Mohon tunggu...
Ari Dwi Kasiyanto
Ari Dwi Kasiyanto Mohon Tunggu... lainnya -

Explorasi Ide

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Pilihan

Pentingnya "Senyum" dalam Pariwisata

5 Agustus 2014   04:47 Diperbarui: 18 Juni 2015   04:24 97
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Suatu hari, saat berkereta dari Cannes ke Paris, setelah beberapa kali bertukar senyum, seorang ibu setengah baya di sebelahku memulai obrolan, dengan menanyaiku "Di Paris, kamu kerja di kafe?". Aku jawab: "tidak. saya hanya pegawai kantor". Aku berpikir, kenapa dia menebak profesiku sebagai pelayan kafe. Sampai saat ini, aku belum menemukan jawaban.

Hingga pada suatu hari, tepatnya 4 hari lalu, saat hari cerah, aku dan teman kerja sempatkan istirahat siang dengan "ngopi" di emperan kafe. Saat duduk, seorang pelayan kafe menanyai kami. "Pesan apa?", tentu saja sambil senyum. Kami jawab: "un expresso dan jus, s'il vous plait". Saat membawa pesanan, dia kembali bertanya "wajah kalian, tak asing bagiku. Darimana kalian?, tanya dia. "Indonesia. Sudah pernah ke sana?", jawabku. "Ahh...pacarku cewek Jogja, dan sudah 3 kali aku ke Indonesia", jawab dia sambil bergegas melayani yang lain. Ada keinginan untuk ngobrol sesaat tapi dia tak bisa berlama-lama. Kami paham, ini waktu makan siang. Kami merasa keramahan asli dari pelayan tersebut, terlepas dia punya hubungan dengan Indonesia. Wajah sumringahnya menunjukkan keramahan sebenarnya.

Hingga pagi ini, aku membaca artikel tentang ootokritik pelayanan pariwisata di Paris dan Prancis secara umumnya. Satu hal yang saya garis bawahi, "Saatnya pelaku Pariwisata Prancis memperbaiki layanan kepada pendatang. Saatnya karakter artificial les Parisiens yang "dingin" berubah sedikit demi sedikit, untuk mengubah image Paris, sebagai kota Wisata nomor satu. Bukan hanya orang yang bekerja di domain pariwisata, tetapi semua elemen masyarakat. Kesadaran bahwa keindahan Paris, harus ditunjangan juga oleh "keramahan" penduduknya.
"En premier lieu, nous devons accroître le niveau de service et d'accueil sur l'ensemble de notre offre et de notre territoire - et pas seulement sur le segment du luxe et sur la région parisienne. Cela passe par une politique ambitieuse de formation initiale et continue, qui porte sur toute la chaîne de valeur - de l'arrivée du touriste à son départ - et sur tous les métiers du tourisme, du chauffeur de taxi au serveur de restaurant."

Suatu waktu temanku yang sudah tinggal hampir setahun di Paris untuk bekerja bilang, "aku lebih suka UK, orang-orang London lebih hangat dan mau memberi senyum. Nyaman sekali berwisata ke sana". Aku jawab: "Ahh...ibu-ibu di Boulangerie, juga suka memberiku senyum saat aku beli Baguette sepulang kerja". "Tapi, aku juga pernah dijudesin sama ibu-ibu di Western Union", tambahku. "Kata teman, simpel kok untuk membuat ramah seseorang, kamu harus mulai senyum terlebih dahulu. Sekali dia masih bingung. Tapi, jika ketemu lagi. Dia akan memberimu senyum", jelasku. Bagiku, di sana dan di sini sama saja orang-orangnya, jika kita mau memulai untuk "mencairkan" suasana.

Di Pariwisata, kenyamanan adalah di atas segalanya. Membuat nyaman turis, itu berarti menambah jumlah lama tinggal. Semakin banyak devisa yang diberikan kepada negara. Kasus untuk Paris, mungkin sudah waktunya, senyum harus dibumikan untuk les Parisiens. Agar image "kehangatan" orang-orangnya mampu diingat oleh semua orang yang datang ke Paris. Bukan image yang masih aku dengar sampai saat ini dari banyak orang. Dimana les Parisiens adalah "angkuh". Inilah yang ditakutkan oleh pengamat, Paris kelak akan tertinggal daya saingnya. Tinggal tunggu waktu saja. Tak ada salahnya, meruntuhkan "budaya" tersebut, seperti setiap kaliaku naik bis 22 jurusan Opera, yang dipenuhi oleh orang-orang tua pensiunan. Aku nyaman sekali di sana, karena mereka tak saling kenal, tetapi saling ngobrol. Bahkan, suatu kali aku menyimak seorang nenek bercerita kepada cucunya tentang nama-nama tempat yang dilewati. Aku juga sering melihat orang-orang tua tersebut "menggoda" anak-anak sekolah. Sebagai manusia aku memahami, pasti ada suatu waktu kita ingin berbagi keceriaan, dengan orang tak dikenal yang didekat kita. Dan, aku sering melihat itu di bis 22.

"la connaissance devoile toute de la question", bagiku aku belum menemukan jawaban, kenapa ibu-ibu di Cannes menebak bahwa aku adalah pelayan kafe. Sampai saat ini, yang aku tahu, bahwa pekerja di industri Pariwisata adalah satu-satunya sektor yang "membentuk" seseorang untuk selalu ramah, apapun kondisinya. Awalnya adalah tuntutan profesionalisme, perlahan menjadi kebiasaan. Selanjutnya, akan menjadi "karakter yang terbentuk". Paris, dengan segala pesonanya, sudahnya waktunya les Parisiens menjadi "pelayan" untuk kota yang dibanggakannya. Pariwisata kelak akan "membentuk" les Parisiens menjadi persona yang "hangat". Meskipun "budaya lama" juga tak mudah untuk dikikis.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun