"Tania, bagaimana kabarmu?" Kata Rian. Bingung dan juga heran. Masa iya Rian hanya mau tanya kabar. "Emm.. baik. Biasa aja. Memang kenapa? Apakah hanya itu yang ingin kau tanyakan?" Tania menatap Rian sambil memberi senyum kecil.
Aduh manisnya. Batin Rian. Rasanya kelu lidah ini ingin bicara. Masa iya hanya bertatap mata dan bicara dengan si pujangga senja, membuat aku kelu. Bisik Rian pada dirinya sendiri.Â
"Kau tahu kan kalau aku suka baca-baca puisimu. Tapi kuperhatikan akhir-akhir ini, banyak puisi sendu bertema senja. Atau puisi senja bertema sendu? " Akhirmya tanya itu terlontarkan.Â
Tania tidak menyangka ada yang memperhatikan dirinya dari tulisan-tulisannya. Ia menatap Rian tajam. Kini tak ada senyum. Malah penuh selidik di matanya. Seolah tatapan mata itu ingin menembus hati Rian dan membolak balik isinya.Â
"Puisi yang mana membuatmu berpikir begitu?" Tania menjawab dengan dingin. Tak selembut sapa tadi. Rian terdiam. Terperanjat akan perubahan sikap Tania yang mendadak ketika dia bertanya tentang tema sendu puisinya.Â
"Puisi terbarumu, dan beberapa puisi sebelumnya. Aku bahkan ingat lirik terkahirnya.Â
Kau ternyata kini telah mampu
Memantik senjaku hingga menjadi ungu
Itu kan kalimat terakhirnya. Seolah tersirat adanya luka yang ingin kau lukiskan di puisi itu. Kalau aku tidak salah."Â
Entah kekuatan dan keberanian dari mana Rian dapatkan. Semua kegundahannya tersampaikan dalam tanya. Hening dan tidak ada jawab. Tania tak lagi menatap Rian. Dia memilih menatap lantai di bawah kakinya. Saling diam dalam beberapa menit membuat Rian merasa tak nyaman dan bersalah.Â
"Maaf jika tanyaku meresahkanmu. Tak harus kau jawab kalau memang tidak mau" kata Rian akhirnya. Tania menarik nafas lega. "Rian, aku masuk kelas dulu ya. Kuliah hampir mulai. "Â
Sebuah kata perpisahan singkat yang Tania berikan pada Rian. Rian memgangguk. Lalu percakapan itu tak pernah berlanjut. Itu pula menjadi saat terakhir Rian melihat Tania di kampus.Â