Mohon tunggu...
Ari Dwi Kasiyanto
Ari Dwi Kasiyanto Mohon Tunggu... lainnya -

Explorasi Ide

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Kampanye Hitam Rawis-uwis

22 Mei 2014   05:08 Diperbarui: 23 Juni 2015   22:15 158
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Jika lini masa kalian selalu menemukan hal-hal seperti dibawah ini:

Prabowo adalah pembunuh dan penculik, saat di militer. Padahal semua orang tahu, bukankah, militer memang dulu kerjaannya "membunuh" dan "menculik"?!

Sedangkan,

Jokowi adalah "kutu loncat", neoliberalis dan "boneka mega". Padahal semua orang tahu, bahwa politikus menyukai loncat sana-sini, kapitalis dan boneka, bagi semua partainya yang masih oligarki.

Dan sebagainya.

Maka, jika hal itu masih melintas di lini masa media sosial kalian, maka media sedang mencoba "mengendalikan" opini untuk menggiring publik menuju pola pikir mereka. Ada pertempuran opini yang tak terlihat, yang fokusnya mengumbarkan dosa-dosa calon pemimpin Indonesia. Biasanya kontennya diberi pemanis dengan kalimat “agar rakyat tidak salah memilih”. Ahh...sudahlah, bukankah semua tahu bahwa pemilu adalah memilih yang terbaik dari pilihan-pilihan yang terburuk. Bahkan, memilih atau tidak memilih, semua sama dihadapan hukum. Jadi, jika semua buruk, apa untungnya berkampanye hitam?

Passé est imparfait (masa lalu itu tidak sempurna)

Dalam tata bahasa Perancis, ada rumus kala waktu lampau yang disebut imparfait. Secara garis besar, kala lampau itu tersusun menjadi beberapa hal: tak sempurna (imparfait), sederhana (simple) dan aksi (composé). Penentuan kala lampau tak sempurna pun terjadi setelah kala lampau aksi sudah dilakukan. Kala lampau tak sempurna, merupakan efek atau consequence dari tindakan pertama sebuah kejadian (composé). Peristiwanya sudah selesai tetapi efek konsekuensinya tidak akan pernah selesai, bahkan sampai suatu kala kini atau kala depan. Itu kenapa, kala lampau terlihat tidak sempurna dari sudut pandang kekinian. Jadi, berhentilah menghujat "imparfait"nya kala lampau, karena dia tercipta memang tidak sempurna. Tapi akankah ketidak sempurnaan dari kala lampau akan selalu menjadi payung berlindung "alasan", jika kala kekinian hendak menggugat? Tidak, justru ketidaksempurnaan itu mengajarkan untuk menggugat secara proporsional dan pada waktu yang tepat. Saya tak akan menggugat seseorang yang mencuri kambing saya, pada saat dia sedang mencalonkan diri menjadi lurah di desa saya. Saya hanya tidak akan memilih dia, dan selanjutnya begitu pemilihan selesai, saya baru akan melayangkan tuntutan atas kejahatan di ranah « pribadi » saya yang dilakukan di halaman rumah milik saya. Untuk selanjutnya, biarkan pengadilan, apakah perlu disosialisasikan ke publik atau tidak. Jika kita menuntut keadilan kepada orang lain, apakah kita sudah berlaku adil kepadanya ? Tapi, seandainya system masyarakat berjalan sesuai dengan peranan dan tanggungjawabnya, maka tenang sajalah atas kejahatan atau kebohongan masa lalu dari seorang pemimpin. Mereka yang akan mengambil tindakan. #MenolaLupa itu tidak hanya kampanye di lapisan bawah, melainkan kepada yang duduk dalam kekuasaan.

Apa bahasa Indonesianya dari kata, Kampanye?

Ada kerancuan dalam penggunaan istilah kampanye dalam terminology politik di Indonesia. Kampanye selalu diasosiasikan sebuah “unjuk diri” yang berujung pada pencitraan. Kampanye jauh dari kata proses dalam menapaki tujuan yang telah ditentukan. Sehingga, jika ingat kata kampanye selalu berkonotasi pada imaji seseorang, entah politikus atau pun orang biasa saja. Ada kampanye putih dan hitam. Apalagilah ini, lama-lama memang media selalu mengkotak-kotakan istilah, entahlah agar lebih mudah atau tak mau memakai yang benar. Baiklah, jika kampanye putih itu adalah wajar, maka kampanye hitam akan bermakna penuh curiga. Semacam tendesius terhadap apa yang dipublikasinya. Jika kampanye adalah jalan panjang menuju tujuan, maka seharusnya tak ada kaitannya dengan persona yang mengupayakan. Kecuali memang, persona tersebut adalah seorang yang memiliki masa lalu yang kelam. Tetapi, bukankah hal itu sudah bisa diwakili oleh curriculum vitae orang tersebut. Masyarakat bisa mengakses secara luas info yang memang berisikan secara proporsional latar belakang tokoh itu. Di luar itu, maka tak bijak jika masyarakat larut dalam masa lalu seseorang yang tak ada kejelasannya.

