“Ibu yang berlimpah kasih, mengapa ibu selalu mengucapkan ‘salam bahagia’ pada setiap akhir tulisan ibu? Bisakah saya mendapat pencerahan akan maknanya? Dan bisakah kita diskusi soal iman yang ibu katakan sebagai “pencarian kedalam”, seperti yang ibu tulis di sana?” semoga ibu senantiasa dilimpahi kasihNya!”
Pesan menarik ini datang dari seorang sahabat asal Tanah Toraja. Saya belum pernah berjumpa dan kenal sebelumnya. Yang saya tahu, itu pertama kali dia menyapa saya dan meninggalkan pesan melalui in box saya.
Ada kebahagiaan lain yang mendorong saya untuk menuliskan judul indah ini. Universalitas. Sebuah paradigma yang terus menerus menginspirasi saya agar meluaskan “bacaan”. Apalagi selain berucap syukur?Tuhan mengerti saya dengan sangat baik. DIA anugerahkan kawan-kawan yang baik melingkupi kehidupan saya. “Bertemu” banyak sahabat penulis dalam sebuah komunitas yang bahkan hingga hari ini pun, saya belum pernah menatap wajah-wajah mereka. Tetapi hebatnya, mereka semua, baik dan menyenangkan. Alangkah bahagianya jika di pagi membuka in box, lalu disana mendapati pesan, “mana judul barunya?”, atau “ mana tulisannya kok sudah lama tidak muncul?”, “mana komennya di lapak saya?”
Betapa bahagianya, jika setiap mata ini terbuka, mendapati kabar bahwa ada yang terbahagiakan oleh apa yang kita lakukan, ada yang terbahagiakan oleh apa yang kita ucapkan, ada yang terbahagiakan oleh apa yang kita tuliskan, ada yang berharap uluran hati, tangan dan fikiran untuk sebuah pencerahan terkait dengan persoalan kehidupan. Rasanya, diri ini menjadi betul-betul berguna. Apa yang dapat membahagiakan diri selain dari jika diri ini berguna bagi orang lain?
Membaca pesan sahabat baru itu, saya tidak pernah berfikir bahwa ‘salam bahagia’ kesukaan saya itu akhirnya menjadi sesuatu yang perlu dipertanyakan dan menjadi sesuatu yang hangat untuk dibicarakan. Dan ketika saya menulis ini, pembicaraan hangat kami soal ‘mengelola perbedaan’ (dalam relevansinya dengan agama/kepercayaan), belum selesai. Tetapi kami sepakat bahwa perbedaan jika dikelola dengan baik akan memberikan manfaat yang luar biasa indah.
Dia terlahir Kristen dan saya terlahir Islam. Mungkin dia terusik dengan bahasa dan cara "bicara tulis" saya, sehingga merasa harus mendiskusikan ‘iman’ kami. Saya bilang kepadanya, bahwa:
- Saya sangat yakin, bukan tidak punya maksud, selama tiga tahun Tuhan pernah mengirim saya belajar berdampingan dengan mereka kaum Katholik.
- Saya sangat yakin, bukan tanpa maksud, beberapa kali di toko buku, Tuhan menggerakkan mata saya untuk melirik dan membawa pulang naskah buku-buku hebat yang mengajari saya bagaimana menjadi perempuan yang dicintai Tuhan, sedang penulisnya adalah perempuan Kristen.
- Saya sangat yakin, bukan tanpa maksud, Tuhan mempertemukan saya dengan perempuan ta’at dengan Tuhannya yang ia sebut dengan Thien dan mengabdi kepada Gong Cu (Confucious/Konfusius), yang ia akui sebagai nabi yang harus dijunjung tinggi dalam setiap do’anya. Terhadap apa yang dia lakukan, dia bahkan dianggap “gila” oleh banyak orang, demikian pengakuannya kepada saya. Ia penganut berat Kong Hu Cu.
Dan saya ceritakan kepada kawan saya itu, batasan sebatas apa yang saya pahami dalam iman Islam saya, tentang sebuah kata dalam sebuah ayat yang berbunyi “iqra’”, yang maknanya adalah “Bacalah”. Saya hanya berusaha “membaca” (memahami) apa yang ada di sekitar saya, sesuai yang diperintahkanNYA. Lalu mengerti apa yang kemudian harus saya lakukan. Itu saja.
Saya rasa, tidak ada yang saya lukai soal ini, baik orang lain, apalagi diri saya sendiri. Kami memang tidak pernah berniat saling melukai dan berfikir untuk perlu saling melukai. Betapapun saya bergaul dalam keragaman dan perbedaan itu, saya tetap Islam. Saya tak pernah mengganti agama saya hingga hari ini sejak saya dilahirkan.
Tidak terasa bahwa semua yang ada di sekitar saya menjadi sumber kebahagiaan. Tetapi jauh lebih dari itu, sumber dari segala sumber kebahagiaan itu ada di sini, di dalam diri saya. Saya tiba-tiba saja merasa mencintai, tergerak untuk selalu bisa mengasihi, sekaligus merasakan keadaan batin dimana saya dicintai dan dikasihi oleh begitu banyak orang. Hidup saya dikelilingi oleh orang-orang yang penuh cinta dan harapan. Ini adalah anugerah terindah dalam hidup saya. Sungguh, penuh keajaiban, jika kita mampu mendalami kehidupan dengan cara yang indah, dan mengerti ‘cara bermain’. Sebab, hidup ternyata adalah sebuah permainan.
Hidup adalah sebuah permainan. Bermain dalam ruang-ruang kelas pembelajaran yang maha luas. Orang menamakan ini sebagai Universitas Kehidupan. Tempat pembelajaran yang maha luas dan bebas. Bermain disana dengan banyak kawan yang kadangkala terlihat seperti “musuh”. Dan permaian-permainan itu akan berujung pada suatu keadaan, dimana para pemenangnya akan “tahu jalan pulang”. Anda tahu yang saya maksud dengan jalan pulang, kan?
Saya katakan kepada sahabat saya yang dari Tanah Toraja itu, “Bung..., saya ini seperti burung dara saja, yang diletakkan Tuhan di dunia ini, kemudian dilihat bagaimana cara terbang saya dari jauh, seolah-olah Tuhan tidak lagi melihat saya,DIA jauh dari saya. Tetapi satu hal yang saya tahu pasti dan yakin adalah bahwa, Tuhan selalu menanti saya ‘kembali’. Tuhan pasti berharap, saya, yang pernah DIA lepas itu akan tahu “jalan pulang”. Saya, burung dara yang pernah DIA ajarkan terbang jauh itu, harus menemukan jalan kembali dan pulang kepadaNYA, dalam keadaan baik-baik saja. “Tidak terluka, apalagi cacat.”
Salam bahagia (**ini hanyalah sebagian kecil tulisan yg tengah disiapkan untuk my next book, Jangan Jadi Perempuan Rapuh**)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H