Negara kita kini tengah marak dibanjiri oleh ikan-ikan import yang membuat pemerintah berang,namun pada kenyataannya pembangunan disektor perikanan memang terbukti belum mampu mencapaihasilyangmemuaskan untuk memenuhi kebutuhan lokal maupun eksport.
Kebutuhan akan hasil laut tak bisa tercukupi oleh hasil dari perikanan tangkap , perikanan budidaya dan pengembangan sumber daya manusia diwilayah pesisir adalah sebagian kecil dari sekian banyak pekerjaan rumah pemerintah yang belum juga terselesaikan hingga sekarang, hal ini begitu ditunggu oleh rakyat karnadiharapkan mampu memberikan jawaban atas masalah yang terus melanda sektor perikanan di negara kepulauan yang dikelilingi oleh dan pantai dan laut ini.
pesisir utara lampung contohnya, sebagai penghasil udang nomor wahid di indonesia, areal pertambakan bekas milk konglomerat sjamsul nursalim ini kini tengah menunggu kebijakan dari pemerintah terkait konflik kemitraan yang ada antara petambak plasma dan perusahaan inti PTCentra ProteinaPrima. Tambak udang intensif terbesar diasia tenggara ini di harapkan mampu memberikan kontribusi yang besar untuk pencapaian target hasil produksi udang vannamei indonesia sebesar 500 ribu ton pada tahun 2014.
Namun lagi-lagi pemerintah dihadapkan pada pilihan yang membingungkan ketika sebagian petambak plasma yang semula mengajukan tuntutan pemutusan Hubungan Kerja Sama dengan perusahaan inti PT Aruna Wijaya Sakti yang merupakan anak usaha dari PT Centra Proteinaprima, kini kembali melakukan penebaran dan proses budidaya kembali seolah tidak ada masalah yang perlu ditangani. Keuangan dan tekhnis sudah barang tentu menjadi kelemahan bagi setiap petani tak terkecuali para petambak yang ada di bumi dipasena ,lampung. Berjalannya kembali proses budidaya yang kini terjadi bukanlah sebuah tolak ukur bahwa permasalahan yang ada telah selesai.
Revitalisasi total yang dituntut oleh para petambak plasma dan di akui kegagalannya oleh timdari kementrian kelautan dan perikanan, merupakan akar permasalahan yang menjadi pemicu konflik hingga aksi demontrasi yang menyebabkan terhentinya opersional dari perusahaan pengolah udang terbesar ini selama hampir satu bulan. Program revitalisasi total ini pulalah yang menjadi syarat utama untuk mengembalikan fungsi areal pertambakan bumi dipasena sebagai kontributor pencapaian target eksport udang vannamei pada 2014 sekaligus membantu mencukupi kebutuhan ikan untuk pasaran lokal dengan menerapkan sistem biofilterasi yang lebih ramah lingkungan.
Namun sepertinya pihak manajemen perusahaan memanfaatkan lemahnya ekonomi dan keterbatasan tekhnis untuk kembali melakukan penebaran dan proses budidaya, tanpa berupaya menuntaskan akar permasalahan yang berkemungkinan besar memicu kembali terjadinya konflik horizontal dengan para petambak plasma.
sementara itu sebagian petambak plasma yang meminta penundaan penebaran hingga ada keputusan dari pemerintah diputus aliran listrik dan keperluan operasional lainnya seperti Hutang Bulanan Petambak yang merupakan tumpuan kebutuhan hidup sehari-hari para petambak. Kekhawatiran dan Ketakutan petambak sebagai masyarakat menengah kebawah inilah yang membuat mereka menerima apa yang ditawarkan oleh manajemen perusahaan tanpa sempat memikirkan keberlanjutan lingkungan dan nasib mereka sendiri. Dalam perjanjian kerjasama antara petambak plasma dan perusahaan inti disebutkan bahwa apabila nilai kerugian atau hutang petambak telah mencapai tiga setengah kali nilai aset yang mereka miliki maka petambak plasma tersebut akan diberhentikan sebagai mitra dan diminta menyerahkan asetnya kepada perusahaan.
Musim yang kurang mendukung dan intensitas curah hujan yang tinggi akhir-akhir ini memperbesar kemungkinan kegagalan usaha budidaya yang baru saja di tawarkan oleh perusahaan inti kepada petambak plasma di bumi dipasena demi existensi di mata pemerintah dan para pemegang saham. Kerugian dari kegagalan tersebut tentu saja berpengaruh pada produksi udang nasional dan membuat para petambak semakin terpuruk oleh hutang yang kini sudah mencapai 80 hingga 125 juta rupiah.
Apa yang akan diputuskan oleh pemerintah terhadap kondisi yang terjadi di bumi dipasena sekaligusmenjadi tolak ukur keberhasilan Tambak Inti Rakyat di Indonesia yang hingga kini masih terus menyisakan masalah. Lima puluh persen dari lima puluh persen kepunahan ekosistem mangrove dinegara ini diperuntukkan bagi pembukaan lahan tambak namun kesejahteraan para petambak masih terus dipertanyakan. Mampukah pemerintah menjadikan sektor kelautan untuk kesejahteraan ekonomi rakyat di negara maritim ini ? atau mungkin pada 2014 udang import yang justru malah membanjiri pasar lokal? Kebijakan yang akan dibuat oleh pemerintah bagi bumi dipasenabukan hanya untuk kepentingan ekonomi domestik atau hanya agar masyarakat bisa mengkonsumsi makanan yang lebih bergizi, namun juga sebagai pertanggung jawaban atas punahnya sebagian ekosistem hutan mangrove di pesisir utara lampung yang turut andil menempatkan negara ini sebagai salah satu penghasil emisi gas terbesar di planet bumi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H