What the Fucking Porno is?
Suatu kali, saya membaca pemberitaan di Musé d’Orsay Paris, Prancis yang mengabarkan bahwa ada seorang perempuan yang “memamerkan” kelaminnya untuk pengunjung di museum tersebut. Pada saat itu, di Musé d’Orsay memamerkan koleksi lukisan, salah satunya adalah "l'Origine du Monde", « Asal Dunia » bertahun 1866 itu dibuat oleh Gustave Courbet (1819-1877). Sebelum dipamerkan di Musé d'Orsay, lukisan itu milik Khalil-Bey, seseorang berkebangsaan Turki-Mesir. Karena bangkrut di meja judi, lukisan tersebut berpindah tangan dan akhirnyaberada di Musé d'Orsay sejak 1995. Gustave Courbet secara cerdas dan jujur melukiskan anatomi perempuan tanpa ada kesan jorok. Berbagai pengamat seni menyayangkan, lukisan yang hebat tersebut masih sedikit diakses untuk dinikmati pengunjung. Masih banyak anggapan bahwa lukisan yang mempertontonkan kelamin perempuan tersebut, dianggap porno dan jauh dari susila. Padahal lukisan tersebut sangat terkenal dalam sejarah dan sastra.
Kenapa lukisan yang menarik itu, tak banyak yang dilihat? Apakah banyak pengunjung yang merasa “malu” melihat lukisan tersebut? Padahal pada saat yang sama, akses gambar seperti itu mudah sekali dilihat via internet. Apakah kebanyakan orang, lebih “nyaman” menikmati imaji tersebut itu secara pribadi, sembunyi dan diam-diam? Atau mungkin dihadapan imaji “kelamin” sebagai simbol “kemaluan”, masyarakat pada umumnya belum bisa membedakan mana yang seni dan mana yang tidak seni? Sejauh mana, kita dapat “menikmati” domain terlarang tersebut? Banyak sekali pertanyaan yang hinggap di kepala.
Mungkin sederet pertanyaan-pertanyaan yang sama juga muncul di kepala perempuan tersebut. Bagaimana cara menarik pengunjung agar datang melihat. Dia memancing reaksi masyarakat dengan aksi “double expo”, sehingga menciptakan kehebohan agar masyarakat tergelitik untuk berpikir mengenai lukisan "l'Origine du Monde" dan atau mengenai perilakunya. Reaksi yang mengundang perdebatan, ranah apa yang akan didiskusikan. Di negara sebebas Barat pun, dimana konten yang dikategorikan “pornografi” masih berada pada tempatnya, tidak gampang tersebar seperti wabah virus yang bisa dibawa masuk semua lini kehidupan. Tidak akan pernah ada politisasi “pornografi”. Ada “pembabakan” yang tegas, “kita mau membicarakan apa nih?”, karena menurut saya semua hal yang tertutup/intim seperti contoh lukisan tersebut, merupakan kasus khusus, cerminan pribadi secara personal. Membahasnya, itu berarti mendiskusikan secara khusus mengenai perilaku seseorang. Kekebasan dalam bertindak apapun, selalu dipermasalahkan jika itu mengganggu kepentingan dan “merusak” ketertiban umum.
"Milikku adalah bukan milikmu. Tapi aku miliki apa yang kamu miliki dan kamu miliki apa yang aku miliki. Kita sama-sama memiliki itu. apakah yang dimaksud itu?" - Ari DK
“Kelaminnya, sama seperti kelamin saya”
Maka dia pun tiba-tiba bersimpuh di depan lukisan, memperlihatkan kelaminnya. Pose yang sama seperti lukisan. Tak lama kemudian dia diamankan oleh sekuriti museum. Keesokan harinya koran heboh membicarakan aksi perempuan tersebut. Dari sudut pandangan saya, itu adalah sebuah seni teatrikal yang mengusik perdebatan tentang definisi kesopanan dalam kerangka keindahan erotisme. Ada wujud asli dari obyek yang di lukisan. Obyeknya sama yaitu organ vital perempuan: son sexe (kelaminnya).
Pihak keamanan museum meminta perempuan tersebut meninggalkan tempat, pasti mereka memiliki alasan. Mari saya buat dugaan beberapa alasan (1) kehadiran artis tersebut di tempat tersebut ilegal, karena dia tidak punya ijin untuk memamerkan apapun di dalam museum, (2) keberadaanya mengganggu pengunjung lainnya (dapat menciptakan keresahan, keributan dan kenyamanan pengunjung) dan (3) apa yang dipertontonkan yaitu kelaminnya, adalah subyek yang tidak sopan di tempat umum.
