Pertemuan lalu, seperti biasanya sangat membahagiakan. Kami sedang membahas konsepsi marketing dan demarketing. Kalau marketing kan tujuannya jelas, yaitu meningkatkan demand/penjualan. Lha kalau demarketing?
Kelas kami adalah kelas malam, sehingga saya harus mengusahakan agar kelas menjadi tetap semangat sampai ujung waktu pembelajaran. Target saya adalah kebahagiaan mereka selama pemahaman dan tentu saja memahami dengan penuh kebahagiaan. Setelah beberapa point materi terbahas, ada dialog antara kami.
- "Jadi bagaimana dong bu, soal konsep demarketing itu?"
- "Sebentar, ijinkan saya rememorizing sebentar,"
Mereka diam dan saya pun juga diam berfikir, demi menata kata-kata saya yang akan saya keluarkan dari segenap hati dan pikiran saya…jangan-jangan nanti salah..he..he…
- "Begini, anda semua tahu kan kerajaan sebelah?"
Kawan belajar saya itu terbengong-bengong , mau menjawab masih ragu-ragu. Lalu saya lanjut :
- “Iya…! Itu kerajaan sebelah. ....Kerajaan Dollywood….”
Mereka tersentak lalu kelas menjadi riuh begitu saya menjelaskan soal kerajaan Dollywood. (he..he.., jangan ikut ribut ya, perlu anda ketahui kampus kami ini manis-humanis-sosialis, tidak jauh dari kerajaan Dollywood, kampus tempat perempuan-perempuan kaum saya, mencari nafkah untuk melanjutkan hidupnya)
- "Memang kenapa bu?"
- "Itu , mereka menjual apa...?"
- "Jasa buuuu.....!!!"
- "Good ! Kalau jasa seperti itu, perlu kita pikirkan bagaimana untuk menaikkan apa menurunkan permintaan?"
- "Ya menurunkan_lah bu…. "
Ada sebagian yang tertawa ada sebagian yang tersenyum tersipu-sipu. Saya bersyukur, setidaknya sebagian besar berpendapat seperti itu.
- "Nah, itulah contoh implementasi konsepsi demarketing, harus ada peran bersama antara pemerintah, dewan dan masyarakat untuk memikirkan bagaimana menurunkan permintaan di kawasan Dollywood itu…
Namun, sementara saya bersyukur, ada seorang yang cluthak (mirip-mirip nakal lah). Dia angkat tangan dan mengatakan :
- “Nggak mesti bu…, belum tentu…lha kalau versi GM nya kan masih tetap ingin meningkatkan demandnya”.
- “May be you are right, but let’s discuss on next meeting, okay?” Jawab saya.
Kelas pembelajaran berakhir dengan penuh tawa ceria, meskipun sudah larut malam. Dan persis ketika saya mengharap ada ide baru yang datang bertandang, saya buka pesan dalam inbox fb saya. Salah satu dari mereka, mengirimkan tulisan, begini:
- “Maaf bu, saya salah satu kawan belajar ibu, saya ini harus memasarkan satu produk yang permintaannya adalah negative. Produknya bernama vasektomi. Ibu tahu kan vasektomi itu apa. Itu lho buuu, kontrasepsi bedah untuk pria dengan cara memutus saluran spermanya. Nah, bapak-bapak itu susah banget kalau disuruh vasektomi. Nah gimana dong bu caranya, agar mereka sadar mau vasektomi?
Waddduh….kalau yang ini sih saya belum berani mengambil keputusan tanpa riset. Rasanya saya harus menanyakan kepada bapak-bapak dan para lelaki kompasianer, bagaimana dong caranya agar bapak-bapak mau “membeli” produk vasektomi itu??? Tolong dong agar saya bisa menjawab dengan memuaskan.
Salam bahagia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H