Mohon tunggu...
Aridha Prassetya
Aridha Prassetya Mohon Tunggu... profesional -

Pemerhati Masalah Ketidakbahagiaan

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Titipan Brigadir "Samin"

24 April 2011   21:35 Diperbarui: 26 Juni 2015   06:26 119
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock



Samin itu nama seorang polisi. Usinya sudah mencapai 58 tahun. Beliau kebetulan bertugas bersama saya ketika minggu lalu kami bersama-sama menjadi Tim Pemantau Independen dalam pelaksanaan UNAS SLTA. Seperti biasa, saya selalu ingin tahu keadaan dan kedalaman kebahagiaan kawan bicara saya. Dan inilah sedikit dialog kami, diantara banyak dialog-dialog lain, yang kami lakukan selama empat hari itu.


  • Pak Samin, sudah berapa lama jadi polisi?

  • Sejak tahun 1978

  • Apa tugas pak Samin sekarang?

  • Mengatur lalu lintas, pada titik-titik kemacetan, seperti di perempatan…ini-itu…(ia bercerita dimana saja titik-titik kemacetan itu terjadi pada pagi dan sore hari)

  • Jam berapa pak Samin meninggalkan rumah?

  • Jam lima pagi sudah ‘apel’ di polsek, lalu pulang sampai di rumah jam sepuluh malam

  • Jam lima pagi? Sudah apel?

  • Ya! Kan, saya setengah enam pagi sudah di lapangan…

  • Pak Samin, saya boleh tahu nih pak….Apakah bapak bahagia dengan apa yang bapak kerjakan selama ini….?

Kali ini Pak samin tidak langsung menjawab, ia menengadah, berfikir, lalu memandang saya dan lalu berfikir lagi tidak memandang saya. Nampak hati-hati sekali dengan pertanyaan yang saya berikan. Kemudian beliau malah bali bertanya.


  • Maksud ibu?

  • Ya, bapak. Selama dalam tugas mengatur kemacetan sekian puluh tahun itu, apa yang membuat bapak merasa tidak bahagia dan apa yang membuat bapak sangat bahagia?

  • Oh…Jadi begini bu…Saya sedihnya itu, kalau mereka, pengguna jalan itu tidak “nurut”. Di jalanan, apalagi di “stopan”. Di stopan, wewenang paling tinggi untuk mengatur adalah polisi, bukan lampu lintas. Meskipun lampu itu hijau, tetapi kalau perlu distop untuk mengatur kelancaran, ya harus distop. Polisi memiliki ilmu untuk mengenali ini, mereka harus tanggap, tahu kapan harus menyetop dan kapan harus mengijinkan para pengguna jalan untuk lanjut. Nah yang seperti ini, banyak masyarakat yang belum paham. Saya, tidak jarang “dipisuhi” (Bahasa Jawa : dimaki-maki dengan kata kasar), diteriakin “goblok! Ngga lihat lampu hijau ya…?” Nah itu sedihnya saya.

  • Oooohh…begitu ya pak? Lha terus, apa yang membuat bapak merasa bahagia?

Pak Samin bercerita kembali….


  • Saya itumerasa sangat bahagia kalau, ada yang mengucapkan “terima kasih pak Samin”, wooo… itu bahagiaaaaa banget hati saya, sungguh bu! Rasanya, seluruh capek saya hilang seketika, rasanya adheeeeem gitu di sini (sambil memegang dadanya).

Sepulang dari bertugas, lepas pembicaraan dengan pak Samin, dalam kepala saya dipenuhi pertanyaan “apa beratnya mengucapkan terima kasih ya…., maksud saya, jika itu membahagiakan bagi orang-orang semacam Pak Samin, kenapa tidak…”

Salam bahagia

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun