Secuil Pemikiran Saint-Simeone Dalam Diri Jokowi (1)
Saya memperhatikan Jokowi suka dengan diksi santun, ramah, gotong-royong dan kerja keras dalam setiap "pikiran" yang disampaikan secara pribadi kepada kanal publik. Formula kata tersebut lalu dirumuskan dalam frasa ‪#‎RevolusiMental‬ sebagai kampanye perubahan dari dalam diri tiap individu dalam kaitannnya untuk berkontribusi kepada masyarakat (society). Tatanan model sosial yang apik dilandasi oleh karakter individu yang unggul, dengan satu tujuan yaitu mengubah pola pikir masyarakat menuju perubahan dasar society. Dalam pidato pertama di hadapan Rakyat, Jokowi bahkan menekankan semangat gotong royong dan kerja keras dalam sebuah persatuan (kebersamaan). Menyebutkan setiap lini elemen masyarakat yang eksis, menginginkan semua bersatu demi kemajuan Indonesia. Dia mengajak semua unit pelayanan publik untuk bekerja sesuai kompetensi dalam mengelola negara, demi kemakmuran bersama.
Tak salah jika slogannya adalah Re-evolusi Mentalitas ala Jokowi disamakan dengan semangat utopis para sosialis tahun 1825 oleh Saint-Simeone di Prancis. Saint-Simeone, seorang moralis utopis dari kalangan Borjuis yang berhasil menciptakan gelombang "revolusi kelas bawah" melawan sindikat patronage. Saint-Simeonisme merupakan peletak pemikiran dasar dalam tatanan industri Prancis. Paska kematiannya (1825) yang disebut periode utopia, para murid mulai menyebar dalam setiap lini masyarakat untuk mengubah tatanan sosial-masyarakat. Mereka aktif menyuarakan aspek moralitas dalam setiap gerakan. Menurut Saint-Simeone negara mengendalikan sektor produksi tetapi tidak menguasai. Negara mendistribusikan manusia kompeten untuk mengelola dan mengatur sistem sosial yang dinamis. Senantiasa memperhatikan dan mempertimbangkan kondisi masyarakat yang terjadi.
Penyakit masyarakat seperti intoleransi, egoisme, kelompok rezim lama yang sering mendapatkan hak istimewa, ketidaksetaraan, ketidakadilan, obskurantisme dan feodalisme akan selalu mengganggu distribusi kekayaan bagi hak masing-masing warga negara. Mengganggu neraca kekayaan yang dapat mengalir sebanyak-banyaknya ke kalangan atas. Saint-Simeone mengajak setiap individu mengambil tanggungjawab dan memiliki moral dalam pengelolaan negara. Sistem sosial Saint-Simeone menitikberatkan prinsip keseteraan dengan semua kelompok sosial.
Bagi sebagian pengkritik, wajar jika Jokowi dianggap utopis dalam sistem sosial yang ambigu. Namun, Saint-Simeone juga pernah mendapatkan cibiran seperti itu. Sebagai seorang filsuf, scientis, teolog dsb. Prinsipnya sama "bekerja, bekerja dan bekerja". Berkontribusi kepada tatanan masyarakat dengan mengambil tanggungjawab sebagai pemikir dan ilmuwan. Saint-Simeone adalah salah satu peletak dasar-dasar "Kebebasan, Persaudaraan dan Perdamaian. Sebuah dasar Sosialis di Prancis. Seorang sosialis adalah reformis, mendahulukan kepentingan umum, menjujung dialog sosial dan menyukai perdamaian.
Dari Periode Utopis Saint-Simeon ke Periode Pasifis Jaurés (2)
« Le socialisme désigne explicitement le fait de poser en principe — et de prendre parti pour — la société : soit l'opposé de l'individualisme. » - Pierre Leroux.
Dari sebuah film yang berjudul "La Naissance du Geant (Kelahiran Seorang Raksasa)" dikisahkan bagaimana seorang pemimpin itu lahir. Saat Jokowi terpilih menjadi presiden, dia berkata "ini kecelakaan". Kata kecelakaan seperti menggambarkan sesuatu yang tidak diinginkan sama sekali. Dari tulisan pendek ini, saya hendak menceritakan seorang pemimpin yang lahir dari kecelakaan juga. Dia adalah Jean Jaurés, tokoh pendiri Partai Sosialis di Prancis pada tahun 1908. Jean Jaurés sendiri dikenal sebagai seorang guru dan wartawan, sebelum menjadi seorang wakil rakyat di pemerintah lokal. Doktrin sosial Jaurésien berhasil meletakan sistem sosial yang reformatif di masa pemerintahan François Mitterand pada tahun 1981.Tentu saja Jean Jaurés terpengaruh oleh doktrin sosial Saint-Simeone, Hegel dan model sosial-industri Karl Marx.
Kepercayaan tidak memandang asal. Jean Jaurés sendiri mengakui berasal dari golongan borjuis. Dia tumbuh menjadi pemimpin bukan karena dia kaya, melainkan dia konsen memperhatikan kepentingan umum dibanding para politikus borjuis lainnya. Seperti halnya Jokowi, politikus seperti dia dianggap politikus-opportunis. Berada pada waktu dan situasi yang tepat. Dia jatuh kepada konflik sosial yang tepat, yang menyeretnya secara alami kepada percaturan perpolitikan nasional. Inisiatif yang kuat berhasil mendapatkan kepercayaan dari masyarakat yang tentu saja berbeda dari dirinya. Dia dapat diterima siapapun karena sifatnya memang "pasifis (tenang/damai)".Selain, keduanya memang berkarakter kuat.
Semenjak revolusi Prancis 1789, rakyat sangat alergi dengan golongan borjuis. Pun, sebaliknya golongan borjuis sangat "takut" revolusi kembali terjadi, yang dapat membuat nasib mereka bisa berakhir di Guillontine (alat penggal kepala). Kerusuhan mudah terjadi jika dialog sosial berakhir buntu antara patron dan buruh. Masyarakat lapisan bawah menyebutnya revolusi yang tak pernah berakhir, jika ketidakadilan sosial masih jadi permainan kalangan elit-patronage. Pun, hal yang sama, bagaimana rakyat Indonesia dalam pemilu edisi 2014, mampu bergerak memberikan suara agar rezim lama yang sudah memborok tidak kembali berkuasa. Satu-satunya cara untuk mengamputasi kekuasaan rezim penuh borok adalah dengan menempatkan salah satu wakil rakyatnya, untuk memperjuangankan dalam konstitusi. Jika tidak mampu secara kelompok, maka usahakan menjadi kepala pemerintahan.
Pada tahun 1892 di kota bernama Castres, tak jauh dari Toulouse, terjadilah pemogokan masal buruh tambang di desa Carmaux. Saat itu, konstelasi politik dalam negeri Prancis memanas paska kerusuhan la Commune 1871 di Paris. Pemberontakan kelas bawah tersebut menuntut keadilan, dimana situasi pada saat itu para kelas buruh mengalami kelaparan bahkan sampai menyerbu kebun binatang untuk memakan mereka. Kemarahan kelas bawah terhadap kalangan elit terjadi, sampai-sampai mereka membakar Hotel de Ville de Paris (Kantor Walikota Paris) yang menyimpan surat-surat keistimewaan dan kekayaan kalangan atas. Atas tragedi berdarah tersebut pula, banyak orang-orang kaya yang meninggalkan Paris, membiarkan kosong rumah, apartemen dan sebagian kastilnya. Untuk melihat situasi sulit pada saat itu, saya merekomendasikan untuk melihat film Germinal karya Emile Zola dan Les Miserables karya Victor Hugo yang apik memotret "panasnya" revolusi saat itu. Situasi Indonesia masih lebih baik, meskipun urgensi revolusi juga sama besarnya, untuk memotong hak privilege kaum oligarki. Indonesia tak perlu sampai "berdarah dan berlapar" agar rakyat merebut kembali kekuasaan. Hanya perlu menempatkan perwakilan yang dipercaya, solid dan berkarakter.