Mohon tunggu...
Aridha Prassetya
Aridha Prassetya Mohon Tunggu... profesional -

Pemerhati Masalah Ketidakbahagiaan

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Efek Menakjubkan dari Bermain Internet Bagi Anak

16 Desember 2012   23:10 Diperbarui: 24 Juni 2015   19:32 663
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

“Maraknya kejahatan terhadap remaja dan konten tidak sehat membuat orangtua waswas. Dalam rangka Hari Ibu, ayo ceritakan pengalaman atau opini Anda seputar peran ibu dalam mengawasi kegiatan anak bermedia sosial di Kompasiana”.

Jujur saya agak terkejut membaca “info admin” itu. Sebab saya tidak pernah suka menggunakan kata “mengawasi” apalagi “mengawas-awasi” anak. Tulisan ini didorong oleh ketersentakan hati saya sebagai seorang ibu, yang kebetulan punya pengalaman menarik tentang bekerjasama dengan anak dalam memanfaatkan kemajuan teknologi.

Bukan hanya hari ini orang gemar menakut-nakuti soal bahaya internet, namun sejak dulu. Sejak pertama dikenal computer beserta games-nya. Saya merasakannya ketika pertama kali memperkenalkan anak dengan computer.

Sesungguhnya hanya diperlukan ketenangan hati dan ketidakpanikan. Ketika anak saya mengenal PS dan saya belum mampu membelikannya, ia suka (bemain) PS di warung-warung.

Setiap pulang kerja, saya selalu membuka percakapan dengan “apa yang kamu lakukan hari ini?”, lalu saya membiarkan dia bercerita semua hingga tuntas. Saya mendengarkannya tentu saja bukan sambil lalu. Saya mendengarnya dengan sungguh-sungguh, sehingga kisah-kisah hariannya menjadi “cerita bersambung” bagi saya.

Ketika sudah cukup uang saya untuk membeli PS, saya membelikannya dan membiarkan dia mengundang temannya ke rumah. Saya bukan hanya memperhatikan kebiasaan bermain, tapi juga kebiasaannya belajar.

Saya memperhatikan buku-buku tulisnya yang dibawa ke sekolah. Ibu lain mungkin marah ketika mendapati buku tulis anaknya hanya berisi gambar-gambar macam komik. Gambar-gambar imajinasi anak tentang pembicaraan para tokoh komik. Ia bukan hanya menggambar Naruto, namun ia juga menggambar gurunya dalam bentuk beberapa karakter yang ia ciptakan sendiri berdasarkan imajinasinya. Ibu lain mungkin marah. Sebab, itu pertanda anaknya tidak belajar dengan sungguh-sungguh di kelas/sekolah. Tapi saya, belum pernah marah terhadap “penyimpangan-penyimpangan” macam itu, meskipun gurunya pasti marah.

Saya hanya perlu membawanya secara rutin ke toko buku, membiarkan dia memilih buku bacaan yang ia sukai, yang mendukung bakat-bakatnya.

Banyak orang tua akan panik mendapati kejadian macam itu, dianggapnya anak tidak belajar dengan sungguh-sungguh lalu khawatir bagaimana nanti bila tak lulus UNAS?

UNAS memang momok tapi kami sepakat, UNAS tidak boleh menakut-nakuti saya dan anak saya. UNAS bisa dilawan dengan bimbel. Tiga bulan sebelum UNAS, baru saya fokuskan anak saya dengan apa yang disebut UNAS. Untuk sekedar lulus UNAS tidak perlu panik sejak kelas satu.

Sebab, bila UNAS bukan merupakan hobby atau bakat yang bisa dikembangkan, maka itu tak perlu terlalu diambil hati. Fokus saja kepada bakat anak-anak. Dari fokusnya saya kepada bakat anak saya, saya bisa mengerti jurusan apa sebetulnya yang tepat baginya. Sehingga saya tak perlu khawatir dan apalagi mengajak anak saya khawatir terhadap UNAS. Bila dipaksakan fokus kepada apa yang tidak ia gemari, maka yang terjadi hanyalah kebosanan dan frustrasi. Salah-salah, karena sudah bosan try out seratus kali, tiba waktu ujian malah tidak mampu mengerjakan apa-apa.

Begitu juga dengan adanya internet. Pertanyaan saya tidak jauh-jauh. Hanya seputar, “apa yang kamu kerjakan hari ini. Apakah kamu pernah melihat film porno?”

Bila jawabannya “ya”, tinggal mengarahkan dan menjelaskan mengapa ia belum boleh melihat itu. Tidak perlu ragu bagi saya untuk mengatakan terus terang bahwa yang dikhawatirkan setiap orang tua adalah perzinahan/hamil di luar nikah. Berkata itu, tidak perlu saya tutup-tutupi, tidak perlu ragu dan merasa bicara hal yang tabu. Langsung saja kami diskusikan dengan terbuka. Karena sesungguhnya hanya itu yang dikhawatirkan setiap orang tua, jadi mengapa harus berputar-putar.

Hal-hal yang saya lakukan secara parallel (bersamaan) dengan adanya internet adalah, menyediakan jaringannya di rumah. Kami berlangganan bersama-sama, hanya satu modem, tidak sendiri-sendiri. Komputer kami diletakkan di ruang kerja. Saya meletakkan meja khusus untuk saya di dekat mejanya, sehingga memungkinkan kami dapat berkomunikasi selama anak berinternet. Kegiatan ke toko buku, untuk mendukung bakat-bakat yang berhasil saya pelajari darinya, tetap berlangsung. Toko buku bisa menstimulasi bakat-bakat anak yang mungkin ia sendiri mungkin tidak/belum menyadari itu.

Hasil dari semua pengalaman saya itu adalah, hari ini anak saya berpenghasilan dari karya desain web, desain logo/mascot, yang berhasil dikembangkannya melalui belajar dari internet. Pelanggannya justru lebih banyak dari luar negeri. Ternyata ia berkembang dengan sendirinya dan itu diluar dugaan saya. Ia jusrtu lebih cepat memahami tutorial dari internet dari pada dari pada dari sumber lainnya.

Bukan hanya itu, kami menjadi senang berkolaborasi. Semua cover dari buku-buku saya, ia yang menjadi desainernya. Video pembelajaran yang baru saya “launching”, ia pula yang mengemasnya. Ini sangat indah bagi saya dan tentu saja membahagiakan.

Saya tahu setiap anak memiliki karakter sendiri, namun saya yakin bahwa seorang ibu pasti mampu mendengarkan bakat-bakat anak-anaknya bila ia bersedia hening, tidak panik, tidak dikacaukan oleh kejutan-kejutan/ aturan-aturan yang sifatnya hanya sangat sementara.

Hanya perlu hening mengikuti perkembangan anak, memperhatikan kegemarannya lalu mensupport dengan tindakan, membantu melengkapi apa yang dibutuhkannya (bukan apa yang diinginkannya). Yang tidak kalah penting adalah mendoakannya dan mengajaknya berdoa “bersama”. Saya membiasakan diri membacakan satu atau dua ayat firman, hingga ia mampu membacanya sendiri. Hingga sekarang hal itu masih sesekali saya lakukan meskipun ia sudah mampu melakukannya sendiri.

Pertanyaan, “apa yang kamu lakukan hari ini? Ceritakan kepada mama/ibu!”, merupakan pertanyaan kunci agar setiap ibu mendapat pengetahuan tentang yang dilakukan anak-anak. Ketika anak-anak menginjak remaja, maka itu sebaiknya menjadi pertanyaan harian, bukan mingguan atau bulanan.

Saya sudah lebih dari 15 tahun mempraktikkannya dan tidak pernah bosan hingga hari ini. Sehari saja kita lupa menanyakannya, maka cerita bersambung itu bisa kehilangan satu episode penting. Dan anak bisa saja terjerumus pada hari itu, sebab, jatuh cinta dan terjerumus melalui face book, misalnya, bisa terjadi dalam waktu sekejap, dalam hitungan menit dan bahkan detik.

Terima kasih sudah membaca. Terima kasih Allah SWT. Terima kasih pada semua yang menginspirasi. Salam bahagia dan terus berkarya!

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun