Mohon tunggu...
Ari Dwi Kasiyanto
Ari Dwi Kasiyanto Mohon Tunggu... lainnya -

Explorasi Ide

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Menggugat Kematian

16 Agustus 2014   02:04 Diperbarui: 18 Juni 2015   03:26 100
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Menggugat Kematian

- Egaliter dihadapan Kematian, dengan atau tanpa penyakit

Vivre est une maladie... La mort est le remède. Hidup adalah penyakit... Kematian adalah obat. - Chamfort.Aku akan bereaksi "tak percaya" jika seandainya tiba-tiba aku diberi kabar bahwa aku akan segera mati karena penyakit. Meskipun, bab kematian, aku sudah diberitahu oleh seorang Imam Gazhali, dia bilang kematian adalah hal yang terdekat. Tapi, apa tahu Gazhali tentang kematian yang sebenarnya, yang benar-benar akan hadir segera. Mana bukti dan contoh yang sudah jelas-jelas terlihat melintas di depan mata setiap waktu. Bisa saja, Al Gazhali hanya bermain dengan falsafah pemikirannya saja. Tapi, "rasa mati" belum pernah dapat dijelaskan secara gamplang oleh Gazhali, tidak seperti vonis dokter setelah mendiagnosa penyakit yang mematikan. Kata dokter tersebut lebih dahsyat dari kata-kata Al Gazhali. Coba bedakan dua kalimat ini, dari dua persona yang berbeda, “Kamu akan mati dalam 3 tahun lagi”, kata Dokter dan “Kematian itu sesungguhnya sangatlah dekat”, kata Al Gazhali. Yang mana yang terasa lebih dekat aura kematian?

Vonis dokter merupakan falsafah kematian yang nyata rasanya, aku pun bisa berpikir ternyata malaikat Israil pun bisa berbusana dokter. Al Gazhali hanya menakut-nakuti saja, dengan kata-kata. Tidak lebih. Meskipun, aku bisa menangkap jelas sinyal pengertian Kematian ala sang Imam. Jika kalian memperbaiki nyawa spiritualmu, maka mereka perlahan akan mati. Lalu buat apa hidup raganya, tetapi mati jiwanya. Bagi sebagian orang, mati adalah mati. Pegating ruh saking Raga. Sebaliknya, kata Dokter seperti mengancam nadanya, bahwa kamu akan berpisah segera dengan ragamu. Tidak cepat atau lambat, tetapi sudah terlihat dari sekarang, yang umumnya memang indikatornya adalah harapan hidup yang digerogoti oleh penyakit.

Aku hanya bisa bergumam lirih bahwa "Hidup (benar-benar) seperti penyakit, (dan) kematian (bisa jadi) obat", seperti kata Pujangga Prancis abad 17, Sébastien-Roch Nicolas de Chamfort. Dalam puisi “sakit hatinya” ditinggal kekasihnya yang berjudul “À celle qui n'est plus”, (teruntuk yang tak lagi ada), dia menggambarkan bagaimana rasa kematian itu. Ke-putusasa-an adalah phase menyakiti diri, yang seperti otomatis mengetuk pintu “kematian”. Raga belum tercabut nyawanya, tetapi jiwa sudah menyerah untuk hidup. « La mort avec fureur déchire les tissus…, Lutte contre ses maux et dispute à la mort,… Tes yeux fixes, muets, où la mort était peinte. » Nicolas de Chamfort mampu menghadirkan sosok ‘kematian’ yang existe dalam kehidupan. Kematian bak selaput tipis yang mudah terkoyak rusak. Tak perlu menunggu vonis Dokter karena menghidap penyakit tertentu, untuk merasakan betapa kematian adalah dekat dan segera.

Hanya matilah yang bisa menyembuhkan kehidupan. Ketidakpercayaanku perlahan runtuh melihat tubuh ini hidup bak pesakitan, sakit yang dengan mudahnya menghardik untuk memegat ruh yang terkandung. Meskipun peneliti terhebat di dunia pun, belum pernah mempublikasikan apa sih yang menjadi pembunuh nomor satu manusia, apakah karena sakitnya atau hal lainnya? Aku masih menebak, manusia itu sendiri yang mencabut nyawanya sendiri.

