Mohon tunggu...
Arie Lexuz
Arie Lexuz Mohon Tunggu... -

Lexuz datang masalah hengkang, hehehehehehe... Brangkat...

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Jangan Menunggu Orang yang Peduli

9 Februari 2016   03:45 Diperbarui: 9 Februari 2016   03:48 5
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Lama Aku tidak menulis pada lembaran dalam setiap perjalan, rindu sepertinnya yang Aku rasakan, ketika tidak menuangkan sedikit kata pada lembaran ini. Ya… Rindu yang aku rasakan jika tidak menceritakan dan berbagi kisah pada lembaran ini. Aku hanya ingin bercerita sedikit saja padamu kawan, tentang perjalanan yang Aku temukan di sana.

Beberapa bulan ini aku sering berkunjung pada suatu desa di selatan kabupaten Jember. Desa yang berada didekat Taman Nasional Meru Betiri. Desa penyangga Hutan yang penduduknnya sebagian besar Buruh dan Tani. Desa yang dikelilingi pegunungan dan Hutan namun sulit air. aneh rasannya, tapi itulah nyatannya.

Hutan yang lebat kini menjadi botak tengah seperti kepala Profesor jaman kuno. Sungai-sungai tampak kering seperti tak berair, hanya ada aliran jika Hujan Turun. Suara mesin pemotong kayu sepertinnya tak mengenal waktu mencukur gundul Rambut Gondrong Sang Hutan. Suara deru Kendaraan Truck pengangkut kayu silih berganti lalu lalang membawa balokan Kayu Hutan tanpa permisi, ketika melewati Pos penjaga ataupun Pos keamanan. Kini Masyarakat menjadi kambing hitam atas kerusakan Hutan.

Aku hanya dapat melihat para pembalak mengangkut kayu dengan truknnya, tak ada yang dapat dilakukan sepertinnya. Mengingat cerita dari seorang kawan yang pernah melaporkan hal ini hasilnyapun percuma, tak ada tindakan serius dari pihak yang berwajib. Akhirnnya semua menjadi hal yang biasa saja, meskipun masyarakat tahu bahwa hal ini adalah ancaman yang akan datang, suatu bencana yang akan menimpa anak dan cucu mereka.

Ada yang mengganjal sepertinnya diperasaanku, aku ingin mengetahui sedikit lagi tentang hal ini, Lalu Aku menjumpai seorang Petani Desa disana. Aku menjumpai seorang Tokoh Petani disana. Yateni namannya, Ia akrab di panggil mbah Ni atu Lek Ni, Mbah Ni adalah seorang penggerak Masyarakat Tani DI desanya. Aku sempat berbincang dan menannyakan akan kerusakan Hutan kepadannya. Meledak-ledak aku bercerita kepadannya akan kondisi Hutan yang tak gondrong lagi. Mbah ni hanya tersenyum mendengarku bercerita.

Sedikit tertawa, lalu ia bercerita tentang kondisi Desa sekitar Hutan anatarannya adalah Desa Curah Nongko dan Desa Ndongrejo pada 15 tahun silam, yang masih tidak sulit air dan tidak pernah ada longsor dan banjir ketika Hujan Turun. Ia juga menceritakan kekhawatirannya dimasa datang jika pembalakan masih terjadi masyarakat akan semakin miskin. Karena tak ada lagi lahan yang dapat di tanam jika tak ada air untuk mengaliri ladang mereka. Masyarakat akan kesulitan menemukan air bersih, dan masyarakat desa akan mudah terserang penyakit.

Aku sempat bertanya padannya, ”apa yang dilakukan masyarakat ketika melihat kondisi seperti ini? Saat semua pihak yang terkait tidak peduli lagi”. ”Saya dan masyarakat hanya bisa melawan dengan menanam. Apapun yang dapat ditanam.” Jawabnnya singkat. ”Sampai kapan mau menanam? Tanyaku padannya. ”Sampai tidak gundul lagi”. Dengan nada tegas Ia berkata padaku ”Jangan menunggu orang yang peduli”. Dengan senyum yang ramah ia menyampaikannya padaku.

Banyak kali Ia dan kelompok Masyarakat Taninnya menanam dan merawat Hutan. Walaupun juga banyak masyarakat yang menganggap usahannya sia-sia dan percuma saja dengan menanam di Hutan. Namun Ia tak peduli, semua mereka lakukan dengan tulus penuh semangat perjuangan dan perlawanan. Disini Aku mendapatkan banyak pelajaran dari beliau. Seorang Mbah Ni yang mengabdikan diriinya untuk Masyarakat dan Desannya walupun Mbah Ni bukan seorang pejabat ataupun Perangkat Desa.

Sampai detik ini Mbah Ni dan Kelompok Taninnya masih menanam, mereka berlomba dengan gergaji mesin pada setiap harinnya. Aku mendapatkan banyak pelajaran Hidup dari perjalanan ini. Dengan pertanyaan yang belum terjawab, seperti gelisah yang sempat aku tanyakan. Seperti inikah keseimbangan Hidup yang diciptakan TUHAN, ada yang merusak dan ada pula yang merawat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun