Boleh ya saya tulis kisah saya lagi di kereta api ekonomi dua puluhan tahun lalu. Seperti yang saya kisahkan di beberapa artikel sebelumnya, pengalaman saya banyak di kereta api ekonomi masa lalu. Kenapa saya bilang masa lalu? Tidak lain karena sudah sangat berbeda dengan kereta api ekonomi masa kini, tentu saja secara suasana di dalam gerbong kereta.
Saya memang mengakui ada banyak peristiwa yang cukup tidak menyenangkan pernah terjadi di dalam kereta api ekonomi masa lalu. Misalnya, kepadatan jumlah penumpang di setiap gerbong sehingga membuat penumpang tidak mendapat tempat duduk.Â
Meskipun demikian, dari pengalaman saya, masih banyak orang-orang baik di kereta yang mau memberikan kursinya bagi penumpang-penumpang lain yang sudah lanjut usia atau wanita hamil. Juga wanita yang membawa anak-anak pun mendapat prioritas dari sebagian orang di kereta. Tanpa pikir lama mereka memberikan kursinya pada yang lebih membutuhkan.Â
Kisah lainnya adalah tentang para pedagang asongan yang juga diijinkan bebas berjualan di dalam gerbong kereta. Kala panas sesak di dalam gerbong, ada yang menjajakan air mineral dingin, memang terasa nyaman, namun tetap saja tidak selamanya demikian. Ada juga beberapa penjual asongan yang kadang sedikit memaksa penumpang membeli barang dagangannya. Apakah semua pedagang asongan seperti itu? Pastinya tidak.Â
Ibu saya membuka toko kelontong di masa lalu dan banyak pedagang asongan yang membeli aneka makanan ringan dan air minum mineral di toko Ibu untuk dijual di kereta api. Kalau saya naik kereta api malam, biasanya Ibu akan meminta tolong penjual asongan untuk mencarikan tempat duduk di gerbong kereta.Â
Pedagang asongan ini pasti akan menyanggupi membantu mencarikan tempat duduk kosong. Bukankah itu salah satu kebaikan hati yang saya dapati di gerbong kereta ekonomi di masa lalu? Ingat ya, sangat susah dapat tempat duduk di kereta api ekonomi di masa lalu kalau naiknya bukan di stasiun awal kereta berangkat. Percayalah, saya sudah mengalaminya puluhan kali.
Selain pedagang asongan, ada juga para pengamen yang bebas naik kereta api dan menyanyi sambung menyambung dari satu gerbong ke gerbong kereta lainnya. Ada kalanya mereka cukup seram kalau meminta uang selesai menyanyi. Memang tidak semua pengamen di kereta api seperti itu. Saya perhatikan hanya di beberapa kota tertentu yang agak kasar dan cukup mengganggu. Jadi setiap naik kereta api ekonomi saya selalu bawa uang koin lima ratusan yang cukup banyak.Â
Apakah karena saya murah hati? Sama sekali tidak. Uang itu sebagai persediaan kalau ada rombongan pengamen datang. Apalagi kalau banyak. Saya hanya menghindari kalau pengamen tersebut melontarkan kata-kata yang kasar dan sedikit mengancam. Uang koin itu jadi semacam senjata agar saya aman. Jadi bukan karena saya murah hati berbagi uang ke pengamen di gerbong kereta api. Apalagi saya sering bepergian sendiri. Hampir di setiap perjalanan saya naik kereta api.Â
Sekali lagi, tidak semua pengamen seperti itu, masih ada pengamen yang sopan dan menyanyi dengan suara merdu. Bahkan ada yang sampai saya nantikan kehadirannya. Salah satunya pengamen yang mengalami tuna netra. Biasanya beliau ditemani salah satu keluarga.Â
Selain itu suaranya juga sangat merdu. Kalau begini, saya biasanya rela memberikan uang lebih pada bapak tersebut. Iya, masih saja ada banyak orang baik di gerbong kereta api. Bahkan banyak penumpang yang mengapresiasi dan saya lihat memberikan juga uang lebih pada bapak pengamen tersebut.
Kisah terakhir yang ingin bagikan adalah ketika saya pindahan dari Surabaya dan memutuskan kembali ke kampung halaman. Saya mencari tempat kerja yang lebih dekat dengan rumah. Surabaya sungguh terletak amat jauh. Ini membuat saya jarang pulang. Saya harus menunggu libur panjang agar bisa pulang kampung.Â