“Buka saja yang tidak membuat malu. Tutup rapat yang mengundang malu. Itulah kemaluan” – Ari DK
Budayawan Prancis, yang sudah lama tinggal di Bali, Jean Cocteau menjadi kolomnis tetap di harian Kompas. Budayawan yang terkenal sebagai penulis roman Les Enfants Terrible dan juga sebagai pembuat film suatu hari menulis tentang “pakaian” kepada kedua orang yang menjadi bagian dari keluarganya. Yang pertama anak perempuannya, yang kedua menantu perempuannya. Dia bertestimoni bahwa dia memiliki menantu yang memakai tertutup (burqah) dan memiliki anak perempuan yang memakai pakaian terbuka (minim). Pada saat ditanya masing-masing, yang berkerudung menjawab "tubuh ini milik Tuhan, jadi saya merasa nyaman jika saya menutupinya". Yang tidak berkerudung menjawab, "tubuh ini adalah milikku, terserah aku akan melakukan bagaimana". Semua memiliki alasan masing-masing. Ada sudut pandang yang berbeda-beda mengenai kepemilikkan tubuh ini. Jean Cocteau melihat semua dilakukan berdasarkan kehendak sendiri, nyaman dan mengetahui batasan masing-masing. Sama halnya, dalam menentukan aspek kesopanan dalam bidang yang namanya visual. Jika boleh saya menggolongkan bahwa pakaian yang dikenakan seseorang untuk menutupi tubuhnya adalah aspek kesopanan. Tapi, saya akan sisihkan dulu, pakaian yang menutup rapat tubuh. Saya akan mencoba mengeksplorasi pemikiran dari sudut pandang orang yang nyaman dengan keterbukaan (dalam hal pakaian).
Berpakaian terbuka pun tentu saja mempunyai alasan masing-masing tiap individu. Tidak melulu soal rasa respek, sopan dan etika kesantunan. Di kantor pun, yang sudah memakai pakaian tertutup, tapi jika terlalu "menonjol" tetap saja dapat dikategorikan sebagai pakaian minim atau terbuka. Selalu akan ada teguran, dari atasan atau kolega yang melihat bahwa itu adalah yang menurut penulis Marion Reynaud disebut “de l’art de séduire” seni menggoda. Marion menggarisbawahi bahwa semua didasarkan kepada “rasa bersenang-bersenang” tiap individu. Pertanyaan selanjutlah adalah perlukah kita bersenang-senang dengan “menggoda” pihak lain? Seandainya kita hidup sendiri di dunia, masih perlukah “menggoda” dan “tergoda” agar senang? Ternyata kenyataan menuturkan ada ranah tersembunyi dan terbuka yang tak bisa diisi dengan hal-hal yang bertolak belakang.
Yang perlu diperhatikan juga adalah ada pihak yang nyaman dengan keterbukaan tubuh, demikian pula ada pihak yang senang menikmati pemandangan tersebut, di sisi lain ada pula yang tidak nyaman melihat keterbukaan. Risih. Maaf saya tidak membahas soal moral, baik yang memakai dan melihatnya, karena keduanya saling tarik-menarik. Satunya suka melihat, yang satu suka memperlihatkan. Sebuah hubungan mutualisme, sebagai cermin saling memberikan penghargaan. Apakah akan ada pelecehan seksual karena aktifitas seperti ini? Tentu saja dimungkinkan, tapi maaf saya juga tidak tertarik untuk membahas efek karena melihat hal-hal yang minim. Karena menurut pandangan saya, tiap manusia hidup yang didorongkan oleh “desire” itu seperti merentas sebuah jalan sendiri. Dia boleh mengajak orang lain yang satu jalan, satu keinginan. Soal mengelola kapan harus ini dan itu, toleransi adalah kunci semua kesadaran tiap manusia sosial. Rasa tidak nyaman itu seperti yang diucapkan oleh Jean Anouilh.
« On imagine mal un prêtre tout nu ». - Jean Anouilh. Satu tidak bisa membayangkan seorang imam suci telanjang.
Manusia dalam keadaan telanjang. Kita mandi juga telanjang. Kita mengenal baik bentuk-bentuk tubuh kita. Seperti halnya, orang lain juga mengenal baik bentuk organ-organnya masing. Sebenarnya kita saling mengetahui bagaimana bentuk "ketelanjangan" kita. Seperti yang saya nyatakan di atas: "Milikku adalah bukan milikmu. Tapi aku miliki apa yang kamu miliki dan kamu miliki apa yang aku miliki. Kita sama-sama memiliki itu. apakah yang dimaksud itu?" Saya menggarisbawahi adalah "punyamu adalah bukan punyaku, meskipun kita mempunyai hal yang sama". Jika kita sudah sama-sama tahu, kenapa bisa begitu ramai diperdebatkan soal nilai-nilai erotisme/pornoaksi/pornografi/seronok dan sebagainya? Makin diperdebatkan makin kabur esensi yang diperdebatkan. Jika mempertontonkan “kelaminnya” adalah bentuk tindakan tidak sopan. Pelajaran baik dari kaum nudis adalah telanjang menjadi norma kesopanan.
