Mohon tunggu...
Aridho Pamungkas
Aridho Pamungkas Mohon Tunggu... profesional -

Semacam Aktivis dan Peneliti

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Stop! Birokrasi Morat-Marit

2 September 2012   21:39 Diperbarui: 25 Juni 2015   01:00 271
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Setelah era reformasi, tantangan birokrasi sebagai pemberi pelayanan kepada rakyat mengalami suatu perkembangan yang dinamis seiring dengan perubahan didalam masyarakat itu sendiri. Rakyat semakin sadar akan apa yang menjadi haknya serta apa yang menjadi kewajibannya sebagai warga negara dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Dibalik itu, rakyat semakin berani mengajukan tuntutan-tuntutan, keinginan dan aspirasinya kepada pemerintah. Tuntutan reformasi, birokrasi dituntut untuk mengubah posisi dan perannya (revitalisasi) dalam memberikan pelayanan publik.

Namun, masih saja terjadi penyelewengan wewenang dan tanggung jawab dari aparatur birokrasi dewasa ini. Semangat reformasi birokrasi yang didengungkan hanya menjadi jargon semata. Ada istilah “kalau bisa dipersulit, mengapa dipermudah?”. Itulah potret buram birokrasi saat ini.

Birokrasi Morat-Marit

Misalnya, aparatur birokrasi di Kota Surakarta yang pada kamis, 30 Agustus 2012 personel organisasi bernama Tim selamatkan Solo, selamatkan Jakarta,selamatkan Indonesia (TS3) melaporkan ke KPK, pelaporan terkait tindak pidana korupsi pengelolan dana bantuan pendidikan masyarakat kota Surakarta (BPMKS) tahun 2010 lalu.

M.Kalono koordinator TS3 dan kuasa hukum TS3 menyatakan Jokowi ditengarai mengetahui praktek korupsi, karena membiarkan anak buahnya Kepala Dinas Pendidikan dan Olahraga dengan nama R dan Kepala Dinas Pendapatan, Pengelolaan Keuangan, dan Aset Kabupaten berinisial BS, melakukan penyelewengan dan pemalsuan data program BPMKS.

Penegasan dari kelompok TS3, bahwa korupsi dana BPKMS dilakukan dengan cara duplikasi nama siswa penerima dana BPKMS, sehingga jumlah penerima menjadi lebih banyak dari yang seharusnya. Jumlah siswa sebenarnya hanya 65.000 orang tapi dalam anggaran terdaftar 110.000 orang. Akibatnya dana yang keluar menjadi 23 milyar dengan jumlah siswa 110.000 orang. Harusnya dana yang keluar 10,6 milyar. Terdapat penyimpangan 12,3 milyar. Menurut Kalono sisa uang yang dilaporkan tahun 2010 lalu hanya 2,4 milyar, itu artinya negara dirugikan 9,5 milyar.

Apa yang terjadi di Kota Surakarta, positioning Birokrasi masih terkesan morat-marit. Lemah dari sisi database, mark up anggaran dan sangat merugikan negara. Oleh karenanya, Birokrasi yang tak mampu menjadi pelayan yang baik bagi rakyat, apalagi sampai terjadi mark up anggaran, dan kemudian dibiarkan saja oleh pemimpinnya. Tentu, menjadi preseden buruk terutama bagi pemimpinnya yang mengetahui praktek curang aparatur birokrasi tersebut.

Rule of The Game

Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 tentang Kepegawaian Negara mengatur secara tegas netralitas pegawai dalam pemerintahan. Pasal 3 UU No 43/1999 mengatur, (1) Pegawai negeri berkedudukan sebagai unsur aparatur negara yang bertugas untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat secara profesional, jujur, adil, dan merata dalam penyelenggaraan tugas negara, pemerintahan, dan pembangunan; (2) Dalam  kedudukan dan tugas sebagaimana dimaksud dalam Ayat (1), pegawai negeri harus netral dari pengaruh semua golongan dan partai politik serta tidak diskriminatif dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat. Ketentuan ini jelas melarang keberpihakan PNS dalam menjalankan fungsi pemerintahan dan pembangunan.

Pada era saat ini, tantangan birokrasi sebagai pemberi pelayanan kepada rakyat mengalami suatu perkembangan yang dinamis seiring dengan perubahan didalam masyarakat itu sendiri. Rakyat semakin sadar akan apa yang menjadi haknya serta apa yang menjadi kewajibannya sebagai warga negara dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Dibalik itu, rakyat semakin berani mengajukan tuntutan-tuntutan, keinginan dan aspirasinya kepada pemerintah. Tuntutan reformasi, birokrasi dituntut untuk mengubah posisi dan perannya (revitalisasi) dalam memberikan pelayanan publik.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun