Dua hari sebelum Minggu, Maria, sahabat lamaku, menelpon;
Hai Rid! Bisa datang hari minggu ke rumahku, kan? Aku hendak berangkat haji tanggal 17 october nanti…! Akan ada tasyakuran. Aku ingin kamu datang hari minggu, supaya kita bisa banyak kesempatan ngobrol, sebab Sabtunya, akan banyak yang datang. Aku khawatir kita tak banyak bisa bincang-bincang. Maka datanglah Minggu saja!
Aku lupa bagaimana jelasnya perasaanku ketika itu. Yang jelas aku selalu “nakal” merespon apapun yang dilakukan sahabat-sahabatku. Begini responku pada Yuyun waktu itu;
“ Hai Yun! Yang beneeer! Berangkat haji? Memang kamu jual warisan yang sebelah mana? Kapan jualnya, kok aku ngga dikasih tahu…? Hati-hati loh…tak bilangkan Mbah Wito…kalau kamu jual warisan tanpa ijin...!” Mbah Wito adalah almarhum ayah Yuyun. (Aku ikut cara keluarganya, terbiasa memangilnya dengan 'Yuyun', sementara seluruh kawan-kawan kampus tetap mengenalnya dengan nama Maria)
Karena Yuyun sudah tahu aku, dia hanya tertawa ngakak menanggapi suaraku, sambil berucap :
“Koen iku pancet ae…., onoklaaahhh....pokoke…...teko’o yo…!!!” (Kamu ga ada perubahan candanya, ada aja pokoknya, kamu datang ya!). Aku berjanji akan datang memenuhi undangannya.
Tidak ada yang istimewa dua hari sebelum Minggu. Yang istimewa adalah ketika Minggu itu betul-betul datang.
Minggu siang jam 12, kutelepon rumahnya mengabarkan bahwa aku segera datang.
Aku tidak tahu bagian mana yang berhasil menyentuh rasaku, tiba-tiba saja hatiku mendadak menjadi begitu sedih. Sangat sedih. Mataku mulai berkaca-kaca dan kemudian mengalirkan butir-butir air mata. Mulai dari saat meletakkan gagang telepon, mandi, berganti pakaian, sembahyang, menyisir rambut, siap berangkat, keluar meninggalkan rumahku, aku merasa seperti akan kehilangan seseorang yang sangat aku sayangi.
Ketika siap berangkat, betapapun aku sudah berusaha bisa menahan, tetapi tidak berhasil, sehingga sepanjang perjalanan, air mataku terus menerus deras mengalir. Aku tidak bisa berkata-kata. Yang aku ingat adalah semua kejadian ketika kami tinggal dalam satu kamar kost dan aku tak menyadari bahwa dia akhirnya tertarik masuk Islam.
Aku tak menyadari bahwa satu hingga dua jam hilangnya dia selama beberapa malam, selama beberapa bulan, adalah untuk mempersiapkan dirinya menjadi muslimah. Aku sempat kaget ketika suatu malam, tiba-tiba saja ia masuk rumah kost dalam keadaan masih berkalung kerudung, menghampiri aku yang sedang belajar dan bilang kemudian:
“Rid...!, aku baru saja ikrar di Al_Falah...”
Sungguh sepanjang perjalanan menuju rumahnya, aku hanya melamunkan masa lalu kami, ketika kuliah dan ketika berbagi kamar kost saat pertama kali kami lulus dan mendapatkan pekerjaan. Aku baru tersadar dari lamunan ketika hendak sampai di alamatnya, sebuah rumah besar, “markas” kami dulu semasa kuliah.
Sampai dalam rumahnya, kami saling berpelukan. Tak ada kata-kata yang mampu terucap, kecuali saling meminta maaf. Selebihnya, kami hanya saling berpelukan menangis berurai air mata, lalu bertatapan dan kemudian berpelukan kembali. Rasanya kami berdua tak lagi perlu bicara. Sebab benak/memori kami sepertinya memutar rekaman perjalanan kami jauh bertahun-tahun sebelum hari itu. Memori itu sangat melekat dalam jiwa kami berdua. Aku ikut merasakan betapa berat perjalanannya dalam menuju keyakinannya yang baru.
Di rumahnya, aku jadi teringat kisah ketika ayahandanya dan seluruh keluarganya yang Katholik ta’at, seperti shock mendengar berita ini. Pikiranku melayang pada ketika dia bersujud di kaki ayahnya untuk meminta restu agar diijinkan memilih jalannya sendiri. Ayahnya marah hebat, berteriak keras memintanya memegang dan memeluk salib di dadanya. Salib itu, kusaksikan kemarin, masih tersimpan dalam lemari kaca. Kusaksikan betapa beratnya kedua belah pihak melampaui kejadian ini.
Kami duduk pada sofa coklat menghadap lemari kaca itu. Aku tetap diam. Nyaris tak percaya bahwa sahabatku Maria Pudjiwahyuni (Yuyun), sekarang hendak berangkat haji, sedang aku belum pernah ke sana hingga hari ini. Aku merasakan kesyukuran sekaligus kesepian yang begitu dalam, sebab sebentar lagi ia akan meninggalkan aku. Aku sungguh merasa kehilangan meskipun pada kenyataannya, selama ini kami tak pernah saling bertemu. Bahkan saling telepon pun hanya sesekali dapat dihitung dengan jari. Sekali saja aku berjumpa dengannya di Rumah Sakit (RKZ) menjelang kepergian bundanya.
Cukup lama, kami duduk terpaku, sesekali menghapus air mata, diam dan tidak berkata-kata. Akhirnya, aku berusaha memecah keheningan dengan satu pertanyaan,
“Bagaimana dengan semua saudaramu…mas mu…? Apa kamu sudah pamit mereka?”
Dia jawab dengan penuh syukur bahwa semua kakak lelakinya yang tetap Katholik, telah merestuinya untuk berangkat haji. Maria adalah putri satu-satunya. Empat saudaranya yang lain, laki-laki. Aku pun jadi ingat almarhum ayah bundanya yang pada tahun-tahun terakhir hidupnya, ternyata merestui pilihan jalan (iman) seorang Maria.
Tulisan ini sungguh tidak dimaksudkan apa-apa, kecuali aku hanya ingin sharing sesuatu yang sama sekali belum mampu aku pahami. Aku belum paham apa rencana Tuhan yang terus-menerus memberikan pelajaran-pelajaran baru kepadaku.
Pelajaran baru soal iman. Pelajaran-pelajaran baru soal Tuhan, pelajaran-pelajaran baru soal hidup dan Universalitas. Pelajaran-pelajaran baru soal perbedaan dan mengelola perbedaan, pelajaran-pelajaran baru soal kasih sayang, pelajaran-pelajaran baru soal pilihan-pilihan cara bertemu Tuhan. Aku tidak tahu apa rencana Tuhan berikutnya. Yang aku tahu hanyalah, keluarga besar itu, rukun dan baik-baik saja hingga hari ini. Selamat jalan Maria Puji Wahyuni dan keluarga. Semoga Ibadah mu diterima dan penuh berkah.
Salam bahagia
Pelajaran lain yang dianugerahkanNya ada di sini (beberapa sahabat telah membacanya):
http://filsafat.kompasiana.com/2011/10/04/tuhan-orang-islam-berbeda-dengan-tuhan-orang-katolik/
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H