"Cobalah! Jika tidak (dicoba), (maka) doa-doa (yang kau panjatkan) tidak (membutuhkan) pengorbanan". - Wanda Gruz
#FilmIda
Religius vs Liberalis
Wanda Gruz adalah satu-satunya keluarga yang dimiliki oleh Ida Lebenstein. Dia seorang hakim republik Polandia, perempuan setengah baya yang memutuskan hidup sendiri. Sedangkan Ida adalah seorang biarawati di panti asuhan gereja Katolik. Mereka dipertemukan pada saat Ida cukup umur untuk mencari sejarah dan asal-usul keluarganya. Ida adalah anak yatim piatu Yahudi yang keluarganya dibantai oleh penganut antisemit pasca politik Nazi. Satu-satunya jejak adalah keberadaan tantenya, yakni Wanda. Maka pergilah Ida menemui Wanda untuk mencari tahu dimana kuburan orang tuanya. Begitu baru masuk appartemen Wanda, Ida disuguhi oleh pemandangan “kumpul kebo”, rokok dan alkohol. “Apa yang mereka ceritakan tentang profesiku?" tanya Wanda kepada keponakannya. "Tidak ada" jawab Ida. Ida adalah peran yang sangat sedikit sekali dialognya. Perannya sangat kuat dalam mimik muka, didukung oleh wajahnya yang sangat “cool”. Wanda seperti berakting sendirian, dan baginya Ida seperti sebuah cermin atas refleksi gaya hidup dan kelakukaan Wanda yang jauh dari “Tuhan”. Seorang yang sudah menyadari bahwa kehidupannya menyimpang secara norma agama, dan sekarang dihadapkan oleh contoh religius “sejati” yang dibawa oleh keponakannya, yaitu Ida. Pertemuan dua “kutub” kejiwaan yang berbeda ini seperti tarik menarik “ideologi” spiritual antara satu dengan lainnya. Bahkan saat mereka berselisih paham, Wanda berteriak “Ya, kamu adalah Santo dan aku adalah pendosa (pelacur). Wanda secara tidak sadar mengakui kekalahan agitasi dari “kesucian” seorang Ida. Jiwanya melompat setiap kali dia merasa bahwa yang dilakukannya adalah “tidak baik” dari versi agama.
Setiap Ideologis Memiliki Cara Sendiri
Dalam adegan selanjutnya, Wanda memtuskan untuk menemani Ida mencari lokasi kuburan orang tuanya. Mereka berdua berkendara mobil menuju sebuah desa, tempat tinggal orang tua Ida dulu masih hidup. Wanda yang urakan dan spontan, selalu melakukan sesuatu dengan yang kasar dan tidak sopan. (Tapi, semua orang akan menyimpulkan bahwa, tujuan baik, tak perlu basa-basi,dan mencoba memberikan tekanan, agar orang mau berkompromi. Semacam metodis orang-orang militer). Ida beberapa kali, kurang setuju dengan cara Tantenya, tetapi dia masih menghormati dan toleransi. Kesopanan seseorang hanya membuat mereka dibuat permainan. Manusia satu dengan yang lainnya, memiliki kepentingan atas nama kekuasaan dari apa yang dimiliki. Wanda sangat kecewa, saat diminta menunggu dan datang kembali pukul 4 sore, hanya untuk bertemu dan meminta informasi dari pemilik rumah. Pada saat Wanda menyelonong pergi merasa “dipermainkan” oleh istri pemilik rumah tersebut, pemilik rumah tersebut tiba-tiba minta kepada Ida untuk memberkati anaknya. Ada semacam kebaikan yang harus konsisten ditunjukkan meskipun dikecewakan. Pada akhirnya, pemilik rumah tersebut mengakui bahwa dialah yang membunuh orangtua Ida. Siapa yang berhasil membuatnya mengaku? adalah sosok Ida, yang pendiam, religius, dan pemaaf. Orang tersebut berkenan menunjukkan kuburan ortunya, asal dia dan ayahnya diampuni atas kesalahannya. Orang yang pernah jahat itu menyesal dan menangis di dalam liang lahat, saat membongkar tulang belulang.
Apa itu Cinta?
Suatu waktu dalam perjalanan, mereka berdua memberi tumpangan kepada anak muda pemain saxophone yang harus datang ke kota tersebut dalam perayaan ulangtahun suatu hotel. Mereka berdua akhirnya menginap di hotel tempat pemain Saxophone tersebut akan bermain. Sebelum bertemu dengan lelaki tampan itu, Wanda suatu kali memuji kecantikan Ida, dengan mengatakan “kamu cantik, ditambah lesung pipitmu, pasti banyak laki-laki yang akan jatuh hati kepadamu”. Ida bereaksi dengan tersenyum malu. Dan kecantikan biarawati yang mengenakan kerudung penutup rambut ini semakin diuji oleh pemain band tersebut. Pemain saxophone itu dirasa cukup tampan untuk dikencani menurut Tante Wanda. Namun Ida tetap tak bergeming. Pada suatu malam pesta perayaan ulangtahun Hotel, Wanda mengajak Ida untuk “berpesta” di lantai dansa. Sekali lagi Ida tak bergeming dan lebih suka di dalam kamar saja. Sampai akhirnya Wanda jengah dan berseloroh “Cobalah, jika tidak, doa-doa tidak membutuhkan pengorbanan”. Setiap ujian manusia adalah berpusat dari diri sendiri, manusi mendapat agitasi dari luar, prinsip dan sikaplah yang membentengi manusia itu untuk melompat agar melanggar sikap. Situasi juga akan memberi bumbu seberapa kuat prinsip itu ada. Pada saat Wanda teler masuk ke kamar dengan penuh keributan, dan membangunkan Ida. Akhirnya Ida keluar ruangan tak bisa tidur, turun ke bawah, untuk melihat pesta yang sudah usai. Dia berdiri bersandar kepada tiang, sambil menimati alunan lagu yang berjudul naima, yang dibawakan oleh saxophone tampan tersebut. Ida terhipnotis dengan situasi itu, lagu tersebut mampu membuatnya nyaman. Bahkan dia menyempatkan diri untuk berbincang dengan pemain saxophone tersebut. “Aku sangat suka sekali lagu itu. Suka sekali”. Ida jatuh cinta. Entah dengan siapa, lagunya atau pemain musiknya. Apakah ini awal atau akhir tentang sebuah Cinta?
Eksperimen Ida
Setelah menemukan kuburan orangtuanya dan menguburkan kembali tulang-belulang di makam yang lebih layak. Wanda akhirnya mengantarkan Ida kembali ke institusi Katolik, dimana selama ini Ida dirawat, dididik, dan hidup. Sebuah perpisahan yang biasa-biasa saja, Wanda merasakan kekakuan, tak banyak biacara seperti biasanya. Mereka berdua kembali kehidupan masing-masing. Ida kadang kala, tiba-tiba tersenyum pada saat keheningan makan bersama dengan para biarawati senior. Kadang kadang dia memperhatikan siluet tubuh erotis teman-temannya yang sedang mandi. Pikiran ini sedang merespon dari pengetahuan yang diperolehnya selama perjalanan tersebut. Sebuah pemberontakan dan pikiran ngeres mulai tumbuh. Tetapi bukan Ida jika tidak bisa mengendalikannya. Di sisi lain Wanda, semakin absurd hidupnya. Kosong. Tiap hari yang dilaluinya makin hambar. Sampai pada suatu hari, dengan memainkan Bach, Wanda memutuskan untuk melompat dari jendela. Bunuh diri. Sebuah akhir yang melankoli. Mendengar kabar tersebut, Ida kembali ke kota, mengunjungi kembali appartemen Tantenya. Dalam adegan tanpa dialog tersebut, Ida ditontonkan sedang “mencoba” memasuki seperti apa kehidupan Tantenya, Wanda. Ida membersihkan appartemennya, memainkan musik klasik Bach, melepas kerudungnya, memakai pakaian Wanda yng pernah dikenakan di sebuah pesta, memakai sepatu hak tinggi. Ida pun mencoba merokok dan meminum alkohool sampai mabuk. Semua dilakukan di appartemen itu sendirian. Alur semakin tak terduga, pada saat Ida tak memakai pakaian biarawati, datang duduk manis, menonton lelaki tampan pemain saxophone. Pada titik ini, Ida akhirnya juga merasakan “bercinta” dengan lelaki tersebut seperti Wanda yng sering lakukan. Selepas bercinta mereka berdua berbincang, lelaki itu mengajak Ida untuk ikut dengannya. Dia berkata “ikutlah, ada pantai indah, bermain musik dari kota ke kota, lalu kita menikah, memiliki anak, membeli rumah dan kelak akan memiliki masalah seperti semua orang punya”. Dalam setiap fase kehidupan yang ditawarkan oleh lelaki itu, diselingi oleh pertanyaan Ida kepada lelaki itu, dengan pertanyaan”lalu?”. Dari pantai, lalu? Dari kota ke kota, lalu? Menikah, lalu?, punya anak, lalu? beli rumah, lalu, akan punya masalah seperti semua orang. Paweł Pawlikowski, sang sutradara sangat cerdas sekali menyederhanakan yang paling ortodox yakni pernikahan dan tujuan hidup. Saat lelaki itu tertidur pulas, Ida meninggalkannya untuk kembali ke pondoknya asalnya. Setidaknya Ida sudah mencoba agar doa-doanya penuh dengan pengorbanan kepada Tuhannya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H