puisi lainnya.
Salah satu pemuisi di Kompasiana yang saya ingin tuliskan kali ini adalah Mbak Dewi Leyly. Dokter gigi yang satu ini sangat piawai merangkai diksi. Aaya saja sering meminta ijin memakai sebagian diksi pilihannya untuk jadiMbak Dewi tak pernah melarang, bahkan selalu mengijinkan dan kadang kami malah jadi berpuisi bersama. Iya kolaborasi puisi Dewi dan Ari. Seru loh berkarya bersama.
Sejak kapan kami saling mengenal? Ada yang tahu?
Sebenarmya kami rekan dan teman di Universitas yang sama di area Jawa Timur, tepatnya Surabaya. Bedanya hanya fakultas yang kami ambil. Mbak Dewi di Kedokteran Gigi dan saya di Fakultas MIPA yang sekarang berubah menjadi FST (Fakultas Sains dan Teknologi).
Sebelum menulis di Kompasiana, kami sudah saling mengenal. Kami sama-sama aktif berorganisasi di kampus tercinta. Saya tidak menyangka kalau hobi kami pun ternyata sama. Tulis menulis puisi yang akhirnya kami publish di Kompasiana.
Saya mengagumi Mbak Dewi karena kebaikan hatinya tak pernah putus pada saya sampai  saat ini. Mbak Dewi selalu saja memberi motivasi dan sahabat dekat kala sepi melanda diri sekalipun.
Kesibukannya di dunia nyata atau off line membuatnya tidak sesering saya dalam menulis di Kompasiana. Namun bukan berarti diragukan ya dalam kemampuan. Saya sering terkagum-kagum dengan puisi karya Mbak Dewi. Malahan saya pernah juga dapat kado ultah berupa puisi cantik.
Terima kasih banyak Mbak Dewi.
Mbak Dewi juga membukukan puisi-puisinya untuk menjadi sebuah kenangan. Kadang memori bertebaran di mana-mana karena itu perlu dikumpulkan dalam satu wadah yang mudah direngkuh. Jika memori itu terajut dalam karya puisi, maka buku puisi menjadi pilihan pertama sebagai media mengumpulkan memori tersebut.
Semangat Mbak Dewi untuk terus menuliskan puisi dan membukukannya mengingatkan saya pada sosok R.A Kartini yang juga pantang menyerah. Sama-sama berjuang dalam literasi anak bangsa. Rasanya dunia literasi semakin berwarna dengan kehadiran karya-karya puisi Mbak Dewi.