Sudah hampir malam saat aku menatap rumah ith di kejauahan. Gelap memang dan sempat membuatku merinding. Ada takut, tapi bukankah tak ada pilihan?
Sejenak aku terdiam. Tak ingin melanjutkan perjalanan. Kupandang sekeliling. Hanya hutan dan pepohonan. Bagaimana mungkin tak menghampiri rumah itu?
Satu-satunya tempat berteduh. Satu-satunya harapan melepas lelah. Bagaimana jika ada sesuatu di sana yang menyeramkan. Tapi apa hutan dan pohon kalamalam tam lebih menyeramkan?Â
Batinku bergejolak. Dalam tanya yang tak ada jawaban selain dari hati. Dan aku melangkah, berjalan menuju rumah tua itu.
Perlahan kuketuk pintu. Berharap ada jawaban manis. Namun tak ada suara. Seolah aku sedang sendirian saja.Â
Mengapa perjalananku terasa dalam sunyi?Menembus lorong waktu untuk sembunyi. Ah sepi. Tak ada jawaban. Sungguh bahkan tak ada kicau burung liar di pepohonan seperti tadi.Â
Kubuka pintu yang berkeriut. Penanda sudah lama kayu penahannya. Berderit gesekan dengan lantai tanah dan aku terkesima.Â
Sebuah ruang kosong yang bersih pun rapi. Lengkap dengan tempat beristirahat meski ranjang telah tua. Tanpa ada pelapis di atasnya. Hanya helaian papan tipis menyelimuti.Â
Aku duduk dan melepas lelah di situ. Hingga tak sadar sudah terlelap oleh lelah dan kantuk yang tak tertahan. Aku mendekap lelap hingga pagi menjelang.Â
Mentari bersinar menyelusup cahaya melalui sela-sela jendela. Aku sadar waktunya beranjak pergi. Rumah tempat beristirahat itu kutinggalkan lagi.Â