Aku kalah dalam sebuah pertandingan. Dan sejak kekalahan yang mengecewakanku dalam tanding itu, aku menjadi merenung-renungkan, betapa selama ini aku terbelenggu oleh kerangka dualitas para pengagung definisi-definisi yang dibuat oleh manusia.
Di dunia ini, ada banyak pemuja dualisme.
Yang namanya "Dualisme", ia berputar-putar dalam kisaran soal cantik- jelek, baik-buruk, menang-kalah, hitam-putih, kaya-miskin, tampan-buruk rupa, suka-duka, bahagia-derita, pintar-bodoh, benar-salah, sukses-gagal, juara-yang terkalahkan, yang acuannya semata-mata hanyalah "definisi mereka", bukan definisiNYA.
Kabar yang masih hangat adalah kontroversi antara tulisan baik dan tulisan tidak baik, manusia favorit dan tidak favorit, the real sastra dan sastra instant/abal-abal, puisi yang benar dan tidak benar, ini puisi betulan dan itu puisi gadungan, aku pintar dan kamu bodoh, aku penulis bertalenta dan kamu penulis asal-asalan, harus begini dan tak boleh begitu, HL dan tidak HL, terekomendasi dan tidak terekomendasi, dan.....
Dan... masih banyak lagi "kontroversi-kontroversi" yang sesungguhnya, hanya akan menjadi "penyakit" . Tampak sebagai OBAT padahal sesungguhnya ia adalah bibit penyakit yang "sangat samar".
Samar sebab ia "dibungkus" dengan kemasan cantiknya kata-kata, lalu dihembus-hembuskan (katanya) sebagai obat perangsang kepintaran, sebagai obat perangsang pertumbuhan, sebagai obat perangsang keberhasilan berikutnya. Dijanjikan dapat "menyehatkan pola pikir, pemikiran dan mental".
Jika ada yang merasa dikalahkan hari ini, kekalahan dalam bentuk apapun, maka aku ingin berkata. Tak ada yang perlu dirisaukan soal sebuah kekalahan. Tak ada yang perlu dibanggakan dari sebuah kemenangan. Ini hanya soal perasaan. Soal persepsi. Soal sudut pandang. Soal bersedia atau tidak bersedia melampaui belenggu kerangka dualisme kalah-menang, yang selalu didengung-dengungkan oleh para pemujanya.
Contoh pemuja dualisme adalah :
Mereka berdoa kepada Tuhannya, untuk sebuah kemenangan tanding bola, tetapi dalam waktu bersamaan mereka juga memaki (maaf) Djiantjuk, setiap kali gawang jagoannya berhasil dibobol lawan tanding. Mereka kecewa berat dan marah secara destruktif dalam menerima kekalahan. Di Surabaya saja, saya tak mampu menghitung berapa jumlah kata Djiantjuk itu diteriakkan sepanjang pertandingan berlangsung, bukan hanya di warung-warung pinggir jalan, tapi di kos-kosan mahasiswa, bahkan di kampus-kampus dimana di situ disiapkan televise "untuk memaki" lawan tanding)**
Virus dualisme bergentayangan. Dimanapun ia berada, tugasnya adalah bergerak-gerak mencari-cari korban. Korban yang harus dikalah-kalahkan, disalah-salahkan, dibodoh-bodohkan dan dijelek-jelekkan dan dibuat terlena dengan debat kusir.
Setiap peserta tanding adalah juara. Setiapnya adalah pemenang. Begitukah?