Mohon tunggu...
Ari Budiyanti
Ari Budiyanti Mohon Tunggu... Guru - Lehrerin

Sudah menulis 3.000 artikel berbagai kategori (Fiksiana yang terbanyak) hingga 20-12-2024 dengan 2.392 highlights, 17 headlines, 112.449 poin, 1.133 followers, dan 1.315 following. Menulis di Kompasiana sejak 1 Desember 2018. Nomine Best in Fiction 2023. Masuk Kategori Kompasianer Teraktif di Kaleidoskop Kompasiana selama 4 periode: 2019, 2020, 2021, dan 2022. Salah satu tulisan masuk kategori Artikel Pilihan Terfavorit 2023. Salam literasi 💖 Just love writing 💖

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Hanya Ingin Menjadi Diri Sendiri

13 Agustus 2019   23:58 Diperbarui: 14 Agustus 2019   00:10 100
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto diri beberapa tahun lampau. Dokumen pribadi

Mempunyai nama Ari adalah pergumulan tersendiri buat saya. Di Indonesia, banyak sekali nama Ari. Dua diantaranya adalah selebritis Indonesia yang saya cukup sukai karya-karyanya. Mereka berdua adalah  Ari Lasso dan Ari Wibowo. Pun ada satu lagi Ari Sihasale. Ketiganya mempunyai persamaan dengan saya. Sama-sama bernama depan Ari. Tapi perbedaan diantara saya dan merek bertiga juga sangat menyolok. Mereka adalah laki-laki dan saya perempuan. Ingat ya saya perempuan beneran hehe. 

Nama Ari sangat umum dipakai sebagai nama laki-laki. Masa kecil saya sempat membuat saya ninder karena saya bernama Ari. Tambah lagi saya selalu potong rambut model laki-laki. Iya jaman dulu terkenal dengan potongan rambuk demi moore. Jadi masa kecil saya so tomboy. Apalagi saya kemana-mana lebih sering bermain dengan ke dua kakak lelaki saya dan teman-temannya. 

Sekilas kisah tentang nama Ari yang saya sandang sejak lahir. Nama Budi yang menyambung di belakang nama saya juga biasa sebagai nama pria. Jadi bayangkan, kalau orang mencoba tebak saya dengan nama Ari Budi tanpa baca teliti belakangnya, yanti, akan cenderung mengira saya laki-laki. Entah sudah berapa kali saya dipanggil mas atau pak. 

Tapi iya sudahlah. Toh saya tidak bisa juga memilih nama saya sendiri. Itu pemberian orang tua yang harus saya syukuri. Karena orang tua mempunyai pertimbangan khusus memberi nama Ari Budiyanti.

Selain itu, saya juga jarang dikenal sebagai Ari. Sejak SMA, saya sudah tidak tinggal di kampung halaman karena menuntut ilmu di luar kota. Sehingga banyak orang kampung tidak terlalu hapal dengan saya. Kalau saya pulang, seringkali mereka hanya tahu saya ini adiknya mbak Desi, kakak saya yang cukup dikenal di kampung. Atau kakaknya Vitri, adik saya yang juga sangat dihapal di lingkungan tempat kami tinggal. Jadi siapakah saya. Saya adalah adik mbak Desi atau kakak Vitri. Jarang ada yang kenal saya sebagai Ari. Ya sudahlah saya yakin koq itu bukan satu-satunya pengalaman saya saja. Mungkin ada pembaca yang mengalami hal yang sama dengan saya? 

Pengalaman hidup juga membawa saya pada berbagai peristiwa yang sering menekan saya. Seolah lingkungan saya ingin membentuk saya menjadi seperti yang mereka inginkan. Sehingga saya sering lupa menjadi diri sendiri. Maksud saya, saya sering tanpa sadar ingin memenuhi kemauan orang-orang di sekeliling saya untuk menajdi seperti yang mereka mau. Berbahaya sekali ternyata efeknya buat saya. 

Saya hanya sekedar berbagi ya. Semoga ada hal baik bisa diambil dari kisah saya. Contohnya, saya pernah mengalami penolakan semua karya saya dalam tulisan. Saya tidak memenuhi standar penulisan yang diharapkan seseorang sehingga semua karya saya tidak tepakai dan dirombak total. Wow. Pengalaman pahit tapi ada baiknya buat saya. Memang sih saya jadi belajar cara berkarya yang lebih baik menurut versi sesorang. Iya setidaknya saya belajar. 

Pernah juga karya-karya saya mendapat kritik tajam karena terlalu sederhana dan tidak berjualitas baik. Iya pasti dengan standar penilaian sesorang kan. Tentu saja itu menyakiti hati saya. Saya berpikir, kenapa ada saja ya hal-hal tidak baik menimpa saya berkaitan dengan karya-karya saya. Kadang saya mudah sekali baper alias terbawa perasaan. Semua hal tidak.menyenangkan ini menjadi semacam "barrier" buat saya untuk berkembang. 

Baiklah, terlepas semua itu tetap ada sisi baik untuk menempa saya, namun akhirnya saya lelah. Saya merasa susah sendiri ketika harus berkarya seperti kemauan-kemauan orang-orang. Saya seperti kehilangan ciri khas pada karya saya. Saya seperti menjadi seseorang yang lain dan bukan diri saya sendiri. Tidak baik pula untuk kesehatan emosi saya. 

Akhirnya saya sampai pada keputusan akan menjadi diri saya yang sebenernya. Menjadi diri saya yang berkarya dengan menampilkan keberadaan saya yang sesungguhnya. Berkarya bukan menurut standar-standar orang lain yang mungkin terlalu tinggi buat saya. "I just want to be myself as God wants me to be"

Setelah keputusan itu saya ambil dengan segala resikonya, ternyata saya malah semakin produktif berkarya. Tulisan-tulisan saya yang sederhana dan "easy reading" mengalir dengan mudahnya di sini. Iya di Kompasiana.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun