"Perempuan tua di Kampung tua
Nenek itu duduk di teras rumahnya yang ber atap seng, berdinding papan, seluas ukuran 6 x 12 m, di bibir pantai menghadap Selat Malaka dengan wajah muram. Debur  ombak dan  suara burung laut  tak lagi indah di telinganya. Hamparan pasir putih yang berkilauan diterpa matahari jam 10 pagi, sudah tak lagi mampu menggugah senyum di pipi keriput nya.Â
Nenek memang tinggal sendiri, sejak anak perempuan nya menikah dan pindah ke Tanjung Pinang, ikut suami nya dulu. Sekarang putrinya itu sudah meninggal. Suami si nenek sudah lama meninggal, makam nya di dekat rumah, tak berapa jauh dari tempat itu.Â
Tempat dimana si Nenek tinggal katanya akan dikosongkan dan di relokasi ke rumah susun di kota. Ada proyek besar penguasa yang akan menanam modal disana. Katanya si pengusaha meminta pengosongan lahan secepatnya dari sang penguasa.Â
Si nenek yang sudah renta bingung, apa yang akan dikerjakan nya nanti? Bagaimana ia akan turun naik tangga rumah susun yang katanya akan ditinggali? Bagaimana ia akan menziarahi makam suaminya setiap pagi? Bagaimana ia akan mencari penghasilan yang selama ini diperoleh dari budi daya rumput laut yang tak seberapa itu.Â
 Lamunan si Nenek tiba- tiba buyar, ketika sebuah mobil mewah memasuki pekarangan rumah nya.
 Seorang pejabat parlente turun dari mobil dikawal 2 bodiguard kekar dan seorang wanita cantik, sekretaris si pejabat tadi.
"Ibu hari ini tanggal 28 September, tenggat akhir ibu harus teken surat ini, atau kami buldozer rumah ini rata dengan tanah!" kata si pejabat.
 Si Nenek tua menatap dalam wajah sang pejabat, lalu perlahan meneteskan air mata.