Di hari pertama masuk sekolah, Dika begitu berani ditinggal oleh ibunya, boleh dibilang dia hanya beberapa hari saja ditungguin. Itu bukan hal kecil bagi anak batita yang pertama kalinya harus dipisah dari orang-orang dekat mereka.Â
Dika sudah mengenal beberapa lagu anak di sekolah, mungkin sebelumnya dia sudah belajar lagu-lagu tersebut di rumah dengan bapak dan ibunya. Dika kecil selalu ingin ikuti aku menyanyi dan meminta lagu kesukaannya untuk dinyanyikan bersama. Dika juga selalu mengikuti gerakan dari lagu-lagu yang dinyanyikan. Dia seorang yang begitu periang.
Suatu kali di tempat bermain, Dika menjadi sangat ketakutan ketika bermain dengan binatang mainan, seekor harimau kecil yang digerak-gerakan temannya mendekatinya. Aku begitu kaget mendengar untuk pertama kalinya Dika menangis.Â
Satu hal yang membuatku kesulitan adalah menenangkannya dari tangisan itu. Ternyata kalau Dika sudah mengangis, memang akan sulit untuk menghentikan tangisannya. Sejak hari itu, dia tidak mau ditinggal lagi oleh ibunya. Tiap hari selalu ditungguin di dalam kelas.
Begitu sulit membuat Dika percaya diri lagi untuk menghadapi lingkungan barunya denganku tanpa ada orang-orang terdekat disisinya. Aku berusaha keras mendekatinya dengan berbagai cara agar dia mau ditinggal ibunya. Tidak beberapa lama kemudian, Dika akhirnya mau lagi ditinggal.Â
Aku bisa tersenyum tenang karena mendapat kepercayaannya lagi. Aku berjanji pada diriku sendiri, tidak akan lagi membuatnya merasa tidak nyaman dengan lingkungan barunya. Aku akan berusaha menjadi sahabat bagi Dika kecil, tempatnya berbagi cerita dan kasih sayang.
Hari demi hari terus berlalu diiringi tangisan teman-teman Dika di kelas yang masih belum juga mau pisah dari orang tua mereka. Di tengah hiruk pikuk kelas yang membuat hatiku kadang gelisah, ada satu kejadian kecil yang menjadi perhatianku.Â
Dika mendatangi teman-temannya yang menangis, satu persatu dibelainya mereka sambil berkata "Jangan sedih ya, cup cup cup." Lalu didatangi aku pula, sambil menggandeng tanganku.Â
Awalnya aku kesal karena tidak tahu maksudnya sementara aku masih mencoba menenangkan anak yang menangis. Tapi ternyata Dika menggandengku untuk mendatangi temannya yang lain yang juga sedang menangis dan memintaku menghapus air mata temannya dengan tissue yang selalu kusimpan di saku bajuku.
Dika bukan hanya seorang periang tapi juga penuh perhatian dan kasih sayang. Dari manakah dia belajar semua itu? Tidak mungkin dia melihatnya dariku secepat itu sedangkan aku sendiri justru sering gelisah di kelas yang begitu berisik itu. Pasti Dika belajar dari bapak dan ibunya.Â