Kota Surabaya kembali menyita perhatian dunia. Kali ini, dalam gelaran OECD Week 2015 di Paris, ibu Risma mempresentasikan keberhasilan Tranformasi Surabaya menjadi kota yang lebih bersih dan hijau dari sebelumnya. Beliau menjadi speaker dalam Forum OECD The Urban Age yang membahas tentang Smart Cities, berdampingan dengan Walikota Rotterdam dan Praha. Surabaya semakin menjadi istimewa, karena ibu Risma diundang menjadi pembicara tunggal dalam sesi Talk to Together, dimana landscape Surabaya di-review oleh Henk Ovink, konsultan ahli tata kota asal Belanda. Diantara, kota Rotterdam dan Praga, tranformasi Surabaya oleh ibu Risma dianggap paling menarik untuk dikupas, karena begitu peliknya permasalahan masalah metropolitan.
OECD merupakan agensi think-tank negara maju untuk melakukan pendampingan ekonomi kepada negara yang dianggap berkembang, salah satunya Indonesia. Setiap tahunnya, OECD mengadakan pertemuan tingkat tinggi (dilevelnya) untuk berdiskusi mengenai isu mutakhir, perubahan iklim misalnya. Belanda dan Rep. Ceko merupakan negara tuan rumah dalam OECD Week tersebut bersama Korea Selatan. Keempat negara host tersebut memamerkan pencapaian sebagai sebuah model kota (dalam skup tertentu, misalnya : pertaniannya, teknologinya dsb). Pertemuan tersebut, dihadiri oleh pejabat dari kementerian keuangan dan ekonomi.
Surabaya berhasil terpilih, sebagai model kota yang berhasil dengan cepat dan efektif melakukan tranformasi kota. OECD menjadi panggung bagi Indonesia, untuk dijadikan teladan, bahwa solusi itu ada di sana. Permasalahan tidak selalu diselesaikan dengan "investasi" dan anomali selalu muncul dalam tatanan yang dianggap sudah "parah" rusaknya, seperti situasi sosbud Indonesia pada saat ini. Dunia hendak belajar dari Surabaya, bukan semata Surabaya Saat Ini, tetapi juga komitmen Surabaya di masa depan, apakah mampu istiqomah untuk memperbaiki diri dan berbenah selalu.
Saat ini, kota telah mengendalikan 80% output ekonomi nasional serta menghabiskan 70% energi secara keseluruhan. 54% populasi dunia saat ini, tinggal di kota dan diperkirakan meningkat menjadi 70% pada tahun 2050. Kota menjadi tumpuan ekonomi, sekaligus beban sosial dan ekologi pada saat yang bersamaan. Polusi, pengangguran, kemiskinan, pendidikan dan diskriminasi. Perencanan tata kota menjadi hal yang fundamental, agar semuanya lebih menyatu dan terhubung dengan lebih baik (Better-Connected). Inilah yang disebut sebagai Smart Cities. Kota cerdas akan memberikan dampak positif terhadap kerukunan masyarakat, berdikari, bersih, aman dan nyaman. Pada kesempatan tersebut, OECD mengundang tiga walikota (Surabaya, Rotterdam dan Praha) untuk membagikan pengalaman dalam pengelolaan kota. Forum ini akan menjadi refleksi bersama bagaimana sebuah kota melakukan pendekatan koordinasi dan melibatkan aktor masyarakat lokal, regional, nasional dan internasional dalam pembangunan kota.
Beberapa pertanyaan diajukan: (1) bagaimana pemerintah kota bekerja secara efektif untuk melaksanakan program-program dalam mengatasi perubahan iklim? Secara global, krisis gas efek rumah kaca mampu mempengaruhi semua sektor, sehingga dibutuhkan kebijakan Better-Connected sebagai protokol dalam menyusun kebijakan yang berpihak kepada lingkungan hidup, (2) apa yang harus dilakukan untuk mengentaskan kemiskinan dan menyatukan kelompok imigran serta etnis minoritas? Kota selain menciptakan oppotunity juga menghasilkan permasalahan ekonomi-sosial. Smart Cities kadang juga memberikan dampak negatif terhadap penyerapan tenaga kerja.
