Minggu lalu saya diajak oleh teman saya untuk mendaki Gunung Geulis. Karena kebetulan tidak mempunyai kegiatan di akhir pekan, saya mengiyakan ajakan teman saya untuk ikut “jalan-jalan” ke Gunung Geulis, ya itung-itung refreshing otak sembari mencoba menikmati keindahan alam hehehehe.
[caption id="attachment_258896" align="alignnone" width="540" caption="Gn Geulis, Sumedang"][/caption] Nama Gunung Geulis sendiri masih terdengar asing dikalangan pencinta alam. Namun, bagi orang-orang yang kebetulan sedang belajar di kawasan pendidikan Jatinangor; Sumedang; Jabar, nama gunung ini sudah sangat tidak asing lagi, namanya begitu populer. BersamaGunung Manglayang, Gunung Geulis telah menjadi ikon Jatinangor di pinggiran Kota Bandung. Ingat Jatinangor, pasti langsung ingat dengan nama kedua gunung ini.
Gunung Geulis terletak di kecamatan Jatinangor, Sumedang, Jabar. Tingginya sekitar 1200-an meter dari permukaan laut. Walaupun pun tingginya tidak terlalu tinggi, jangan sekali-kali meremehkan gunung ini ya, bisa bahaya nanti hehehehe. Sekedar bercerita, dua tahun yang lalu, saya pernah mendaki gunung ini, karena kita salah memilih jalur, kita sempat tersasar ketika hendak tiba di puncak yang menyebabkan waktu tempuh menjadi lebih lama. Untungnya waktu itu, akhirnya nyampe juga di puncak.
Sabtu sore saya dan lima teman saya (D, H, A, B, dan I) mulai trekking menuju Gunung Geulis. Dari rumah kost salah satu teman saya, kita trekking menuju Desa Jatiroke, desa ini adalah terdekat yang berada di bawah kaki Gunung Geulis. Untuk menuju Desa Jatiroke, kita memotong jalan melalui Desa Sukawening. Kita menyusuri sawah-sawah yang berada di antara kedua desa ini. Pemandangan sawah di desa ini sungguh mempesona, benar-benar suatu lukisan alam yang indah. Tiba di Desa Jatiroke, untuk menuju kaki gunung, kita menyusuri jalan yang berada di samping SD Jatiroke. Boleh dibilang inilah jalur yang paling umum dilalui untuk menuju puncak Gunung Geulis. Sepanjang perjalanan, kita melewati rumah dan kebun warga yang ada di desa ini. Kebanyakan warga di sini menanam ubi dan tembakau di kebun mereka. Menjelang Magrib, kami tiba di batas antara kebun warga dan hutan lindung. Dari titik ini, Jatinangor yang beranjak gelap, lampu-lampu kota di bawah pun mulai menyala secara perlahan-lahan.
[caption id="attachment_258898" align="alignnone" width="540" caption="Gn Manglayang, dari batas hutan lindung"]
Satu jam berjalan, kontur jalan sudah agak tidak bersahabat bagi pendaki gadungan seperti saya hehehehe. Jalan yang terus menanjak membuat tenaga cukup terkuras habis. Kabut tebal yang mulai turun membuat jarak pandang yang semakin terbatas, membuat kami harus ekstra berhati-hati melangkah dan menuntut tetap fokus. Karena medan yang terus nanjak, beberapa kali kita harus bersistirahat untuk “mencharge” tenaga kembali.
[caption id="attachment_258899" align="alignnone" width="540" caption="istirahat"]
Tiba di puncak, kita cari “lapak” untuk mendirikan tenda. Kita agak kesulitan untuk mencari tanah datar untuk mendirikan tenda karena puncak ditumbuhi ilalang yang tingginya melebihi tinggi orang dewasa. Kondisinya sangat berbeda ketika saya datang ke sini dua tahun yang lalu, kala itu puncaknya bersih, tidak ada ilalang yang tinggi. Mungkin karena saat ini masih musim hujan, ilalang tumbuh subur di puncak. Karena ditumbuhi ilalang yang tinggi, sambil berkelakar, saya bilang ke teman saya, sekarang kita nggak bisa main bola lagi di sini hehehe.
Setelah mendapat “lapak” yang cukup lumayan datar, kita langsung mendirikan tenda dan memasak bekal makanan yang kita bawa untuk kita makan. Malam itu kita makan malam dengan cara “ngeliwet”, makan bersama-sama di atas daun pisang. Karena kesulitan mencari daun pisang untuk alas, alas makannya diganti dengan kantong plastik hehehehe, nggak papalah namanya juga ngeliwet dadakan. Walaupun ngeliwet malam ini dengan nasi yang setengah matang (gagal matang) dan lauk seadannya (baca: ikan asin) hehehehe, namun rasanya tetap saja nikmat, suasana kebersamaan benar-benar terasa hehehehe. Percaya atau tidak, apa pun makanan yang dimakan di atas gunung, rasanya pasti selalu enak hehehehe.
[caption id="attachment_258900" align="alignnone" width="540" caption="makan malam, "]
Pagi harinya, kita sempatkan untuk berkeliling di puncak gunung yang luas ini sambil mengabadikan momen dengan berfoto ria hehehehe. Sebelum turun gunung, kita sarapan terlebih dahulu dan membersihakan sampah-sampah makanan yang kita buat kemarin. Setelah semuanya rapi, kita siap untuk pulang, rasa-rasanya nggak mau pulang karena sudah males untuk jalan lagi, ini namanya bisa naik nggak bisa turun hehehehe.
[caption id="attachment_258901" align="alignnone" width="540" caption="Gn Manglayang, dari puncak Gn Geulis"]
[caption id="attachment_258902" align="alignnone" width="540" caption="turun gunung"]
Setelah dua jam menuruni gunung ini, akhirnya kita sampai di batas antara hutan lindung dan kebun warga. Didalam kebun, tampak beberapa petani sedang mengolah tanah mereka. Kita menghampiri salah satu petani yang sedang panen ubi di kebunnya, teman saya menawar untuk membeli ubi yang baru siap ini, fresh from the oven. Ah lengkap sudah petualangan kali hehehehe.
[caption id="attachment_258905" align="alignnone" width="540" caption="beli ubi"]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H