Hari ini aku melihatnya lagi, lelaki itu, yang telah menjadi algojo penyiksa batin ku,Â
Pernahkah ia mengerti  apa yang bergolak di dadaku?  Tiap kali melihatnya, aku merasa ingin marah, ingin menjerit,ingin berteriak, :
 " Hei, kesinilah bodoh !, tak tahukah  bahwa aku merindukan mu? "
Tapi jeritan itu hanya bergemuruh di dadaku. Teriakan itu hanya sampai ditenggorokan, tak pernah keluar dari sana. Apalah dayaku, Â hanya seorang wanita, yang diikat oleh adat dan budaya, tak lazim melahirkan perasaanya di depan umum, sebagaimana mungkin tejadi di negeri Eropa atau Amerika sana.
Aku hanya menundukkan kepala, jantungku berdegup lebih kencang, kakiku terasa  ngilu dan sedikit lemas, untung saja ada tiang listrik di dekat situ, yang segera kusambar,  lalu pura -pura memperbaiki letak sepatu.
Lelaki itu memang aneh, ...
Dulu Ia berkirim surat kepadaku  saat  ketika aku masih belia, usia 15 tahun kalau tak salah. Sebetulnya, aku sangat senang dan gembira dengan suratnya itu, hanya saja aku sangat bingung. Bagaimana caranya mencintai seseorang?
Saat itu aku masih ingin melanjutkan sekolah ku, kuliah, Â kemudian bekerja, berbuat sesuatu untuk keluargaku, sebatas apa yang bisa kulakukan. Maklum, aku anak pertama, dari dua saudara, yang keduanya wanita. Aku merasa bertanggung jawab terhadap keluarga ini. Kalau bukan aku, siapa lagi?
Aku ingin mendukung adikku, agar selesai pendidikannya juga, minimal SMA.
Ayahku sudah cukup tua, dengan penghasilan terbatas, untuk menghidupi kami, tiga nyawa yang berada dibawah tanggung jawabnya. Pekerjaan beliau yang hanya tukang serabutan, kulihat cukup berat untuk menanggung baban ini dipundaknya sendirian.
Itulah kenapa, aku tak bisa bersikap egois begitu saja. Aku tak siap dicintai, dan belum siap mencintai, saat itu. Bagiku, jika Ia memang mencintaiku seperti apa yang ditulisnya lewat surat itu, maka Ia harus memahami dan mengerti juga prioritas dan tujuanku.