Seorang sahabat terusik dengan "jenis pekerjaan" saya, sebagai pemerhati masalah "ketidakbahagiaan". Sehingga, perlu baginya untuk menyatakan pendapatnya. "Aku tidak percaya hidupmu bahagia", katanya.
Lalu saya merespon, "saya lebih bahagia jika kamu percaya kepada Tuhan Yang Maha Esa dari pada kepada kebahagiaan atau ketidakbahagiaan saya".
Saya pun kurang mengerti mengapa saya tertarik untuk mempelajari suatu keadaan yang dikejar begitu banyak orang, padahal sesungguhnya, dia ada di sini (sambil meletakkan telapak tangan kanan pada kedalaman ruang dada diri).
Jelasnya, inilah filsafat klasik, yang membuat saya begitu antusias untuk memperhatikan hal-hal terkait dengan masalah ketidakbahagiaan:
“Kebahagiaan manusia, adalah bergerak menuju tempat yang lebih tinggi, mengembangkan bakat-bakatnya yang lebih tinggi, memperoleh pengetahuan tentang hal ikhwal yang lebih tinggi dan yang tertinggi, dan bila mungkin, bertemu dengan Tuhan.
Bila manusia tak mengerjakan tugas-tugas ini, maka berarti ia bergerak menuju kepada yang lebih rendah, dan hanya mengembangkan bakat-bakatnya yang lebih rendah, sehingga ia pun menjadikan dirinya sendiri tak bahagia, bahkan mungkin putus asa.”
Terima kasih sudah membaca. Terima kasih Allah SWT. Terima kasih pada semua yang menginspirasi tulisan ini.
salam bahagia dan terus berkarya
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H