalahan demand yang mengakibatkan pengangguran ini, sebaiknya diselesaikan dari sisi demand juga. Karena sangat tidak relevan jika penyelesaiannya selalu diselesaikan dari sisi supply yakni sisi SMK sebagai penghasil dan pemasok tenaga kerja. Salah satu solusi diantaranya penerapan The Job Retention Scheme (JRS). Skema ini akan memungkinkan perusahaan untuk mempertahankan karyawan untuk tetap digaji selama pandemi COVID-19. Selain itu, Pemerintah dapat juga mempersiapkan lapangan pekerjaan yang dapat menyerap banyak tenaga kerja seperti lapangan pekerjaan di bidang pertanian, perikanan, infrastruktur dan lain sebagainya
Namun demikian dapat dipahami bahwa penyelesaian pengangguran dari sisi demand tersebut tidak dapat diselesaikan sendiri oleh pemerintah. Perlu adanya perubahan paradigma bahwa tidak seluruhnya lulusan SMK harus diarahkan untuk bekerja di Industri seperti Perusahaan, Pabrik, Hotel, Mall, Cleaning Service, dan sebagainya. Sudah menjadi rahasia umum bahwa lowongan pekerjaan pada industri tersebut sangat terbatas bahkan faktanya tidak ada lapangan kerja sama sekali untuk lulusan SMK saat ini. Biasanya situasi ini sangat jarang diungkap oleh industri apalagi situasi pandemi COVID-19.
Pada masa pandemi COVID-19 ini, Pemerintah bersama-sama dengan SMK diharapkan mampu mnegubah paradigma untuk peserta didik SMK bahwa “Tidak selamanya orang yang tidak bekerja di industri itu disebut pengangguran”. Oleh karenya lulusan SMK tidak perlu menunggu lagi industri dan jangan lagi berharap untuk kerja di industri yg setiap saat dapat di PHK lagi.
Oleh karenanya SMK sebagai salah satu Lembaga Pendidikan Vokasi yang dilengkapi dengan sumberdaya manusia, skills dan peralatan produksi harus mampu melakukan transformasi dengan menerapkan Education for Social Responsibility (ESR) guna menciptakan lapangan pekerjaan baru, seperti (1) Gerakan SMK Mbangun Desa, yang mendorong lulusan SMK kembali ke desa dengan mengimplementasikan kompetensi kejuruan yang diperoleh di SMK untuk membuka peluang usaha/bekerja di desa; (2) Pemanfaatan fasilitas Teching Factory dan Unit Produksi SMK untuk kebermanfaatan lulusan SMK dalam merintis menjadi wirausaha; dan (3) kegiatan lainnya yang berfokus pada penyelesaian permasalahan lingkungan sekitar yang mampu diubah menjadi peluang usaha guna membuka kesempatan bekerja. (AWK -JFP)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H