Para naturalis, yaitu kaum nudis (tidak memakai pakaian) adalah kaum yang sudah menyatukan diri bersama alam. Mereka telanjang di hadapan semesta. Pikiran mereka telanjang melihat semuanya. Mungkin, diri kita yang menyukai "tubuh orang lain" akan menyukai hal itu sebagai obyek tontonan. Hal itu dikarenakan pikiran kita belum bisa telanjang sama sekali. Jika seluruh dunia ditutupi namun jiwa kita tidak "telanjang" maka percuma saja, karena pasti kita akan main belakang, bersembunyi untuk menelusup mencari celah mana yang bisa "terbuka" di antara ketertutupan itu. Jika penutup tubuh (pakaian) adalah harkat manusia, maka pikiran (terbuka) adalah martabat manusia. Jika pembeda manusia dengan binatang adalah dari pakaian dan pikiran, maka tentu saja manusia yang berpikir dan berpakaian tak akan mudah jatuh ke dalam “godaan” pandangan menyesatkan. Iya, kita akan tersesat jika kita berpakaian rapat namun masih memikirkan tergerak syahwat. Iya, kita juga akan tersesat jika kita berpakaian minim namun masih berpikiran tertutup dengan mudah tersinggung atas datangnya godaan. Kedua jalan yang berbeda, namun tumpang tindih. Inilah yang ditakutkan oleh golongan moralis.
Jadi singkatnya begini saja: jika segala sesuatu yang bisa menggerakkan syahwat, anggap saja itu adalah hal PORNO. Sebaliknya, jika segala sesuatu itu yang dianggap porno, malah ternyata hanya menggerakkan perasaan saja, tak lebih dari itu, anggap saja itu adalah hal SENI. Porno dan seni, dua hal yang berbeda, meskipun subyeknya bisa sama. Jika pakaian berfungsi untuk menjaga pandangan, orang yang berpikiran syahwat tidak membutuhkan entah itu sopan (tertutup) dalam berpakaian atau pun tidak. Dunia tak cukup telanjang bagi orang-orang seperti itu.
Jika batas syahwat hanya ditentukan oleh wilayah yang disebut AURAT. Maka, yang terjadi adalah simbolisasi saja. Aurat ditutupi, tetapi syahwat diberi kebebasan untuk berimajinasi. Yang bisa terjadi adalah ketimun dan mic bisa dianggap porno. Istilahnya adalah asosiasi simbolik, membentuk pikiran untuk menyetarakan suatu benda dengan benda lain yang memiliki keindentikan bentuk. Jadi "alat vital" dan "organ tertutup" dengan imaji porno. Pepaya dua yang berdekatan pun bisa merujuk salah satu organ perempuan. Apakah ini disebabkan oleh seringnya mata melihat bentuk-bentuk organ yang ditutupi, sehingga pikiran terstimulasi? Atau memang manusia itu ingin bersenang-senang dengan imajinasinya?
Jadi jika kita masih dipermainkan oleh visual harian yang punya sifat identik terhadap "alat vital". Maka, saya jadi paham bahwa dimana pun kita tinggal maka kita akan terombang-ambing oleh "permainan syahwat" bukan belajar "mengolah rasa". Sebagus apapun tatanan perundangan yang mengatur tentang etika berpakaian, akan menjadi percuma jika pendekatan dan pendidikan olah rasa (seni) juga tidak digalakkan. Dunia itu indah, bahkan telanjang itu juga indah dan berseni. Namun, murninya seni itu akan rusak jika manusia juga tak memiliki pikiran jernih (baca: ngeres). Dengan begitu, saya maklum jika seni akan kembali ke ranah privasi, bukan publik. Seni yang jujur bahkan hanya dikonsumsi oleh sepasang-dua pasang orang saja. "Milikku adalah bukan milikmu. Tapi aku miliki apa yang kamu miliki dan kamu miliki apa yang aku miliki. Dan, kita berbagi atas apa yang sudah menjadi milik kita bersama. Karena Milikku milikmu. Milikmu milikku".
Esai dari Paris, 18 Agustus 2014
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H