Ahmed Aboutaleb, walikota Rotterdam Belanda beragama muslim, sebelum berpidato, dia mengucapkan assalamulaikum kepada ibu Risma. Dalam pidato pembukaan selama 8 menit tersebut, diungkapkan bahwa masalah utama kota adalah ketersediaan pangan. Mayoritas penduduk dunia hidup di kota yang tidak dapat memproduksi pangan sendiri, namun di sisi yang lain mereka memproduksi sampah dengan jumlah yang lebih besar. Pangan dan sampah, menjadi tantangan tersendiri bagi Rotterdam. Kota harus mandiri dalam memenuhi kebutuhan penduduknya sendiri, baik pangan maupun engerginya. Adanya keseimbangan dalam produksi dan konsumsi. Sampah harus memiliki nilai ekonomis dalam menjadikan kota ramah lingkungan dan berkelanjutan. Ahmed Aboutaleb sempat menyinggung tentang revolusi industri yang bakal terjadi di masa mendatang, berkat temuan inovasi teknologi. Kelak, tak perlu perusahaan Belanda membuka pabrik di Turki, hanya untuk menekan ongkos produksi. Produk lokal, sebaiknya diproduksi oleh lokal juga, dengan begitu mampu membantu dalam penciptaan lapangan pekerjaan. Meskipun, hal itu tidak mudah karena terkait dengan nilai jual dan daya saing. Ahmed Aboutaleb merupakan imigran berasal dari Maroko yang datang ke Belanda, sebagai pelajar dan bekerja dalam dunia jurnalistik. Dia mengatakan bahwa kota diwajibkan untuk melayani dan memberikan kesempatan tanpa diskrimisasi bagi setiap penduduk. Dia sempat menoleh ke Adriana Krnácová, walikota Praga yang juga merupakan imigran di Republik Ceko.
Kota menjadi lebih penting dibanding sebuah negara, tumpuan utama pelayanan masyarakat. Walikota Praha, Adriana Krnácová mengatakan bahwa kota cerdas merupakan kota berteknologi dalam upaya pelayanan masyarakat. Adriana Krnácová merasa puas dengan semakin bermunculan pemimpin perempuan yang duduk di level pengambil keputusan. Ahmed Aboutaleb sempat memberikan selamat kepada dua pemimpin perempuan yang membawa perubahan Walikota Surabaya Rismaharini sudah menerapkan e-procurement system sejak 2003. Rismaharini menjelaskan sistem berbasis teknologi tersebut dibuat dan dikelola oleh masyarakat lokal sendiri. Beliau mengakui bahwa APBD Surabaya tidak cukup untuk mendanai tanpa bantuan bapak angkat dari masyarakat lokal sendiri. Google pernah mendekati pemerintah Surabaya untuk melakukan investasi teknologi, namun Ibu Risma lebih menyukai gerakan dari bawah, yang mengerjakan proyek tersebut secara swadaya. Beberapa tokoh sukses di bidang IT, diundang untuk "mengasuh" anak-anak muda. Dari sana lah berkembang teknologi berbasis masyarakat.
Ibu Rismaharini menjelaskan bahwa nilai-nilai gotong royong merupakan landasan dalam keberhasilannya membawa Surabaya dari kota kotor dan panas menjadi kota hijau dan bersih. Di hadapan panelis, Women Leader Award 2012 tersebut mengungkapkan bahwa Surabaya tidak mampu membayar biaya konsultasi dengan pihak swasta untuk mengerjakan proyek. Namun, beliau memberikan proyek tersebut kepada masyarakat untuk dikerjakan bersama-sama. Sistem pengelolaan sampah, kelompok penjaga kebersihan dan kampung hijau, memberikan kesempatan masyarakat untuk berperan aktif menciptakan lingkungan bersih dan sehat, dari, oleh dan untuk mereka sendiri. Bahkan saat ditanya tentang, ide tata kelola, Ibu Risma menjawab "saya sendiri yang mendesain, lalu diterjemahkan secara teknis oleh tim proyek". Begitu cepat keputusan dibuat, jika dibandingkan oleh tahapan "birokrasi" prosedural yang ada di Eropa. Saat ini Surabaya terlihat cantik, hijau dan sehat. Rismaharini banyak membuat taman dan ruang hijau, makam dijadikan daerah resapan, sehingga perlahan bencana banjir menjadi berkurang dan suhu udara turun 2°. Surabaya perlahan menjadi sosok yang diimpikan, menjadi rumah bagi seluruh masyarakat. Namun, itu belum selesai, tantangan pembangunan adalah konsistensi evaluasi sebagai usaha untuk merawat dan memelihara capaian yang sudah bagus. Tidak hanya di Surabaya tentunya, melainkan di seluruh kota sedunia.
Paris, 16/06/2015
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H