Kampanye hitam adalah pengadilan tanpa hakim

Pada saat menjelang Pilpres seperti sekarang, Media masih menyukai membahas seputar kampanye hitam saja. Media menurunkan penulis yang menyerang tokoh lain, karena bla bla bla. Kemudian simpatisan dari tokoh yang satu membalas serangan balik dengan memberi opini bla bla bla. Terjadi pertempuran absurd dari masa lalu tokoh-tokoh tersebut. Dosa-dosa yang entah tak diketahui kebenarannya itu, simpang siur meresahkan rakyat. Saya pikir, dengan mencantumkan “catatan hitam” dari lembaga hukum itu sudah lebih dari cukup, untuk mengetahui latar belakang perilaku masa lalu tokoh tersebut secara fair. Jangan ada interprestasi lainnya, dimana referensinya masih kategori “katanya”.

Budaya kita seperti hendak menciptakan lautan keruh yang setiap siapa saja yang menyeburkan diri maka yang terlihat hanyalah keruhnya saja. Pikiran masyarakat kita, dibanjiri oleh opini-opini yang tidak mencerdaskan melainkan membuat panas dan geram. Gerakan sosial yang buruk seperti ini bisa menjadikan rakyat umum menjadi apatis dan sisi lainnya menciptakan fanatisme. Dalam kekebasan berpendapat, sebenarnya kita memiliki etika sendiri, selain menyampaikan fakta dan bukti yang sah, dalam “membully” seseorang juga harus melihat kondisi. Kalau tidak, malah yang terjadi sebaliknya, rakyat semakin jenuh dan berbalik simpati kepada seseorang “diadili” opini tersebut. Alam menemukan caranya sendiri untuk membuat harmonis kehidupan yang berlaku di dalamnya. Jadi, sewajarnya saja.

Jika memang politikus senior yang tampil sekarang, yang berusaha naik bermodus untuk melindungi diri mereka atas dari hukuman badan, atas dosa-dosa yang mereka lakukan di masa lalu. Dan, cara mereka adalah mencari suaka dari pemimpin yang baru. Berlindung atas nama koalisi dan senioritas kekuasaan yang pernah dimiliki. Jika memang demikian, tentunya dengan mudah sekali terlihat bahwa cara main politik Indonesia adalah berdasarkan kepentingan, bukan ideologi. Bagi masyarakat yang cerdas, kasak-kusuk seperti itu harus « dihukum » dengan menulis di media massa, menyampaikan surat terbuka, merumuskan tuntutan yang ditujukan kepada seluruh politikus, tidak hanya politikus yang dicap hitam saja. Ini semacam gerakan bersama, untuk membersihkan keruhnya air politik di negeri ini. Dari masyarakat, dimunculkan gelombang besar untuk dengan cara paling adil adalah semua diajak berpikir untuk masa depan negeri, dengan berpikir dan memnuntut secara bersih. Darimana datangnya, perubahan, jika tidak dari akar rumput?

Kampanye adalah sosialisasi ambisi masa depan yang tak terlihat bodoh

Rakyat perlu diedukasi soal pandangan masa depan Indonesia dari calon pemimpinnya. Kalau bukan para akademisi cerdas, siapa yang akan mengedukasi rakyat secara benar? Siapa yang akan mendampingi rakyat untuk berpikir secara imbang, atas segala informasi yang sliwar-sliwer tiap harinya? Siapa yang mampu, yang pasti bukan media, bukan juga parpol, apalagi LSM yang tak jelas agendanya.

Rakyat butuh informasi visi-misi masa depan Indonesia untuk dikritisi. Bukan perang opini, apalagi pengalihan isu untuk menjauhkan rakyat berpikir secara raisonal. Kampanye hitam menjadikan informasi “bagus” dari calon pemimpin menjadi tersumbat, kabur dan tidak tepat sasaran. Rakyat umum yang tahu tak menahu soal konflik kepentingan, rivalitas bisnis dan kekuasaan, makin dibuat pusing oleh berita media yang dikondisikan oleh persaingan. Rakyat masih saja diajak muter-muter dalam berwacana tentang dosa kotor politikus masa lalu yang sampai sekarang tanpa ada solusi. Yang mana, Rakyat sendiri tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi di atas. Tenang saja, rakyat akan selalu #MenolakLupa, tidak hanya untuk kejadian masa lalu, melainkan juga untuk menolak melupakan jalan rencana masa depan negeri ini. Jalan masa depan yang dimulai dengan tidak adanya kampanye hitam rauwis-uwis (tak ada ujungnya).

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun