Mohon tunggu...
Aridha Prassetya
Aridha Prassetya Mohon Tunggu... profesional -

Pemerhati Masalah Ketidakbahagiaan

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Cungkil Saja Matanya!

18 September 2012   09:49 Diperbarui: 25 Juni 2015   00:17 456
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Kemarin sebelum berangkat ke kantor, saya sempat menyaksikan tayangan menyedihkan di TV. Betapa kewalahannya polisi menghadapi demo akbar para muslim. Siapa yang tak marah bila junjungannya dihina dina? Namun apakah cara marah seperti itu merupakan satu-satunya pilihan? Sehingga yang tidak bersalah menjadi harus terbunuh dan dibunuh?

Tiba di tempat kerja, saya masuk kelas. Seperti biasa, kami berdialog layaknya pembelajar. Saya berhadapan dengan seorang gadis yang ayahnya adalah seorang polisi. Tubuhnya kurus, matanya cekung. Setelah sebentar berbincang. Yang ada di kepala saya adalah bayangan andai-andai.

Andai suami saya adalah seorang polisi. Atau andai ayah saya adalah seorang polisi, yang sedang bertugas mengamankan jalannya demo akbar macam itu. Saya bisa merasakan perasaan gadis itu dan juga ibunya. Jika saya adalah bundanya, saya pasti dalam kecemasan yang sangat. Jika saya adalah gadis itu, saya pasti dalam kekhawatiran yang panjang.

Jika saya adalah gadis itu, pasti saya berharap tak henti-henti, agar ayah saya yang kebetulan adalah polisi, dilidungi sepanjang hari. Andai saya adalah bunda gadis itu, saya pasti memohon tiada henti agar suami saya, yang adalah seorang polisi, bisa kembali pulang ke rumah dalam keadaan selamat tanpa cacat.

Gadis itu, ayahnya dan juga bundanya, pasti tidak pernah punya pilihan. Setiap sang polisi berangkat bertugas mengamankan demo-demo, jika boleh memilih, mereka pasti memilih selamat dan bukan cacat atau mati.

Di Kompasiana pun tak kalah seru. Saling unggul mengungguli dalam menulis. Saling merasa bahwa pembelaannya adalah benar. Lalu muncul dan muncul artikel yang hanya menyulut “perkelahian” antar komen saja.

Dalam pandangan saya, memilih menyikapi segala hinaan itu dengan BERSABAR, bukanlah cara yang buruk dan keliru. Toh yang berwenang sudah jelas tidak tinggal diam. Mereka sangat serius berupaya mengejar dan menemukan pelakunya.

Rasanya, ikut menjaga ketentraman, berlomba-lomba mendinginkan keadaan dan menurunkan tensi/ketegangan adalah sesuatu yang tidak salah.

Rasanya, yang butuh beribadah itu bukan kita sendiri. Orang-orang yang perlu bekerja dan orang-orang yang punya kepentingan berangkat dan pulang kantor, mereka juga beribadah di jalan Tuhan. Maka memberikan rasa aman dan nyaman kepada mereka yang beribadah, adalah perbuatan yang tidak tercela.

Maka, yang perlu dilakukan adalah berlatih untuk bersabar mengekang hawa nafsu. Berlatih bersabar dalam menyikapi persoalan.

Mungkin bagi sebagian pembaca, apa yang saya tulis dan katakan adalah omong kosong.

Kesabaran adalah omong kosong. Diam adalah omong kosong. Mengandalkan agar Allah sendiri yang menghukum kekurangajaran pelaku adalah omong kosong. Menyerahkan kepada pihak yang mempunyai wewenang adalah omong kosong. Keteduhan hati dan pikir adalah omong kosong. Jalan damai pun adalah omong kosong.”

Jika demikian, maka saya pun tidak punya kuasa untuk mencegah siapapun yang ingin terus menerus terbelenggu dalam dendam yang balas berbalas. Tidak tua, tidak juga anak-anak. Silakan mengagumi dan mengagung-agungkan dendam kesumat dan kemarahan.

Bila perlu cungkil saja mata mereka yang membuat diri merasa terhina dina!

Cungkil saja matanya, cungkil saja mata mereka, dan biarkan mereka beringas, membalas pula mencungkil mata kita! Biarkan dunia menjadi buta karena “permusuhan” yang membabi buta. Biar seluruh DUNIA MENJADI BUTA.

Biar seluruh dunia menjadi buta. Persis seperti yang pernah diucap Mahatma Gandhi,

“Bila pencungkilan mata dibalas dengan pencungkilan mata, maka seluruh dunia akan menjadi BUTA”.

Selesai. Terima kasih sudah membaca. Terima kasih Allah SWT. Terima kasih pada pertengkaran yang menginspirasi. Salam bahagia dan terus berkarya!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun