Mohon tunggu...
Aridha Prassetya
Aridha Prassetya Mohon Tunggu... profesional -

Pemerhati Masalah Ketidakbahagiaan

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Hidup Adalah Permainan

11 Agustus 2011   04:53 Diperbarui: 26 Juni 2015   02:54 467
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Kemarin pagi, seorang sahabat mengirim pesan istimewa ke inbox saya. Amat menyenangkan berbincang dengannya sebab cukup lama kami tidak saling bertegur sapa, meskipun kami berada dan sedang belajar pada “ruang kelas” yang sama. Inilah perbincangan kami yang ingin saya bagikan kepada anda untuk memenuhi kerinduan menulis saya di kompasiana ini...

Selamat pagi ibu,

Pertama, saya kabarkan bahwa saya sedang digelisahkan oleh beberapa terminology-istilah, seperti kata setan, iblis, hati dan malaikat. Mohon beri penjelasan versi ibu. (bukan versi yang lain).

Kedua, saya tidak sejalan dengan istilah “hati”. Saya lebih suka memaknainya sebagai ungkapan kejiwaan yang membahagiakan atau tidak membahagiakan.

Jika jiwa dipilah (bukan dipisah), maka terdapat pikir, rasa dan ingin. Adakah hal lain selain itu? Ataukah itu keliru? Lantas tentang “EGO”, bagaimana memilahnya?

Sesaat ini membuat saya berfikir, tetapi tidak perlu waktu yang lama untuk bertindak membalas pesannya. Saya balaslah pesannya itu, demikian:

Dear sahabat,

Tentang setan dan iblis?

Entah mengapa saya tidak begitu tertarik berbicara tentang dua makhluk ini dalam kehidupan saya.Saya tidak tertarik berbicara tentang keburukan dan segala lambang-perlambangnya. Nyaris saya berpendapat bahwa jika mereka (setan dan iblis) ada, maka itu karena kemauan kita, kita sendirilah yang mengundangnya. Jika kita tidak tertarik kepada mereka, maka mereka tidak akan tertarik kepada kita.

Tentang Malaikat?

Setiap orang yang berbuat baik, saya senang memberikan sebutan “malaikat” kepadanya.

Tentang Hati?

Bagi saya, hati itu adalah sebuah sumber lahirnya rasa, fikir dan keinginan. Hati yang baik menghasilkan rasa yang baik, fikir yang baik dan keinginan yang baik.

Meskipun kadang sesuatu yang baik belum tentu benar.

Benar itu “tunduk” kepada wilayah tertentu (institusi, agama, budaya, norma dll). Sesuatu yang benar dalam satu wilayah tertentu, belum tentu benar pada/dalam pandangan wilayah lain.

Contoh:

Kristen akan menganggap poligami sebagai berzinah dan tidak benar. tetapi sebagian Islam tidak demikian menganggapnya.

Baik?

Yang baik itu adalah ‘bijak’. hidupnya diliputi dengan ‘empati’, mendudukkan diri pada posisi orang yang bermasalah/dianggap bermasalah, lalu membantu memberikan jalan keluar yang teduh.

Yang baik itu adalah ‘bijak’. hidupnya “bajik”, diwarnai dengan keinginan pembelajaran yang terus menerus akan rahasia semesta.

Hati yang baik, terpancar melalui rasa yang baik, pikir yang baik dan keinginan yang baik.

Hati yang baik, ia mampu mengelola ketiganya termasuk keAKUAN dan KEEGOAN dirinya.

Hati yang baik mampu mengolah rasa AKU_AKU nya, Mampu mengolah “pikir_AKU”nya dan Mampu mengolah “keinginan_AKU”nya.

salam bahagia

Beberapa saat kemudian ia pun membalas balas pesan saya. Inilah bunyi pesan kemudiannya.

Sebenarnya sampai detik ini, di luar rumah masih sangat terik, namun segera menjadi teduh karena membaca tulisan ibu. Mengapa saya sekarang lebih sulit menerima ketimbang memberi? Selalu mempertentangkan banyak hal dengan harapan, apa yang saya baca, lihat, dengar tidak lagi menyesatkan ku.

Mengapa ibu seolah tidak ada yg tidak dipaham-dirasa? mungkin jawabnya karena banyak mbaca, banyak…. dll,

My question is :

Bagaimana ibu mencoba/ masuk dalam wilayah yg Ibu tidak kehendaki, tdk/blm terima, tidak/belum tahu, tidak/belum rasa, tidak dan tidak.... ?

Salamnya diriku,

“Aku”

Dan saya menjawabnya demikian:

Sepertinya anda terlalu berlebihan memuji saya.

“Mengapa ibu seolah tidak ada yg tidak dipaham-dirasa?”

Saya perempuan sangat biasa, jauh dari apa yang orang definisikan sebagai “putih”. Apa yang saya alami dan harus saya hadapi adalah pelajaran yang harus saya pelajari. Saya mempelajari/terkadang harus dipaksa mempelajari berbagai warna dalam kehidupan. Dan ini (mempelajari/mengalami berbagai warna) adalah pengalaman indah dan menakjubkan bagi saya. Itu semua memerlukan “keberanian” tersendiri.

Ketika saya mengalami sesuatu yang ternyata sebagian besar orang bilang salah, saya berusaha bangkit tidak terpuruk sebab saya yakini itu adalah pelajaran yang HARUS saya pelajari, bukan kesalahan yang mematikan.

Orang lain mungkin melihat saya dalam bahaya, menghawatirkan perahu saya yang kecil, yang diombang-ambingkan oleh ombak besar, takut saya akan “mati tenggelam”, tetapi untuk sampai ke daratan, saya hanya “perlu lentur” saja dengan sisa kebaikan diri yang saya punya. Nyatanya (baca: syukurnya), saat ini kedua belah kaki saya tetap kokoh berada di daratan. Saya tak mati bersama gulungan ombak itu.

Bagaimana ibu mencoba/ masuk dalam wilayah yang Ibu tidak kehendaki, tidak/belum terima, tidak/belum tahu, tidak/belum rasa, tidak dan tidak ..?

Seperti saya katakan. “Benar” itu “tunduk pada wilayah tertentu” dan satu-satunya kebenaran mutlak HANYA DIA.

Jadi? bagaimana saya kemudian bisa masuk kepada wilayah yang tidak saya kehendaki?
Saya hanya perlu lentur sekaligus “berani”.

Dengan pemahaman anda pada agama anda, saya hanya perlu menghargai (inilah lentur), tidak harus mengikuti.Saya berani mengakui kebenaran agama saya dan mengambil risiko ketidakbenarannya (dalam pandangan agama lain).

Demikian juga anda bukan? Segala yang ada dalam agama saya, terasa tak benar dan tak masuk akal anda, anda tidak harus mengikuti jalan (agama) saya.

Dan saling menghargai, menghormati ada dalam wilayah “kebaikan”.

Salam bahagia

Beberapa saat kemudian, inilah yang terakhir dituliskannya:

Terima kasih banyak dan sampai ketemu di kebingunganku selanjutnya…

Salam Lentur-Berani

Dan saya balas dalam hati “salam bahagia”.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun