Mohon tunggu...
Ari Dwi Kasiyanto
Ari Dwi Kasiyanto Mohon Tunggu... lainnya -

Explorasi Ide

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Menelisik, Bagaimana Tokoh Politik Indonesia Bisa Leda-lede

23 Mei 2014   00:18 Diperbarui: 23 Juni 2015   22:13 128
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Dunia Politik itu bukan Dunia Persona, Tapi Dunia Personalita

Akhir-akhir ini, saya tergelitik oleh berita manuver Amien Rais. Sehingga pagi ini, saya sempatkan untuk menuliskan "sekilas" pikiran saya tentang personalita dunia politik Indonesia. Amien Rais, hanyalah contoh persona yang saya ambil contoh saja, karena kebetulan secara à priori, saya sedikit mengenal sepak terjang beliau dari masa ke masa, sebagai politikus penting dalam periode reformasi. Tak perlu saya kemukakan bagaimana kronologi beliau. Selanjutnya, saya juga akan berpendapat pendek soal Gunawan Mohamad sebagai budayawan dan pendiri media Tempo. Politik Indonesia belum memasuki dunia persona, melainkan masih berkutat kepada personalita saja. Apa yang membedakan? Berikut uraian singkat saya.

Keberadaan tokoh bernama Amien Rais di belakang pencalonan Prabowo-Hatta, sudah memperlihatkan bagaimana menjelaskan peribahasa "isuk dele, sore tempe" (pagi masih berupa kedelai, selepas sore sudah menjadi tempe). Dari istilah bahasa ibu saya, dapat dimaknai bahwa ada tranformasi bentuk dari kedelai biji berubah menjadi kedelai biji yang berjamur (tempe). Isinya masih kedelai, tetapi wujudnya sudah berubah menjadi bentuk lain yaitu tempe. Perubahan sikap dari seorang tokoh yang dulu berada dalam satu kutub, lalu hari ini menyeberang ke kutub yang berseberangan itu kalau terjadi kepada manusia namanya "tranformasi kepentingan", bukan "tranformasi fisik". Wujudnya masih Amien Rais tetapi idenya sudah bukan Amien Rais lagi. Bagaimana bisa terjadi? Saya lanjutkan dengan persona atau tokoh lainnya terlebih dahulu.

Sekarang saya mengambil contoh persona yang bernama Gunawan Mohamad. Dia bukan tokoh yang populer di masyarakat umum. Beliau dikenal sebagai budayawan. Dukungannya, kepada pasangan Jokowi-JK mengingatkan saya kepada peribahasa, yang saya tak tahu berasal dari mana. Namun peribahasa ini sangat lazim digunakan dalam dunia militer dan perpolitikan. "Jika hendak mengalahkan musuhmu, jangan kalahkan dengan tanganmu. Tetapi, temukan lawan musuhmu, bersatulah dengannya, untuk mengalahkan musuhmu. Jika bisa biarkan kawanmu yang membunuh musuhmu". Gunawan Mohamad yang terkenal sebagai pejuang HAM dan Kesetaraan Gender, merasa paling anti dengan gaya militerisme arogan macam di Indonesia. Majunya Prabowo menjadi capres, sudah pasti tidak membuatnya tidur nyenyak. Agenda penjegalan agar Prabowo tidak naik harus disusun. Lalu, melompatlah dia, untuk mendukung Jokowi-JK. Tapi apakah dengan begitu GM menyetujui semua visi-misi dari JOkowi-JK? Belum tentu, yang terpenting GM sudah pasang badan, "asal bukan Prabowo (eks militer, pelanggar HAM). Dia berharap agar Jokowi-JK mampu "membunuh" sepak terjang Prabowo. Perubahan sikap dari seorang tokoh yang dulu berada dalam satu kutub, lalu hari ini menyeberang ke kutub yang berbeda, karena tokoh tersebut merasa mempunyai "lawan" yang sama. Persamaan musuh. Perilaku tersebut jika mengindap kepada manusia namanya "tranformasi kepentingan" bukan "tranformasi fisik".

Kepentingan tidak sama dengan ide

Sebenarnya, saya ingin memilih kata "tranformasi ide" untuk mengurai dua fenomena di atas. tetapi, sepertinya di Indonesia, iklim politik di sini, masih dalam tahap pertarungan kepentingan, belum mencapi level atas, yaitu pertarungan ide, atau ideologi. Itu kenapa parpol di Indonesia bisa korup, padahal mereka berbendera idelogi semacam agamis, moralis, nasionalis, demokratis, liberalis, dsb. Ini menunjukkan adu kepentingan golongan, bukan adu dalam dialektika ide yang diusung. Ideologi seharusnya merupakan pondasi penggerak ke arah yang ditentukan. Jika agamis, maka konsisten berjalan di jalur moral, dengan atau tanpa suara dari pemilih. Tetap keukeuh untuk berdiri di atas ideologi itu. Ide apa yang bisa menggabungkan antara ideologi moral dengan kubu liberal? jika bukan karena kesamaan kepentingan. Pola-pola parpol seperti ini yang saya sebut sebagai pertarungan kepentingan, bukan ideologi. Permainan politik level cemen.

Perilaku ini merupakan "alamat" buruk bagi perkembangan perpolitikan di Indonesia. Perilaku para tokoh leader di top hirarki menunjukkan belum cerdasnya bermain politik. Politik belum dimaknai sebagai pertarungan ideologi antar kelompok untuk menemukan solusi bagi setiap masalah bangsa. Politik di sini masih vulgar terlihat adalah pertarungan kepentingan. Karena itu, persona/orang/tokoh yang main juga adalah tokoh plastik, atau palsu sebagai personalita. Mereka belum menunjukkan karakter dan sikap, untuk menempatkan diri dimana dalam perjuangan ideologi untuk negeri ini.

Politik Plastik

Saya membayangkan dunia politik itu seperti sebuah ruangan, sebut saja seperti round table dimana kursi-kursi itu mengitari satu meja itu. Anggap saja, meja itu dikitari oleh 7 kursi, masing-masing kursi merupakan representasi dari karakter/sikap/personalita dari seorang tokoh/persona. Maka saya pun membagi secara cepat dan mudah bahwa dunia politik di Indonesia, itu adalah kumpulan para oportunis, megalomania, innocent, hipokrit, naif, "boneka" dan grupis. Dimana mereka duduk di kursi tersebut untuk merebutkan kekuasaan, yang didahului oleh koalisi kepentingan. Tidak ada pertarungan ide di forum ini. Sehingga, komposisi koalisi menyesuaikan kepentingan, hari ini si naif dengan innocent bersatu. Besok si Innocent berubah haluan bersatu dengan oportunis. Perilaku tersebut sama sekali tidak dikendalikan oleh apa yang disebut persona : wadah berwujud manusia yang dibekali oleh spiritual, intelektual dan emosional.

Personalita itu permanen duduk di kursi tersebut, sedangkan persona/tokoh itu muncul silih berganti, bersaingan merebut satu tempat. Ini seperti seleksi alam dunia perpolitikan Indonesia. Formasi round table yang terdiri dari personalita tersebut, suatu saat akan runtuh jika terjadi revolusi sosial. Komposisinya bisa jadi berubah dengan kursi-kursi yang bernama ideologi. Terjadi pertarungan ide, bukan kepentingan. Oleh karena itu, tak heran, jika muncul nama Jokowi, Prabowo, Hatta Rajasa, Amien Rais, Megawati, Anis Baswedan, JK, dsb. Mungkin Jokowi sekarang duduk di kursi bernama oportunis, Amien Rais duduk di hipokrit. Anies Baswedan di innocent, dst. Dan kelak, "kocokan" itu pun berubah, bisa jadi Prabowo duduk di kursi naif, sedangkan Hatta Rajasa menempatkan dirinya sebagai "boneka". Entahlah, ini hanya kalkulasi sistemastika dari saya, hanya untuk mengurai fenomena yang terjadi di perpolitikan Indonesia. Namun, saya tak mau hanya melihat personalita yang berwujud sebagai Jokowi, Prabowo, Hatta Rajasa, Amien Rais, Megawati, Anis Baswedan, JK, dsb. Tahu maksud saya? karena menurut saya masih banyak, bahkan banyak tokoh lainnya yang konsisten dalam ketidak-konsistennya. Dan mereka bersiap menggantikan mereka-mereka yang berada di atas. Demikianlah pikiran saya untuk negeri ini.

La Muette, Paris.

12:01 22/05/2014

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun