Menatap ke arah sendunya langit yang kelabu. Berarak awan tak lagi putih bersih. Kalut pula di dalam hati meski bersedia menempuh. Apakah perjalanan tiba selamat di tujuan dalam bahagia?
Harus begitu, itu katamu yang terdengar lirih di telingaku. Kau dari jauh berseru dan terdengar dalam batinku. Aneh tapi itulah kita.Â
Rintik hujan mulai turun menggulir dari kelabunya awan di angkasa. Aku tersadar bahwa tak kungkin ada rasa di antara kita yang bisa bertahan. Namun aku dan kau tetap melangkah. Hingga nanti ada kata bila.Â
Kau melihatku di kejauhan, mungkin. Berpayung putih berjalan menujumu. Mengapa kau tak datang saja menjemputku sehingga tak perlu aku lelah beriringan kedua kaki. Aku kesal dan marah dalam hati namun kau hanya tersenyum saja dan ku melihatnya.
Mengapa tega, pikirku. Tidakkah musim hujan sudah mulai melanda. Hawa dinginnya saja menggigilkan rasa hingga membeku pula rindu di hati padamu. Kataku berbisik di relung kalbu. Cintaku tak sekokoh itu.
Sayup-sayup kudengar lantunan doamu yang terbawa angin. Ah bagaimana bisa. Kau bukankah masih sangat jauh di puri itu?
Aku terus melangkah menikmati perjalanan yang makin menanjak terjal menuju keberadaanmu. Itu pikirku. Hingga nanti akhirnya kita bertemu dan aku kan kata semua kesalku padamu.Â
Namun...
Aku terkejut saat tiba di atas sana. Menatapmu yang sedang bersimpuh berdoa, ujarku. Melihatmu dalam duka lara yang mendalam. Hujan semakin deras di luar sana. Seiring dengan tangisku yang tak bisa kutahan lagi.Â
Kau mengapa telah tiada dan pergi mendahuluiku. Tidakkah perjalanan yang kutempuh kurang cepat? Mengapa kau memintaku datang hanya untuk mendapatimu telah berpulang.Â