Coba sandarkan saja pikiran tentang kematian, yang terlintas adalah hanya seperti waktu hidup seperti dibatasi. Seperti sebuah game video berjudul Street Fighters. Jagoan jalanan yang tak punya waktu banyak untuk memburu targetnya. Tersebutlah petarung bernama Chung Li, dia memiliki kesempatan tiga kali (baca : nyawa, atau waktu) untuk bisa mengalahkan musuhnya. Setiap kali bertanding, kalau bisa secepat mungkin dia menjatuhkan musuhnya, dengan tenaga dan jurus-jurus terbaik yang dia punya. Jangan sampai ada tindakan yang sia-sia, apalagi ceroboh, yang mengakibatkan dia kalah dan mati. Dalam waktu terbatas itu, kemenangan, berarti berumur panjang untuk bisa melanjutkan level dan musuh yang lebih hebat lagi. Sampai saat ini, Chung Li harus berusaha terbaik untuk mengisi waktu yang ada dan menjaga dirinya. Titik kematian, masih menjadi misteri, tetapi semangat terbaik dalam lini hidup harus tetap konsisten.

Hidup seperti berkejar-kejaran dengan waktu yang tak seberapa ini. Johann Wolfgang von Goethe dalam drama yang terdiri dari 6 episode ini diinspirasi dari Mitologi Yunani, yang dijuduli “Iphigénie de Tauris”, mendefinisikan hubungan waktu dan kematian seperti kalimat berikut "une vie inutile est une mort anticipée. Kehidupan tak berguna adalah (sinyal) kematian dini. Drama yang dipentaskan pertama kalinya pada tahun 1779 ini menceritakan tragedi manusia yang mencoba berunding dengan kematian. Niatnya adalah menghindari perang, yang berarti adalah menghentikan pembantai nyawa, yang menyia-nyiakan hidup bersama. Iphigénie merupakan perempuan dari Agamemnom (cucu dari Tantale yang dikutuk Dewa, bahwa anak turunya kelak akan saling bunuh, karena dosa kakeknya). Iphigénie dikorbankan kepada Dewa untuk menghentikan kutukan yang mengerikan tersebut. Iphigénie berkata « Rends-moi enfin aux miens; et toi qui m'as sauvée de la mort, sauve-moi de la vie que je traîne en ces lieux, qui est une seconde mort » Kembalikan apa yang menjadi milikku ; kamu yang telah menyelamatkanku, selamatkan aku dari kehidupan yang membawaku kepada kematian keduaku. Tragedi Iphigénie seperti menggambarkan bahwa kesalahan kakeknya si Tantale merupakan simbol kesia-siaan hidup yang berujung kepada kematian massal generasi selanjutnya.

Menjalani hidup penuh kesia-siaan adalah seperti membuang anugerah waktu yang diberi. Dan, itu sama saja sudah mengantisipasi kematian. Menurutku bahkan, dapat berarti sudah "mati" hidupnya. Setiap detiknya menjadi intan permata, tak boleh terbuang percuma. Bagi sebagian manusia yang memahami, hidup tidaklah mengejar untuk diburu, melainkan mengejar untuk bergegas.

Kredit Hidup, sebagai Semangat

Jika kata-kata Al-Ghazali dan Goethe masih jauh dimaknai bahwa kematian adalah hal yang paling nyata dan terasa. Maka makna kematian sebagai tujuan, aku mulai dari sini. Bahwa kehidupan masih dianggap rutinitas, itu kenapa dibutuhkan kehadiran sebuah sistem kredit. Kredit adalah etape "mati" yang terdekat dalam hidup. Rutinitas adalah pembunuh nomor satu kehidupan, perlu dikejutkan oleh keberadaan "kredit" yang bernyawa selalu terburu-buru, terkandung makna "ada batasan waktu". Siapa yang menginginkan kredit sepeda motor sebagai tujuan, maka manusia itu sudah "mati" untuk bersama dengan sepeda motor. Waktu hidup dikorbankan terbaik untuk konsentrasi terhadap "etape" menuju sepeda motor. Manusia yang melakukan kredit, tak layaknya sebagai manusia yang memahami makna "kematian itu dekat". Lihatlah, psikologis manusia yang memiliki kredit! Keterbatasan waktu, tujuan nyata dan tenaga yang dipunya, dalam sebuah keputusan yang diambil, maka manusia tersebut menginjakkan kakinya diantara asa dan putus asa. "Keputusasaan adalah kematian moral", kata François de La Rochefoucauld. Gagalnya memiliki tujuan (baca: mati) adalah keputusasaan. Bunuh saja segera hidupmu dengan memiliki tujuan. Demikian analogiku, tentang kematian. Kematian yang seharusnya mulai dipikirkan, bahkan saat baru saja lahir, entah paham atau tidak. Bahwa tahapan kelahiran, adalah awal kematian. Kematian adalah tujuan, tetapi entahlah, hal yang demikian selalu memang diabaikan.

Berteman dengan Kematian, adalah berteman dengan Kenyataan

Mungkin, Kehidupan itu bisa diandaikan seperti kelahiran yang mengisi tempat kosong yang ditinggalkan oleh kematian. Dan itu sama sekali bukan sekedar rutinitas hukum alam untuk membatasi jumlah makhluk hidup, agar tak over populated di bumi. Melainkan, usaha semesta "me-refresh" untuk melahirkan jiwa-jiwa yang lebih hidup lagi. Demikian seharusnya. Tak ada yang mati sebenarnya, kecuali hanya raganya saja. Lalu yang mana yang selalu hidup? yaitu yang berupa ide dan karya. Semesta tak memerlukan manusia. Semesta hanya butuh terjaga jiwa ide-idenya yang kebetulan dilahirkan melalui manusia. Kematian hanya Jiwa yang begitu saja mematikan raganya saat mendengar vonis kematian. Tetapi sebaliknya, jiwa yang hidup adalah jiwa yang tak akan pernah membunuh raganya meskipun kematian dekat menggerogotinya. Adakah yang tahu tentang datangnya kematian, selain jiwa itu sendiri? Apakah penyakit mampu membunuh jiwa itu? Ataukah jiwa itu sendiri, yang sudah menyerah untuk mati sebelum kematian sebenarnya. Jika hidup adalah tak nyata, maka kematian itu adalah kenyataan. Semua jiwa manusia yang hidup belum tentulah hidup, tetapi sebaliknya kematian, dia pasti untuk jiwa yang entah hidup atau tak hidup itu.

Sinta, Sang Hidup

Jika kalian ingat kisah Ramayana, ada tokoh bernama Sinta yang tak pernah mati oleh api atau pun kurungan badan. tetapi ironisnya dia mati dalam pengasingan, dijauhkan dari keinginan bersama dengan yang "dicinta", menetap dalam hutan yang benar-benar "sepi". Manusia akan "mati" saat dia, yang mempunyai tekad dan tenaga, tetapi "dilarang" untuk menjadi berguna bagi sesama, lingkungan, semesta dan atau keluarganya. Manusia benar-benar tak berharga, saat hanya menjadi dirinya sendiri, tanpa pengabdian kepada sosial, selain dirinya sendiri. Begitulah Sinta Ridwan, Sang Hidup yang selalu menggeliat untuk memberi hidup. Bukan karena vonis, bukan karena "pengetahuannya" bahwa dia akan mati. Tetapi, semua orang tahu bahwa semua akan mati pula. Apa yang membedakan? selain semangat dan penolakan untuk tidak menyia-nyiakan apapun. Berteman dengan kematian tak lebih sebagai penguat bahwa kematian adalah teman, yang kelak menjadi karib, akrab tanpa ada basa-basi dengannya. Berteman dengan kematian, adalah menjadi telajang, polos dan melebur dalam pengakuan ketidakakuan serta ketidakberdayaan selain aku. Jika kematian adalah teman, maka tak ada kesedihan dalam perpisahan, dalam megatruh dengan fisiknya, karena aku percaya bahwa kematian itu sendiri adalah kebahagiaan yang entah tak tahu apa itu definisi umumnya.

(Paris, 23 Juni 2014 – ADK)

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun