Mohon tunggu...
Aridha Prassetya
Aridha Prassetya Mohon Tunggu... profesional -

Pemerhati Masalah Ketidakbahagiaan

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Titik Balik: Silakan Menikah dengan Suamiku

15 Juli 2013   11:18 Diperbarui: 24 Juni 2015   10:32 4451
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

“Mbak, namaku Anti, ada yang ingin aku bicarakan denganmu, boleh aku datang berkunjung menemuimu?”

Itu suara seorang gadis di ujung telepon, kira-kira 16 tahun yang lalu. Namanya sengaja disamarkan. Ini ditulis dalam rangka mengikuti "festifal" menulis TITIK BALIK. Semata ingin berpartisipasi menginspirasi dunia wanita, agar tidak pernah khawatir bila dihadapkan pada soal-soal yang tidak membahagiakan dalam kehidupan.

Aku lanjutkan kisahku. Kurang lebih, 16 tahun lalu, gadis itu kemudian datang berkunjung ke tempat kost ku. Ia datang dari daerah lain, tempat suamiku bekerja. Dari cerita Anti, aku tahu bahwa ia dan suamiku saling mencintai. Anti bertanya padaku, “apakah aku boleh menikah dengannya?”

Aku diam, hanya menarik nafas panjang. Berupaya mengendalikan perasaanku yang sedang tidak mengerti apa yang sedang menimpaku.

Anti melanjutkan, “Ia bercerita, bahwa dengan mbak, mempunyai seorang anak laki-laki..”

“Ia” yang dimaksudkan Anti adalah suamiku. Aku mengangguk dan berusaha tersenyum, meskipun aku tidak tahu apakah saat itu senyumku memang terlihat seperti senyuman. Aku tidak berkata-kata. Tanganku tergerak untuk mengggapai lemari kecil tempatku menyimpan pakaian. Aku mengeluarkan celana panjang anakku. Aku menunduk supaya berhasil menahan jatuhnya air mataku. Tapi segera kusadar, bahwa tidak baik bicara tanpa menatap wajah orang yang diajak/mengajak bicara.

Aku menarik nafas panjang, menata nafas dan berupaya tenang. Lalu berkata, “Iya..kami punya seorang anak laki-laki. Jika celananya seukuran ini, maka Anti pasti tahu seberapa besar anak kami. Apakah kalian saling mencintai?”

Ia mengangguk dan menegaskan dengan kata-kata bahwa mereka sudah cukup lama menjalin hubungan, saling mencintai dan ingin segera menikah bila aku mengijinkan.

“Begini Anti…, jika kalian memang saling mencintai dan ingin menikah, maka menikahlah. Aku tidak ada masalah. Bagiku, ada ataupun tidak ada dia, sudah tidak ada masalah. Kau lihat kan keadaanku hari ini? Dan ketika saat ini kamu tahu bagaimana ia memperlakukan aku dan anakku, kau pasti bisa menilai dia. Jangan berkata apa-apa. Dengarkan saja hati nuranimu, karena hati nurani bisa menilai, apakah lelaki sepertinya itu baik untukmu. Menikah dengannya jangan karena terpaksa. Kalaupun hari ini kamu sudah tidak perawan gara-gara dia, pikirkan masak-masak tentang rencanamu. Aku tidak sedang berkata sebagai istrinya, namun aku berkata ini karena kamu adalah seorang gadis belia yang masih panjang kehidupannya. Dan kamu harus kuberitahu satu hal. Aku sendiri pun baru diberitahu setelah kami menikah, bahwa dia ternyata adalah seorang duda beranak dua, yang tidak menafkahi dua anaknya yang lain, selain menafkahi dengan doa-doa...”.

Sejak kepulangan Anti dari tempat kost-ku, aku tidak tahu perkembangan hubungan mereka, hingga akhirnya aku tahu bahwa mereka sudah tidak lagi berhubungan. Mantan suamiku sudah hidup bahagia dengan keluarga barunya. Ia menikah dengan kekasih yang lain lagi, bukan Anti.

Aku lupa sejak kapan belajar membiasakan diri dengan kesakitan-kesakitan. Sebab sebelum Anti datang, aku pun sudah diberi pelajaran lain yang mirip-mirip dengan keberadaan Anti. Satu hal yang kujaga adalah bahwa dalam keadaan apapun, imanku tidak boleh hilang. Aku terus menerus berusaha terhubung dengan Tuhan dalam setiap keadaan. Ya! dalam setiap keadaan. Aku sangat percaya bahwa Tuhan sangat baik kepadaku, apapun keadaanku. Aku tidak perlu bercerita kesana kemari tentang kedukaanku dan tentang betapa malang nasib yang kuterima. Aku hanya memilih Tuhan sebagai teman yang paling setia mendengar dan memberi jalan-jalan baru.

Bila aku bersedih, merasa gagal, kecewa dan menderita aku hanya perlu mengambil air wudhu dan berbincang denganNya. Disitulah DIA mengajariku istighfar, sebab aku lupa bersyukur.

Anugerah kebahagiaan yang diberikan Tuhanku, jauh lebih besar jumlahnya dibanding anugerah berupa kesakitan dan kepedihan. Aku mulai belajar menghitung-hitung anugerahNya.

Dalam tiap doa usai shalatku, pikiranku memperhatikan diriku yang cantik dan tetap cantik, aku sehat, aku cukup cerdas kata orang, aku punya pekerjaan dan selalu dicukupkan, aku diberi kesempatan menyelesaikan kuliah dan bahkan kuliah lagi pada jenjang yang lebih tinggi, aku punya anak lelaki yang mengerti , patuh dan menyayangi aku, aku punya keluarga yang sangat menyayangi aku, aku punya beberapa teman dekat yang menyayangi aku, aku punya begitu banyak teman, aku dipercaya Allah bekerja pada sebuah kampus yang sangat aku cintai, orang menyebutku sebagai dosen, aku dipercaya oleh Allah untuk membantu mendidik dan men-sarjanakan ratusan mahasiswa, betapa ini tugas yang sangat mulia, aku dicintai begitu banyak mahasiswa, aku dirindukan kehadiranku setiap hari oleh mereka, aku tempat bersandar bagi anak-anakku yang bermasalah dan membutuhkan pertolongan, aku dirindukan kehadiranku oleh anakku, oleh ibuku, oleh ayahku, kakak-kakakku dan adikku, juga semua kerabatku, aku disayangi oleh para lansia dan anak-anak di kampungku dan dirindukan kehadiranku, aku…aku..masih banyak lagi anugerah yang tidak mampu kuhitung dengan jumlah jari-jariku. Saat aku tak mampu menghitung keberkahan, di situ aku menangis dan istighfar. Aku menangis, istighfar dan sejak itu mulai belajar hidup penuh kesyukuran.

Hingga pada suatu saat, aku kirim pesan kepada mantan suamiku yang sudah mempunyai keluarga baru. Aku menemukannya di FB. Aku merasa perlu mencarinya sebab anakku sudah dewasa dan mempunyai kepentingan untuk mengabarkan sesuatu yang penting kepada ayahnya.

Kutulis kalimat pada chat-ku:

“Salam. Semoga keadaan mas baik dan sehat. Sengaja kukirim ini untuk meminta maaf. Aku minta maaf atas kesalahan yang mungkin kulakukan tapi tidak sempat aku merasa berbuat salah. Aku pasti berkontribusi atas kejadian yang tidak membahagiakan waktu itu. Aku minta maaf… Aku juga ingin mengucapkan terima kasih atas ‘pelajaran-pelajaran indah’ yang telah mas ajarkan padaku. Terima kasih banyak ya…! Pelajaran-pelajaran itu mendewasakanku. Jika ‘pelajaran-pelajaran’ itu tidak mas ajarkan, mungkin aku tidak akan sampai di sini, seperti keadaanku yang sekarang. Salam.”

Ia ternyata membalas pesanku.

“Salam Arie, aku yang seharusnya meminta maaf pada kalian. Kamu perempuan hebat . Hatimu sangat mulia. Aku yakin kamu tangguh dan sanggup menjalani hidupmu dengan baik. Jaga dirimu baik-baik. Aku selalu mendoakanmu. Salam.”

Membaca pesannya, aku meneteskan air mata bahagia. Bukan karena ia memujiku secara berlebihan. Tetapi lebih karena, aku akhirnya sanggup melunasi “hutangku”, membersihkan hati dari segala yang kotor dan menyakiti. Aku, seperti tidak percaya mampu berdamai dengan diri. Juga berdamai dengan sosok yang kunilai sebagai menyakiti, padahal sejatinya ia terikirim untuk mengajarkan pelajaran-pelajaran penting bagi kehidupanku selanjutnya. Aku yankin, dimanapun ia berada, ia pasti mendoakan segala kebaikan untuk aku dan anakku.

Disakiti memang sakit. Tapi kesakitan-kesakitan itu bermakna. Sebab kesakitan-kesakitan itu sesungguhnya membantu kita untuk belajar lebih banyak lagi tentang hal-hal yang tidak biasa. Inilah salah satu faktor mengapa aku sangat tertarik memelajari hal-hal relevan dengan ketidakbahagiaan. Menjadi pemerhati masalah ketidakbahagiaan.

Akhirnya aku mengerti bahwa, pelajaran-pelajaran sepanjang hidup, tidak mungkin diberikan Tuhan melalui para guru kehidupan, jika memang tidak ada relevansinya dengan kehidupan kita selanjutnya. Kesakitan, kepedihan, kedukaan dan penderitaan bukanlah momok yang harus ditakuti, namun anugerah yang harus dipeluk dan dilenturi.

Terima kasih sudah membaca. Terima kasih Allah Yang Maha Kuasa. Terima kasih kepada semua yang menginspirasi. Salam bahagia dan terus berkarya!

PENTING:

Jika boleh memohon, jangan memberi komentar/pertanyaan. Please, khusus untuk tulisan saya yang satu ini saja, ya! Sebab kami semua sudah menjalani hidup baru dan bahagia dengan keadaan masing-masing. Ini dibuat hanya untuk menginspirasi mereka yang mungkin pernah/sedang mengalami keadaan sejenis dengan apa yang saya alami. Untuk menginspirasi yang sedang dicoba/diujii, agar jangan menghitung-hitung kesakitan dan kepedihan, tapi cobalah menghitung anugerah kebahagiaan yang jumlahnya pasti jauh lebih besar (dan bahkan tak mungkin terhitung). Tapinya lagi, untuk VOTE, tetap diterima dengan bahagia.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun