Mohon tunggu...
Aridha Prassetya
Aridha Prassetya Mohon Tunggu... profesional -

Pemerhati Masalah Ketidakbahagiaan

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Dosaku yang Terhalalkan

8 Desember 2012   02:15 Diperbarui: 24 Juni 2015   20:01 714
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pernahkah Anda berbuat dosa? Aku pernah. Bahkan sangat pernah.

Aku melakukan dosa besar. Juga dosa-dosa kecil. Aku menabung dosa-dosa kecil sedikit demi sedikit , hingga menggunung dan tak mampu kuhitung.

Ada dosa-dosa yang berhasil kusembunyikan, ada pula yang pada akhirnya gagal kututupi. Aku berzinah. Kelaminku berzinah. Mataku berzinah, pipiku berzinah, mulutku berzinah, bibir, lidah, air liur dan kata-kataku berzinah. Tanganku, bahuku, lenganku, bahuku, leherku, dadaku, jantungku, perutku, pahaku, kakiku, betisku, otak, hati dan bahkan perasaanku pun berzinah.

Aku bergunjing. Mulut, bibir, gigi, lidah, liur, otak, pikiran, hati, kaki, tangan dan jari-jemari ku, hampir tiap lima menit bergunjing. Menikmati hidangan aib diri orang lain.

Aku mengumpat. Bibirku, otakku, pikiranku, kaki, tangan dan jari-jariku hampir tiap lima menit mengumpat. Berkata “cuih!” sambil meludahi "para pendosa".

Aku sombong dan terus menerus membangun kesombongan. Merasa diriku lebih suci dari lainnya. Meninggikan diri merendahkan yang lain. Merasa diri putih tidak lebih hina dari yang lain. Tidak lebih hitam dari yang lain.

Hingga suatu ketika. Diriku sendiri tergelincir dalam jurang paling dalam. Kotor dan kelam. Tidak ada yang sanggup menolong bahkan diriku sendiri tak sanggup melakukan apa-apa. Tak ada yang sanggup mendengar jerit dan tangisku yang mengiba, kecuali orang tuaku.

Hanya ayahku yang datang menolong. Mengulurkan tangan agar kubisa terangkat. Ia menggendongku “pulang”, membaringkanku di atas tikar pandan. Ibu, menciumiku berulang-ulang tanpa memedulikan kotornya lumpur yang membalut tubuhku.

“ayah, ibu…aku banyak berbuat dosa…”

Aku lunglai. Tak lagi sanggup berkata-kata. Kami terdiam. Saling terhubung, hanya dalam perbincangan hati yang sama-sama terluka. Mataku basah berlinang sementara pikiranku, sibuk menghitung dosa yang kuhalalkan.

Dosa-dosaku kepada keduanya. Selama ini aku tidak begitu peduli keduanya. Aku sibuk dengan urusan duniaku sendiri, tidak punya waktu mendengarkan kebutuhan keduanya, tidak pernah lembut menyentuh keduanya, tidak pernah memeluk dan mencium keduanya, tidak pernah sejuk kata-kataku terhadap keduanya, tidak pernah mendahulukan kepentingan keduanya.

Aku tidak pernah menanyakan tentang kegundahan yang sedang melandanya. Aku gemar menunda-nunda mengetahui kabar beritanya. Aku tidak pernah berusaha mengetahui bagian tubuh sebelah mana yang mulai mengganggu kesehatannya…

Air mataku terus meleleh, mendengarkan doa-doa keduanya memohon agar Rabb berkenan mengampuniku. Aku dalam penyesalan yang dahsyat. Menyaksikan keduanya mempertaruhkan jiwa raganya untuk memperoleh pengampunan dariNya atas dosa-dosa yang kesembunyikan dan tak kurasa.

Aku tersadar betapa aku sudah mengingkari janjiku kepadanya, untuk memilih hidup baik-baik saja. Tidak dalam kebencian, tidak dalam kesyirikan, tidak dalam kemarahan dan kedengkian, tidak dalam praduga-prasangka, tidak dalam pergunjingan dan memperzinahkan seluruh indra.

Aku tidak mengindahkan nasehat keduanya. Aku menjadi sosok yang tidak hati-hati, kehilangan penghormatan dan kehormatan diri dan jiwa. Mengumbar nafsu gemar mencibir dan mencela. Culas, iri dan bersyukur atas bencana yang menimpa orang lain yang sedang “keliru/tersesat”.

Aku menuhankan aku. Terus menerus memelihara kesombongan. Aku lupa bahwa mengabaikan orang tuaku adalah dosa yang kutanam. Bahwa mengabaikan seluruh nasehat baiknya, adalah juga dosa yang kutanam yang bisa berbuah karma.

Aku bahkan berani mempertukarkan kalimatullah innalillahi danAlhamdulillah. Lupa bahwa seharusnya mengucap innalillahi atas segala bencana dan Alhamdulillah saat mensyukuri anugerah sekecil apa. Aku merancukan keduanya. Aku mensyukuri ketersesatan dan bencana yang menimpa orang lain. Padahal tidak demikian Rabb dan rasulku mengajarkan.

Kami saling menatap. Tapi tidak lama. Aku sangat malu. Dosa-dosaku “terbaca” tanpa kata-kata. Aku bangkit dari berbaring. Memeluk keduanya, lalu bersujud memohon pengampunan atas pengkhinatan janjiku pada keduanya.

“Bangunlah, hapuslah air matamu, jadilah anak yang baik. Bertanggungjawablah..”, Ibu memelukku. Ayah menciumi ubun-ubunku. Kami berlinang lagi. Kasih dan doa keduanya, tanpa batas. Mereka tetap menyayangiku, bahkan saat keadaan diriku berlumur lumpur.

Aku baru mengerti bahwa tidak patuh pada keduanya adalah pengkhianatan. Sebab mereka selalu percaya aku ini baik dan bisa memegang janji. Mereka sangat percaya bahwa anaknya ini, pasti memilih hidup yang baik-baik, tapi aku justru mengkhianati.

Sejak itu, aku berjanji. Bahwa aku akan menyayangi setiap orang tua. Setiap orang tua pasti terluka bila anak-anak berbuat dosa, keliru, tersesat dan tergelincir.

Dunia ini banyak pendosa. Bila berhasrat menghujat pendosa, aku periksa niatku. Sebab aku mengerti betapa terlukanya hati seorang ayah dan bagaimana tertusuknya perasaan seorang ibu, yang terkhianati. Dalam keadaan terkhianati, mereka tetapberjuang menolong anak-anaknya dari kesesatan dan ketergelinciran.

Aku tidak ingin menambah luka batin mereka yang sudah mendalam. Seperti yang ayah ibuku ajarkan.

“Dan Rabbmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan ‘ah’ dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia. Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kesayangan dan ucapkanlah: ‘Wahai Rabbku, kasihilah mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku waktu kecil’.” (QS 17: 23-24)

Bila aku kesulitan mengendalikan nafsuku untuk menghujat pendosa. Aku hanya perlu membaca firman itu. Supaya aku sibuk memperbaiki diriku. Sebab, terlalu banyak dosa yang sudah aku halalkan.

Terima kasih sudah membaca. Terima kasih Allah SWT. Terima kasih kepada semua yang menginspirasi. Salam bahagia dan terus berkarya!

Versi Video dapat dilihat di sini:

http://www.youtube.com/watch?v=yyHYrzZ1om8&feature=youtu.be

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun